Anzela Rasvatham bersama sang kekasih dan rekan di tempatkan di pulau Albrataz sebagai penjaga tahanan dengan mayoritas masyarakat kriminal dan penyuka segender.
Simak cerita selengkapnya, bagaimana Anz bertahan hidup dan membuktikan dirinya normal
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ruang Berpikir, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
8_Salting
“Syuuuuttttt!” Desis Albert, segera memeluk menenangkan Anz. “Tidak apa-apa.”
Anz melepaskan paksa dekapan pelukan Albert “ada kamu, enak aja. Kamu juga laki-laki sayang dan kita belum menikah. Sungguh aku tidak ridha, tidak ridha jika kalian laki-laki melihat tubuhku ini,” menyilangkan tangan di depan dada.
Albert tersenyum lembut. “Sayang tenang saja ya, aku akan ikut andil menjaga calon istriku ini. Jangan khawatir lagi ya.”
Sepuluh ranjang lajang itu, di atasnya terdapat satu kasur busa setebal tiga puluh cm dan di atasnya terdapat satu bantal kepala, satu guling, dan selimut tebal.
Rekan-rekan mereka yang lain melihat Albert dan Anz yang saling berpelukan di ambang pintu bagaikan tiada cukup, membuat mereka yang ada di dalam menatap geram, lantas mereka yang telah mengambil tempat mereka masing-masing, mengambil guling dan bantal mereka dan melemparnya ke arah Albert dan Anz.
Tujuh bantal yang melayang itu, mendarat dan mengenai tubuh Albert dan Anz membuat mereka berdua yang sedang berpelukan jatuh ke belakang, dengan posisi Anz berada di atas tubuh Albert. Anz segera beranjak bangun, membuang pandangan merasakan malu, sedangkan Albert bangun dan duduk, merebahkan kaki kirinya dan berpangku pada kaki kanan. Albert meletakkan tangannya di atas lutut kaki kanannya “kalian kenapa sih.”
Hanya Abi yang tidak melemparkan bantal tersebut namun matanya menatap datar dan berkata “apa sebuah keharusan kalian bermesraan di hadapan kami?”
“Ya suka-suka kamilah, orang kami kekasih,” tersenyum-senyum sendiri.
Anz diam berkacak pinggang, berdiri membelakangi rekan-rekannya itu. Degup jantung Anz, berdetak cepat, Anz menarik dan menghembuskan napasnya berkali-kali berusaha menetralkan jantungnya lagi yang kemudian setelah merasakan dirinya sedikit tenang “kalian kurang kerjaan ya, sampai harus mengurusi urusan pribadi kami.”
“Cie ciee Ciiiieeeeeeeee,” teriak mereka semua yang berada dalam barak kecuali Abi.
“Apasih kalian.”
“Lihat tuh, nona Anz Rasvatham mukanya sampai memerah, salting gak tuh,” ucap goda Sulaiman.
Albert mendengar penuturan Sulaiman dengan segera melihat muka Anz dan benar adanya muka Anz, bibir yang menahan senyum dan pipi yang bersemu berwarna kemerahan.
Anz diam tidak menjawab lagi, namun ia berdiri terpaku menunduk, memejamkan mata dan menutup mukanya rapat dengan telapak tangannya itu.
Luth yang lelah sibuk, bermain hayunan, beralih pergi mendekati para peserta itu kembali “kalian, bersih-bersihlah, ini jadwal kalian sepekan ke depan,” menyerah selembar kertas yang dipenuhi susunan huruf yang merangkai kata.
“Pak,” panggil Anz yang di respon Luth dengan tatapan “bolehkan saya meminta ruangan bersih-bersih dan tempat istirahat terpisah dari mereka,” menunjuk rekan-rekannya.
“Mau berpisah ke mana?”
“Saya perempuan pak, tidak mungkin saya terus menerus satu ruangan dengan laki-laki.”
“Apakah pekerjaan yang sedang kau lakukan ini adalah pekerjaan kau seorang perempuan.”
“Bapak punya istrikan? Punya anak perempuan? Saudara perempuan?” Tanya beruntuk Anz
“Tidak.”
“Setidaknya bapak punya ibu.”
Luth diam tidak menjawab lagi namun pandangan matanya menatap Anz tajam. Terdengar napasnya yang yang tertarik dan terbuang kasar, mata yang mulai memerah dan tulang gerahamnya yang terlihat mengeras. Luth berbalik badan hendak beranjak pergi namun genggaman tangan Anz memegang lengan Luth kuat “pak saya mohon.”
“Permohonan ditolak.” Beranjak pergi setelah menghempas tangan Anz.
Nanar mata Anz menyorot tanda kekecewaan dan kegelisahan menatap punggung lebar Luth yang berjalan menjauh. Terdengar tarikan napas dan hembusan napas kasar keluar dari rongga hidung Nia.
“Tidak apa-apa sayang,” merangkul bahu Anz “ada aku yang akan selalu menjagamu selalu dan kapanpun.”
Anz menatap sekilas Albert yang kemudian dengan perlahan melepas rangkulan tangan Albert dari bahunya dan kemudian mereka sama-sama membuka sepatu bot mereka masing-masing dan meletakkan beriringan dengan sepatu bot rekan-rekan mereka itu di dalam rak kayu panjang yang berada tepat di samping pintu masuk bagian dalam ruangan.
Terlihat dua ranjang lajang itu masing kosong berada pada posisi sisi kiri paling belakang. Anz berjalan cepat, melepaskan genggaman tangan pada gagang kopernya dan menaruh kasar tas ransel besar yang berada di punggungnya itu “melelahkan,” menjatuhkan badan dengan kasar di atas kasur.
Albert menarik sedikit sudut bibirnya melihat sisi Anz yang seperti ini, lantas kemudian dengan langkah pasti Albert mendekat, meletakkan koper besar miliknya di tengah-tengah ranjangnya dan Anz. “Lelah sekali ya sayang?” Duduk di atas ranjang Anz yang kemudian Anz segera berpindah posisi tidur di atas pangkuan Albert.
“Biarkan seperti ini dulu, sementara aja,” menutup mata.
“Udahlah dunia ini hanya milik kalian berdua, kami semua di sini hanya ngontrak sama kalian,” celutuk Sulaiman sekenanya dan langsung merebahkan badan di atas ranjangnya itu sedangkan yang lain hanya melirik sekilas pada Albert dan Anz yang kemudian mereka langsung membuang pandangan mereka.
Telinga Albert bagaikan tidak mendengarkan apa-apa dan matanya pun sama, hanya melihat Anz saja. Senyum manis mengembang, kebahagian menyelimuti hati, hati dan pikiran hanya dipenuhi cinta.
...Semangat hidupku hanya kamu...
...Seluruh cintaku hanya untukmu...
...Kamu adalah ratu dalam hatiku, Anzela Rasvatham, jantung hatiku...
Tangan kiri Albert memijit pelan pelipis Anz sedangkan tangan kanan Albert sibuk membuka kertas yang diberikan Luth tadi.
Albert membaca setiap kata yang tertulis disana, dan kemudian mata Albert menelusuri dinding, mencari jam. Sebuah benda berbentuk lingkaran bulat tertempel di dinding. Dalam lingkaran tersebut tedapat jarum-jarum yang menunjukkan angka enam. “Dua jam dari sekarang jadwal makan malam, kalian bersih-bersih lah duluan,” menyimpan kembali kertas tersebut dalam saku bajunya yang terletak di bagian dada kiri.
Abiram dengan segera bangun, menuju kamar mandi yang telah di tunjukan tadi. Mata Abi menatap langit sejenak, ketenangan dan ketentraman menjinakkan kepalanya yang berisik sejenak. Langit biru, awan bertabu, sebagian langit diisi warna jingga kemerahan. Matahari terlihat, menurun perlahan, hampir tenggelam. Jejeran bukit tinggi terlihat menawan dengan adanya kehijauan tumbuh-tumbuhan. Udara dingin mulai merasuki kulit.
Ainsley datang menaikkan sebelah alisnya melihat Abi, berdiam diri menatap langit, tepukan ringan mendarat di bahu Abi “kenapa?”
Abi mengalihkan pandangannya cepat melihat Ainsley.
Pandangan mata Ainsley melihat langit, terdapat sepasang burung yang terbang beriringan. “Teringat sama pasangannya ya?”
“Jomlo,” jawab Abi cepat dan segera berlalu menuju tujuannya, meninggalkan Ainsley dengan segenap pertanyaan kekanak-kanakannya itu.
Satu jam waktu telah berlalu, satu persatu mereka yang sudah selesai membersihkan diri kembali ke barak hanya memakai celana sebatas di atas lutut tanpa ada atasan. Mereka sibuk menyusun barang-barang mereka dalam lemari mereka masing-masing.