Hidupku hancur, setelah pernikahan keduaku diketahui oleh istriku, aku sengaja melakukan hal itu, karena aku masih mencintainya. Harta yang selama ini kukumpulkan selama 10 tahun. Lanhsunh diambil oleh istriku tanpa tersisa satu pun. Lebih parahnya lagi, aku dilarang menafkahi istri siri dan juga anak tiriku menggunakan harta bersama. Akibatnya, aku kembali hidup miskin setelah mendapatkan karma bertubi-tubi. Kini aku selalu hidup dengan semua kehancuran karena ulahku sendiri, andai waktu bisa ku ulang. Aku tidak pernah melakukan kesalahan yang fatal untuk pernikahanku.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Minami Itsuki, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 24 KOSONG MELOMPONG
"Mah, tolong." Aku sempat melirik ke arah Angga yang tengah menikmati sarapan paginya. Walaupun dia terlihat cuek dengan pembicaraan orang tuanya tetap saja aku sebagai ayahnya merasa tidak enak dengannya. "Aku enggak ikut campur kok, aku cuma--"
"Pergilah, Mas. Urus saja gundikmu itu. Temui dia sekarang, karena dia sudah lama menantimu di rumah."
"Ayo, sayang kita berangkat sekolah," ujar Siska terhadap Angga. Mereka berdua langsung meninggalkan ku di meja makan sendirian tanpa menungguku selesai. Bahkan sikap anakku juga sama seperti ibunya. Kami berdua sudah seperti orang asing. Tak ada lagi kata ayah yang keluar dari mulutnya.
Jangankan keluar kata ayah, berbicara denganku saja dia sudah tidak mau. Aku sungguh menyesal, sudah menyakiti hati keduanya.
Andai saja waktu bisa diulang, mungkin aku tidak akan menikah lagi dan menyakiti hati ibunya.
Setelah kepergian Siska, aku langsung bersiap-siap menuju restoran, setengah jam kemudian aku telah sampai. Ternyata Siska juga sudah sampai lebih dulu.
Aku lihat dia begitu sibuk membantu semua karyawanku. Ia begitu cekatan dan resik saat mengelola restoran, sedangkan diriku hanya bisa melihat tanpa membantunya.
Setiap kali aku ingin membantu dirinya, ia selalu menyuruhku untuk pergi ke rumah Rahma.
"Buat apa kamu datang ke resto ini, Mas. Bukankah kamu selalu pergi ke rumah gundikmu, dan menginap di sana selama seminggu."
"Tapi aku mau bantu kamu."
"Tidak perlu, pergilah dan temani dia sepuasmu seperti biasa. Anggap saja aku tidak tahu!" Begitulah kata-kata yang dilontarkan oleh Siska, ia selalu saja menyindirku perihal aku yang selalu membohongi dia selama beberapa bulan dengan cara menginap di resto dan akan pulang diakhir pekan.
"Sayang?" panggilku, ia menoleh.
"Ada apa, Mas? Bisa enggak enggak usah panggil kata sayang. Aku sudah muak mendengar kata-kata itu! Kamu enggak ke rumah gundikmu?"
"Maaf, aku sudah terbiasa. Aku cuma mau bilang, tolong jangan berkata itu terus, aku mohon."
"Kenapa? Kamu sudah mulai bosan? Dengan kata gundik? Atau mau aku ganti dengan kata yang lain?"
"Bukan begitu maksudku, hanya saja aku tidak suka dengan lontaran kamu setiap kali aku berbira denganmu."
"Hoh." Ia memutar bola matanya malas dan kembali fokus melihat karyawan yang sibuk melayani para pelanggan.
"Begini, boleh aku minta uang?" ujarku pada intinya.
"Untuk apa?" jawabnya tanpa menolehku.
"Untuk ... Itu ... " Saat aku tengah berbicara dengan Siska tiba-tiba saja ponselku berdering. Tapi aku malas mengangkatnya. Aku yakin itu pasti dari Rahma.
"Kenapa enggak diangkat, Mas? Siapa tahu gundikmu lagi butuh bantuan."
"Biarkan saja, aku mau minta--" Karena ponsel ini terus berdering. Terpaksa aku mengangkatnya ternyata benar, panggilan ini dari Rahma. "Sebentar ya, aku angkat telepon dulu." Siska tidak merespon ucapanku, ia lebih senang memperhatikan karyawannya.
"Halo?"
"Mas! Kamu di mana? Kenapa belum datang juga? Katanya kamu mau ke sini untuk melihat keadaan rumah."
"Iya, nanti aku ke sana. Aku masih di resto."
"Cepat datang, Mas. Aku sudah diserang sama ibu-ibu kompleks. Aku tidak boleh lagi tinggal di sini."
"Hah! Kok bisa sih?"
"Pokoknya kamu ke sini saja, Mas. Aku takut."
"I .. Iya, aku ke sana. Tunggu, ya. " Selesai berbicara aku langsung mematikan ponselku dan berjalan ke arah Siska untuk meminta izin sekaligus meminta uang karena sudah beberapa minggu ini aku sudah dihubungi oleh pihak bank untuk membayar angsuran rumah.
"Mah, aku izin keluar dulu ya nanti kalau sudah selesai aku datang ke Resto ini."
"Pergilah, Mas. Tidak ada yang melarangmu." Aku menghela nafasku dengan pelan, sepertinya Siska sudah tidak bisa lagi diluluhkan, setiap kali aku aku ingin pergi ia selalu saja membolehkan tanpa melarangku seperti biasa atau memintaku untuk berada di rumah untuk waktu yang lama.
Tanpa berkata lagi, aku segera pergi menuju rumah Rahma.
Butuh waktu setengah jam untuk sampai rumah istri kedua, saat mobilku sudah masuk ke dalam rumah terlihat Rahma begitu senang dengan kedatanganku
"Mas ...!" Rahma langsung berlari ke arahku, dan memeluk tubuhku dengan erat. "Mas aku takut."
"Takut kenapa?"
"Ibu-ibu di kompleks ini sudah menyuruhku untuk pergi dari sini, Mas."
"Sebenarnya ini ada apa sih? Kenapa kamu bisa seperti ini?"
"Kemarin aku ingin menjelaskan, tapi kamu langsung mematikan ponselnya, berkali-kali aku menghubungimu tapi ponselmu selalu tidak aktif," keluhnya, aku lupa jika kemarin itu aku belum menyalakan ponsel lagi hingga aku lupa dengan keadaan istri keduaku.
"Maaf, ya. Kemarin ponselku benar-benar mati total dan aku lupa untuk menyalakannya, lebih baik kita masuk saja ke dalam tidak enak kalau berbicara di luar seperti ini."
"Tapi, Mas. Di dalam rumah--"
Aku tidak terlalu menggubris ucapan Rahma, aku ingin buru-buru masuk ke dalam. Aku sempat melihat ada beberapa ibu-ibu kompleks yang melihat ke arahku. Saat pintu rumah sudah dibuka. Mataku seketika terbelalak melihat penampakkan rumah yang sudah melompong tanpa ada barang-barang perabotan di sini.
"Ke... Kenapa? Kenapa di sini tidak ada barang perabotan? Kemana semuanya?" Jiwaku begitu terguncang melihat keadaan rumah yang benar-benar kosong tanpa adanya perabotan, mataku terus saja melihat sekeliling sudut ruangan. Tidak ada barang satupun yang tertinggal di rumah ini.
bahkan barang-barang yang ada di kamar pun sudah tidak ada, begitu juga dengan kamar anak tiriku, tidak ada kasur atau meja belajar miliknya di sini. Yang tersisa hanya baju yang tergeletak di lantai dengan beralaskan tikar.
"Mas?" Aku menoleh, ternyata Rahma sudah berada di belakangku.
"Kemana semua perabotan di rumah ini? Kenapa jadi kosong melompong begini, di mana kasur dan lemari kita? Sebenarnya ada kejadian apa?" cecarku dengan semua pertanyaan.
"Andai saja kamu datang ke sini seperti biasa, aku yakin kejadian seperti ini tidak akan ada. Kalau saja ponselmu selalu aktif, mungkin aku bisa mempertahankan barang-barang milikku, Mas."
"Jelaskan padaku sekarang, enggak usah bahas ke mana-mana. Intinya di mana barang perabotan yang aku beli? Apa ini ada hubungannya dengan Siska?"
"Itulah yang mau aku katakan sama kamu, Mas. Semua barang milik kita, sudah dirampas oleh istri tuamu. Dia datang ke sini membawa 3 truk besar, dan mengangkut semuanya. Bukan hanya itu saja, istrimu juga mengatakan kepada semua orang, bahwa dia istri pertamamu. Lebih parahnya lagi, dia tidak pernah mengizinkan kamu menikah lagi denganku. Gara-gara dia, ibu-ibu kompleks ini selalu menyindirku dengan kata-kata tajam. Bahkan mereka menghasut Pak RT untuk mengusirku dari Kompleks ini." Seketika pandangan mataku berputar-putar, kepalaku terasa berat bahkan tubuh ini sudah tidak bisa lagi berdiri tegak.
"Mas, kamu kenapa?" Wajah Rahma begitu panik melihat diriku yang sudah lemas tak ada tenaga.
"Tolong ambilkan aku minuman, kepalaku rasanya pusing."
"Iya, Mas. Aku belikan minuman dulu di toko."
"Kenapa kamu harus beli minuman di luar? Memangnya di rumah ini tidak ada air?"
"Sudah tidak ada, Mas. Bahkan dispenser yang biasa kita minum sudah diambil oleh Mbak Siska beserta dengan tempatnya, di rumah ini sudah tidak ada perabotan satupun yang disisakan oleh Mbak Siska, kecuali baju kita bertiga yang sudah tergeletak di lantai. Kamu lihat sendiri kan baju kita sudah berserakan di mana-mana." Mataku kembali melihat ke arah tumpukan baju, ternyata Siska benar-benar tidak main dengan ucapannya.
"Ya, sudah. Belikan saja dulu minuman di luar, aku sudah tidak kuat lagi dengan rasa sakit di kepalaku." Rahma pun segera keluar, tubuhku kembali lemas melihat keadaan rumah sudah kacau.
menceritakan wanita kuat.
recommended banget
bodoh yg berkepanjangan sekarang rasakan akibatnya