Tampan, kaya, pintar, karismatik mendarah daging pada diri Lumi. Kehidupan Lumi begitu sempurna yang membuat orang-orang iri pada kehidupannya.
Hingga suatu hari Lumi mengalami kecelakaan yang membuat hidupnya berada ditengah garis sial atau beruntung?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mesta Suntana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 4 - Kekacauan
Suara tinggi penuh amarah dan juga telunjuk penuh kebencian itu terus mengacung pada Lumi. Ekspresi Lumi tidak berubah sama sekali, Dia tetap dengan wajah dinginnya yang datar. Berbeda dengan Bibinya, Leta sudah memasang wajah penuh kebencian pada Lumi, Matanya yang tajam menjadi lebih tajam ketika mata itu menyorot Lumi. Bagaikan pisau yang sedang menodong Lumi.
Lumi sudah terbiasa dengan hal itu, Dia tahu persis tatapan itu selalu membekas saat Lumi masih kecil. Lumi mungkin mempertahankan ekspresi dinginnya. Tapi tidak dengan isi kepalanya.
" Wanita tua ini, tantrum lagi. Akh, kenapa ini selalu terjadi...aku bosan. Haruskah ku lempar saja dia ke kolam sekarang. "
Begitulah isi kepala Lumi.
"Maksud Bibi apa? " Lumi bertanya dengan nadanya yang dingin.
Lumi yang angkat bicara membuat Leta semakin marah.
Nada yang Dia keluar pun makin tinggi.
" Lihatlah dirimu, Kau tidak memiliki tatakrama! Bagaimana bisa Kau menatap Bibi mu seperti itu! "
"Maksud Bibi tatapan seperti ini " Lumi mulai menyodorkan wajah dinginnya yang biasa pada Bibinya. Punggung Lumi kini bersandar pada bangku, Dia memiringkan kepalanya. Seringai mengejek mulai terbentuk."Atau yang ini Bibi"
Suasana seketika berubah, saat Lumi membawa aura gelap pada dirinya. Tatapan dingin yang hina dan jijik Dia tunjukkan pada Bibinya. Sama seperti waktu Lumi kecil, Lumi membalas tatapan benci Leta seperti itu. Ekspresi Terkejut Leta dan urat di leher yang menegang sudah Lumi tebak.
"Ekspresinya tetap sama"
Awan hitam berkerumun dalam otak Leta. Lumi yang masih menatap tajam Leta.
" Sampai mana Kau akan bertahan wanita tua? "
Suasana semakin tak karuan, ketegangan menjalar seperti tanaman rambat pada mereka. Kakek melihat hal itu merasa kecewa dana marah. Kakek mulai tertunduk lelah dan pusing.
" Kalian berdua berhenti! "Titah Kakek.
" Kakek memanggil kalian bukan untuk seperti ini! " Imbuhnya.
" Tapi ini selalu terjadi. " Sahut Lumi yang masih menatap Leta.
Mata Leta mulai berkedut, Hema mulai khawatir dengan hal ini.
" Ayolah tenangkan dulu, kalau seperti ini masalah tidak akan selesai. " Hema mencoba menengahi.
" Ayolah Kak, Dia keponakan mu apakah kau masih tidak puas dan ingin beradu dengan keponakan mu." Leta menatap tajam Hema karena berani menceramahinya. Hema tidak peduli, Dia merasa Kakaknya sudah keterlaluan. Dia hanya mengkhawatirkan kondisi Ayahnya.
" Lumi hentikan sekarang ekspresi itu! " Titah Hema.
Lumi mulai mengendur, kini Dia mulai relax. Tapi Leta masih berdiri tegak dan tidak mau mengalah. Hema sudah tidak mampu berkata-kata lagi. Keras kepala Kakaknya akan membawa masalah yang lebih besar.
" Leta hentikan ini! Tolong beri ruang Ayahmu berbicara! " Perintah Akari sambil menatap tajam Leta. Leta masih tidak mau bergeming, tapi semua orang kini sedang menatap dirinya untuk segera duduk dan mengalah. Tatapan semua orang begitu tajam, rasa malu mulai menghinggapi Leta. Mau tak mau Leta harus mengalah. Leta kembali pada kursinya dengan mencoba mengurung amarah dalam dirinya.
Melihat suasana mulai kondusif, Akari kini mulai angkat bicara.
" Lumi besok Kau akan bekerja sebagai Presiden Direktur Utama Shimizu. " Kejutan listrik terjadi dimana - mana. Semua anggota keluarga terkejut mendengar pernyataan Kakek.
" Ayah ti... " Leta tidak sempat membantah, Ayahnya terlebih dahulu memberikan isyarat dengan tangannya.
" Leta Kau tetap menjadi Direktur Utama Shimizu Mall dan Fashion, tapi untuk Technology Kau harus melepasnya. Ayah akan memberikannya kepada Lumi. " Jelas Akari yang membuat Leta terdiam dengan hati yang tak terima.
" Dan untuk Kau Hema, Kau akan menjadi Direktur Utama Shimizu Medical and Healthy sekaligus Kau yang mengurus Rumah Sakit Shimizu. " Titah Akari.
"Baik Ayah, saya akan bertanggung jawab amanah dari Ayah. " Hema menerima dengan baik.
" Tapi Ayah... " Suara Leta tertahan akibat amarah yang begitu menumpuk, hatinya terbakar rasa tak terima meliputi dirinya. " Anak tak tahu tata krama itu berada di atas Ku, di mana harga diriku di pajang. Aku sudah mengabdikan diri ku pada perusahaan. Aku lebih pantas dari pada Dia. " Leta kembali menunjuk Lumi dengan kasar. Lumi hanya terdiam kebingungan, bagaimana bisa Kakek menunjuk dirinya.
" Bahkan setelah orang tuanya mati sifat busuk itu masih ada di sini, orang tua itu telah gagal mendidik anak semata wayangnya ini. Kau memang lah keturunan serakah dari Orang t... " Kalimat hinaan Leta terhenti. Kini wajah Leta sudah berada di genggaman tangan Lumi.
" Diam Kau wanita tua, Kau memang Adik dari Ayahku tapi Kau tak pantas mencela mereka " Tangan besar itu kini mencengkram kuat wajah Leta. Leta hanya bisa membulatkan matanya dan meringis kesakitan. Mata Lumi yang dingin kini di selimuti kegelapan, pupil matanya membesar seperti akan menerkam Leta. Leta mencoba memberontak namun tangan Lumi begitu kuat walau hanya satu genggaman.
Melihat hal itu semua mencoba untuk menenangkan Lumi. Hema terus mengelus pundak Lumi dengan Arguro yang mencoba memegang pergelangan tangan Lumi yang semakin keras mencengkram wajah ibunya. Arguro mencoba melepaskan tangan Lumi. Urat di tangan Lumi terlihat menegang Hema dan Arguro merasa takut tapi ini harus terlepas.
" Kak tolong lepaskan ini tidak akan menyelesaikan masalah! " Arguro mencoba menenangkan.
" Ayo Nak, lepaskan Lumi! Lepaskan! " Hema mencoba menambahkan.
Amarah yang menyelimuti Lumi membuat pendengaran Lumi tertutup. Tidak ada satu kata pun dari mereka yang masuk pada telinga Lumi.
Plak!
Tamparan keras pada kepala Lumi begitu nyaring terdengar. Lumi tertunduk dan mulai melepaskan perlahan cengkramannya. Wajannya kini mulai terangkat. Ekspresi Lumi lebih buruk dari yang tadi. Seperti kerasukan mata Lumi seperti Macan yang kelaparan.
" Kau beraninya memukulku " Satu tinjuan pada Piter melayang tepat pada wajahnya. Semua berteriak melihat kejadian itu.