Tidak pernah Jingga bayangkan bahwa masa mudanya akan berakhir dengan sebuah perjodohan yang di atur keluarganya. Perjodohan karena sebuah hutang, entah hutang Budi atau hutang materi, Jingga sendiri tak mengerti.
Jingga harus menggantikan sang kakak dalam perjodohan ini. Kakaknya menolak di jodohkan dengan alasan ingin mengejar karier dan cita-citanya sebagai pengusaha.
Sialnya lagi, yang menjadi calon suaminya adalah pria tua berjenggot tebal. Bahkan sebagian rambutnya sudah tampak memutih.
Jingga yang tak ingin melihat sang ayah terkena serangan jantung karena gagalnya pernikahan itu, terpaksa harus menerimanya.
Bagaimana kehidupan Jingga selanjutnya? Mengurus suami tua yang pantas menjadi kakeknya!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Savana Alifa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
RESMI
Tangis pecah Jingga memenuhi ruangan luas itu. Pelukannya pada sang ibu tak mau lepas meski sudah beberapa menit berlalu. Entah tangis menggambarkan apa, kebahagiaan rasanya tak mungkin. Mungkin tangis itu menggambarkan betapa ia bingung menjalani hidupnya juga rumah tangganya.
Ya, beberapa menit yang lalu, gadis itu resmi di peristri pria tua berjanggut tebal yang bahkan janggutnya sudah memutih. Impian pernikahan indah penuh cinta hancur sudah, meski ia tak pernah memiliki hubungan special dengan seorang pria, tapi layaknya gadis kebanyakan, ia pun menginginkan menikah dengan pria yang di cintainya juga mencintainya.
Mulai hari ini, ia harus mendedikasikan hidupnya pada Langit, suaminya. Melayani pria itu dengan baik meski seperti seorang perawat saja. Tapi mungkin itu lebih baik, ketimbang ia harus melayani pria itu sebagai seorang istri di atas ranjang.
“Sudah nak, kamu harus hidup bahagia,” pesan sang ibu dengan lirih. Perempuan itu pun tak dapat menahan air matanya. Antara bahagia, haru juga iba pada putri bungsunya itu. Yaya juga merasa bersalah, karena perjanjian suaminya, Jingga yang harus membayarnya. Namun ada setitik kebahagiaan yang terselip dalam hatinya, Jingga tak akan kesulitan lagi perihal keuangan.
Karena kehidupan mereka selama ini terkadang kurang, kurang dalam hal ekonomi. Membiayai kuliah saja sudah sangat sulit, seperti ikan yang hidup di air yang dangkal, harus berjuang untuk bisa menghirup oksigen dan bertahan meski kesulitan.
Beruntung Mega sudah lulus kuliah, sedangkan Jingga masih menjalani pendidikannya satu semester lagi. Itu pun melalui perjuangan yang tak mudah, tapi baik Jingga maupun kedua orang tuanya tak pernah menyerah, mereka mendukung apapun keinginan putri-putri mereka selama itu masih dalam hal yang baik.
“Ibu jangan pulang, aku takut,” lirih Jingga di sela isakan tangisnya.
“Dengarkan ibu nak, tidak perlu ada yang harus kamu takutkan. Tuan Langit adalah suamimu, ibu yakin dia akan memperlakukanmu dengan baik. Percayalah, dia orang yang baik. Kamu hanya harus menurut padanya, jangan membuatnya marah,” pesan Yaya. Tangannya dengan lembut mengusap punggung sang putri, berharap mampu memberikan ketenangan pada gadis itu.
Namun Jingga menangkap hal lain dari pesan sang ibu, kalimat itu semakin membuatnya takut. Harus menurut? Jangan membuatnya marah? Semua itu seolah menggambarkan betapa menakutkannya sosok Langit. Karena yang selama ini Jingga lihat pun seperi itu.
Pria tua itu begitu dingin dan tegas. Sorot matanya sangat tajam, setajam pedang yang mampu menghubus lawannya hanya lewat pandangan saja.
“Nyonya, keluarga anda sudah harus pulang. Dokter tidak mengizinkan ayah anda terlalu lelah, jadi mohon mengertilah..”
Jingga melepas pelukannya pada sang ibu, menoleh pada pak Lim yang berdiri di belakangnya. “Sebentar saja pak Lim,” mohon Jingga.
“Maaf Nyonya, tolong mengertilah. Tuan Langit yang memerintahkannya,” ucap pak Lim lagi. Bahkan panggilannya pada Jingga sudah berubah, pak Lim yang semula memanggilnya Nona, kini memangginya nyonya. Menegaskan bahwa Jingga sudah menjadi nyonya di rumah itu. Menjadi seorang istri yang harus mematuhi suaminya.
“Nak, tidak apa-apa. Ibu dan ayah memang harus pulang. Mbakmu sendirian di rumah, dia sedang sakit, berbahagialah..” Yaya mengusap pipi halus Jingga yang basah karena air mata, memeluk putrinya sekilas lalu mengajaknya menemui Hardi yang duduk di kursi roda tak jauh dari Langit.
Pria paruh baya itu tersenyum lembut, melihat binar kebahagiaan di kedua matanya, membuat hati Jingga menghangat. Pria itu melambaikan tangannya, memberi isyarat pada Jingga agar mendekat dan memeluknya.
“Ayah..” lirih Jingga, ia kembali terisak. Untunglah make up yang ia gunakan bukan make up kaleng-kaleng yang bisa longsor karena banjiran air mata, tapi make up mahal yang Langit minta secara khusus pada perias langganan orang tuanya dulu.
“Jangan menangis, kamu sangat cantik hari ini. Jangan sampai kamu jadi terlihat jelek karena kamu menangis. Ayah bahagia nak, kamu juga harus bahagia. Berjanjiah untuk hidup bahagia dan mematuhi suamimu..” pinta Hardi.
Alih-alih berhenti menangis, Jingga justru semakin terisak. Ia mengangguk beberapa kali dalam dekapan sang ayah, “Aku akan bahagia kalau ayah bahagia.”
“Ayah bahagia nak, ayah sangat bahagia. Kamu berada di tempat yang tepat, dan pada orang yang tepat. Ayah yakin kamu akan sangat bahagia,” bisik Hardi.
Entah mengapa, Jingga merasa ayahnya tahu sesuatu. Tahu banyak tentang Langit dan sangat percaya pada pria itu. Hardi seperti sangat mengenal Langit, sampai pria itu mengatakan bahwa Jingga berada di tempat yang tepat dan pada orang yang tepat.