Mencari Daddy Sugar? Oh no!
Vina Rijayani, mahasiswi 21 tahun, diperhadapkan pada ekonomi sulit, serba berkekurangan ini dan itu. Selain dirinya, ia harus menafkahi dua adiknya yang masih sangat tanggung.
Bimo, presdir kaya dan tampan, menawarkan segala kenyamanan hidup, asal bersedia menjadi seorang sugar baby baginya.
Akankah Vina menerima tawaran Bimo? Yuk, ikuti kisahnya di SUGAR DATING!
Kisah ini hanya fantasi author semata😍
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dewi Payang, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
13. Berusaha Kabur.
Pukul 23:15, Romlah baru saja tiba dirumahnya, ia merasa cemas dan panik melihat rumahnya masih gelap, juga Vino dan Vaniza tidak ada dimana-mana.
"Jeng, jeng Anggi!" Romlah mengetuk-ngetuk pintu rumah tetangganya itu, cukup lama baru dibuka.
"Apaan? Cari gara-gara biar ribut lagi? Ganggu orang tidur aja!" ketus Anggi mengusak kelopak matanya yang ngantuk berat.
"Vino dan Vaniza tidak ada dirumah Jeng, apa mereka ada disini?" Romlah tidak perduli omelan wanita besar itu, saat ini yang dirinya cemaskan hanya Vino dan Vaniza.
"Tidak ada! Mungkin mereka hilang! Udah, biarin aja, mereka itu nyusahin!" lalu menutup pintu dan menguncinya dari dalam.
"Ya Tuhan, mereka itu keponakanmu Jeng! Kalau kenapa-kenapa gimana?!" teriak Romlah mengurut dada, masih terkejut saat wanita besar itu menutup pintu dengan kasar didepan wajahnya.
"Aku ke rumah pak RT saja," Wanita itu berlari menuju kendaraan roda duanya yang masih terparkir didepan pagar rumahnya, mengabaikan rasa lelahnya seharian berdagang di pasar lalu lanjut membantu hajatan kerabatnya.
"Ah tidak, aku ke bangsalan anak-anak itu saja, semoga saja mereka ada disana," Romlah memutar arah laju roda duanya, berharap kedua bocah yang ia cari benar ada di rumah yang ia maksud.
Hati wanita itu sedikit lega begitu melihat kamar bangsalan sewaan Vina terang benderang, ia gegas turun dari kendaraan roda duanya.
"Vino! Vaniza! Kalian didalam!" Romlah berteriak memanggil, malah para tetangga yang terbangun.
"Ada apa Bude, Vino sama Vaniza paling sudah tiduran," salah satu ibu berdaster bunga-bunga menghampiri, wajah bantalnya kentara terlihat, sementara tetangga lainnya hanya berdiri diambang pintu, melongokan kepala.
Romlah langsung bernafas lega mendengarnya.
"Syukurlah kalau mereka ada didalam bu Sulan, saya cemaaas, takut mereka kenapa-napa," ungkapnya, wajah panik berangsur sirna.
"Memang si Vina kemana Bude? Kok adek-adeknya ditelantarkan gitu? Kasian kan masih kecil-kecil kaya gitu," pancing bu Sulan.
Bude Romlah sudah tahu kemana arah pembicaraan bu Sulan. Bukan rahasia lagi, kalau janda beranak tiga itu terkenal dengan mulut lemasnya, salah satu biang gosip di RT.04 mereka.
"Kerja lah Bu. Kita semua kan tahu, semenjak orang tua mereka meninggal, Vina yang menjadi tulang punggung bagi kedua adiknya.
"Yang penting kerjaannya yang bener ya Bu, nggak macem-macem, jadi simpenan om-om misalnya, Vina kan cantik. Soalnya saya dengar dari adek-adeknya kalau si Vina itu nggak pulang-pulang selama dua malam ini," mulut lemas bu Sulan mulai beraksi.
"Sudah, nggak baik berburuk sangka pada orang lain. Kalaupun itu benar, biar mereka saja yang menanggung dosanya, tapi kita jangan. Tugas kita menasehati saja, tidak lebih. Lebih baik kita mendokan yang terbaik saja, apa lagi si Vina dan adek-adeknya adalah anak yatim piatu yang perlu kita ayomi dan bantu saat mereka kesusahan."
"Susah memang ngomong sama biarawati! Ingatnya dosaaaa mulu! Apa-apa dosa! Ini-itu dosa! Pindah alam aja dah sana! Biar nggak ketemu para pendosa lagi!" bu Sulan beranjak sambil ngedumel dengan bibirnya yang merat-merot berantakan.
"Bude..."
Vino muncul, membuka pintu karena mendengar suara gaduh diluar.
"Cah Bagus, kamu kebangun ya?" Romlah tersenyum, buru-buru berjongkok, mensejajarkan dengan tinggi tubuh bocah laki-laki itu, yang dibalas anggukan.
"Bude cemas, tapi syukur kalian ada disini. Maaf ya, Bude tadi tidak sempat kasih kabar, bantuin kerabat Bude yang ada hajatan di kampung sebelah," mengusap kepala Vaniza yang baru keluar dari dalam rumah dengan mata sembabnya.
"Kami fikir Bude tidak suka dengan kehadiran kami dirumah Bude. Jadi kami pulang saja kemari. Kata orang-orang disini, kami sengaja ditinggal Kakak karena selalu menyusahkan. Itu sebabnya Bude juga ikut pergi," cicit Vaniza, tangis gadis kecil itu kembali tumpah.
"Semua itu tidak benar sayang, Cah Ayu," bude Romlah langsung menarik tubuh kecil Vaniza masuk dalam pelukannya, matanya ikut berkaca-kaca mendengar isi hati gadis kecil itu.
"Kamu, dan kakak Vino-mu tidak menyusahkan Bude, juga kak Vina kalian," sambil menarik Vino ikut masuk dalam dekapannya.
"Kalian anak-anak hebat dan pintar. Kak Vina kalian sedang kerja, cari uang banyak, supaya kalian tetap bisa sekolah. Jangan dengarkan kata-kata orang," imbuhnya, mengusap kedua bocah malang itu.
"Ikut Bude pulang ya, tadi Bude banyak bawa jajanan, disimpan khusus dari yang punya hajatan untuk kalian," bujuk Romlah kemudian.
"Kerabat Bude juga sayang sama kami?" Vaniza menatap tak percaya pada wanita paruh baya itu.
"Iya sayang," Romlah mengusap air mata yang masih membanjiri pipi bocah perempuan itu.
"Lusa, di hari minggu, kita jalan-jalan ke rumah kerabatnya Bude. Mereka pasti senang menyambut kedatangan kalian. Kalian mau?"
"Mau," Vino yang jarang bicara itu ikut menanggapi dengan antusias.
...***...
Pekerjaan Bimo belum setengahnya beres, tapi konsentrasinya sudah buyar. Pria itu berpura-pura tidak menyadarinya, saat sepasang mata sedang mengawasinya, menanti kelengahannya.
Wush!
Bimo begitu gemas, melihat kelebatan bayangan melintas cepat didepan pintu ruang kerjanya yang sengaja masih belum dipasang daun pintunya.
Rambut panjang hitam itu berkibar-kibar, melayang mengikuti sang pemiliknya.
"My baby, berani sekali kamu bermain-main denganku," gumamnya, beranjak dan gegas menyusul.
...***...
"Yes!" aku berjingkat-jingkat kegirangan.
"Aku harus segera melarikan diri dari laki-laki penuh otot itu!" Tanpa banyak berfikir, aku melesat pergi, dan pintu tertutup otomatis dibelakangku. Tujuanku hanya satu, menuju pintu lift.
Didalam lift, aku tersenyum, sudah membayangkan adik-adikku sedang berlari-lari menyambut kedatanganku lalu kami berpelukan erat setelah beberapa hari tidak bertemu.
Ting!
Dengan mengendap-endap, aku keluar dari lift, mendekati pintu ruang kerja tuan Bimo yang masih terang benderang.
"Jam segini masih kerja," aku mengintip disisi pintu.
Kulihat pria itu sedang membenarkan kacamatanya, atensinya sedang fokus pada lembaran berkas yang terbuka didepannya, sesekali tangannya mencorat-coret dengan pulpen rollerball ditangannya.
Merasa yakin dia tidak menyadari keberadaanku, secepat yang kubisa, aku melesat, berlari tanpa alas kaki sambil memegangi sepatu cat karet-ku, menuju lift berikutnya supaya bisa turun ke lantai dasar.
Klik. Klik. Klik.
"Nyebelin! Kok mati sih lifnya!" sambil berkacak pinggang aku ngedumel sendiri. Kembali mencoba, tapi tetap tidak bisa.
Hanya lift ini jalan satu-satunya agar aku bisa lolos dari sini, tidak tersedia tangga darurat.
"Ayo dong! Terbuka," aku sudah mulai putus asa dan mulai berisik didepan lift.
"Bukan manusia saja, lift juga butuh istirahat setelah sepanjang hari beroperasi."
Aku berbalik, menemukan presisi tuan Bimo melangkah mendekat hanya beralaskan kaos kaki, pantas saja langkahnya tidak kudengar.
"T-tuan!" aku tergagap, wajahku sepertinya sudah memucat, sepasang sepatuku sudah jatuh bebas.
"Mau kabur? Aku tidak pernah main-main, kamu pasti menerima konsekuensinya," dinginnya.
Tubuhku merapat pada pintu lift dibelakangku, walau aku tahu yang kulakukan ini upaya yang sia-sia untuk menghindar dan melindungi diri.
"Tolong Tuan, biarkan aku pergi," mohonku. Degup jantungku sudah tidak karu-karuan, pria itu seperti tuli, kian mendekat, hingga akhirnya...
"Lepasin! Turunkan aku Tuan!" aku meronta, pria itu sudah mengangkut tubuhku bagai sekarung beras dipundaknya, seolah bobotku ringan seperti kapas.
"Aku--, ingin bertemu adik-adikku! Mereka pasti cemas mencariku!" aku terus meronta berusaha melepaskan diri, tapi pria itu tidak perduli.
Bahkan tangan kokohnya semakin kuat menekan kedua kakiku yang berusaha menendang kesana kemari. Tanpa bicara, ia membawaku kembali ke lift menuju penthouse.
Bersambung...✍️
Pesan Moral : Jangan perdulikan hoax tetangga😎 (By : Tenth_Soldier)
🤣