Bukan salah Anggun jika terlahir sebagai putri kedua di sebuah keluarga sederhana. Berbagai lika-liku kehidupan, harus gadis SMA itu hadapi dengan mandiri, tatkala tanpa sengaja ia harus berada di situasi dimana kakaknya adalah harta terbesar bagi keluarga, dan adik kembar yang harus disayanginya juga.
"Hari ini kamu minum susunya sedikit aja, ya. Kasihan Kakakmu lagi ujian, sedang Adikmu harus banyak minum susu," kata sang Ibu sambil menyodorkan gelas paling kecil pada Anggun.
"Iya, Ibu, gak apa-apa."
Ketidakadilan yang diterima Anggun tak hanya sampai situ, ia juga harus selalu mengalah dalam segala hal, entah mengalah untuk kakak ataupun kedua adik kembarnya.
Menjadi anak tengah dan harus selalu mengalah, membuat Anggun menjadi anak yang serba mandiri dan tangguh.
Mampukah Anggun bertahan dengan semua ketidakadilan karena keadaan dan situasi dalam keluarganya?
Adakah nasib baik yang akan mendatangi dan mengijinkan ia bahagia?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon YoshuaSatrio, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
TUJUH BELAS
Melihat betapa bahagia kedua adiknya, Anggun tak bisa menahan perasaan haru meskipun ia tahu ayahnya membelanjakan uang yang ia tahu dari mana itu berasal.
Kebimbangan kembali menarik keluar dan memaksanya menelan semua tekad untuk mengungkap kejahatan sang guru BP. Anggun kembali berpikir berulang dan mempertimbangkan sendiri keputusannya sebelumnya.
“Mbak ndun, jangan sakit, aku tadi malam bobok sama bude Anik loh!” lapor Arin dengan ekspresi wajah menggemaskan.
“Loh, kenapa?”
“Habisnya Mbak Lia nakal, galak!” imbuh Arpan ikutan mengadu.
“Kenapa begitu? Kalian nakal?” sela Bu Maryani.
“Enggak loh bu!” sanggah kompak bocah kembar itu.
“Ya udah, maafin mbak Anggun ya, kalian jadi susah karena Ayah sama Ibu njaga mbak Anggun di sini.” Anggun menyela seraya mengelus kepala kedua adiknya yang duduk menempel di sisi kiri dan kanan Anggun.
“Hm! Makanya ayo pulang!” rengek Arpin mendongakkan kepala menatap protes pada Anggun.
“Iya … hari ini kita pulang kok, mbak Anggun sudah sehat,” sahut cepat Anggun mendahului sang ayah dan ibu yang juga terlihat membuka mulut hendak mengucapkan sesuatu.
“Anggun ….” Ucapan Bu Maryani kembali tertahan di ujung tenggorokannya, ia beringsut duduk di tepi brangkar, lalu meraih Arpan dan memangkunya, “Kamu … apa tidak ada yang kamu keluhkan? Apa ….”
“Jangan paksa Anggun Bu, biarkan dia nanti bercerita sendiri jika sudah merasa nyaman, ingat apa yang dikatakan dokter,” cegah pak Hendra ikut duduk di sisi sebelahnya seraya memangku Arpin, sungguh potret pemandangan keluarga yang harmonis.
Bu Maryani menghela napas mengulum kembali segala kekecewaan dan kekhawatirannya.
Tak ingin orang tuanya terbebani lagi dengan hal itu, Anggun menguatkan diri, diremasnya ujung bantal yang sedari tadi diatas pangkuannya, lalu menarik napas dalam, berusaha mengambil sebanyak-banyaknya kekuatan dari alam, “Ayah … ibu … aku rasa aku hanya ketakutan akan hal yang tidak seharusnya aku ributkan, maafkan aku membuat kalian khawatir.”
Gerakan rahang yang menonjol, menandakan Anggun yang sekuat tenaga menahan agar air mata tak ada lagi yang jatuh sia-sia. Tekad kuatnya untuk melupakan kepahitan itu telah bulat saat ini. Bukan berarti ia memaafkan dengan mudah, tapi ia hanya ingin melanjutkan hidupnya seperti biasa, tanpa harus menerima pandangan aneh dari orang-orang di sekitarnya.
Semua kekuatan itu bukan serta Merta ia peroleh sendirian, Anggun mendapatkan dukungan moril dari dokter Lina, dokter Andika, dokter Wirya dan perawat Tobia.
........🌾
Tempo hari lanjutan percakapan setelah sesi terapi bersama dokter Lina.
“Dokter, bolehkan aku mengatakan hal lain lagi?” ucap Anggun setelah merapikan wajahnya dan menghapus air mata.
Hatinya berangsur merasa lega, di bawah sadarnya, sekali terapi dari dokter Lina telah mengangkat sebagian ketakutan dan kecemasannya.
“Katakan saja, kita sudah berteman, teman itu saling membantu dan saling mendukung, kami ada di sini untuk Anggun.” Dengan senyum menentramkan dokter Lina menggenggam telapak tangan Anggun yang sedari tadi masih erat meremas bagian ujung pakaiannya sendiri.
“Tapi, orang itu telah memberikan sejumlah uang, dan … dan sayangnya, orang tuaku yang polos itu menerimanya, Dokter!” Anggun kembali terisak kecil, namun berkat kekuatan dari uluran tangan dokter Lina yang dengan lembut jongkok di depannya itu, Anggun berhasil kembali menguasai diri.
“Akan aku kembalikan!” tukas cepat dokter Andika seraya berdiri melangkah mendekat ke arah Anggun.
“Sudah ku duga, orang baik ini tak akan tinggal diam,” ledek perawat Tobia yang disambut tawa kecil dari dokter lainnya.
Anggun yang terkejut dengan respon dokter Andika, termangu beberapa saat hingga dokter Lina menepuk pundaknya, “Jangan heran, dia itu dokter tajir yang gabut, dia tak pernah maen-maen kalau udah bilang ingin membantu.”
Anggun menarik napas panjang, lalu menghembuskannya dengan sekali sentakan. “Tapi tidak sesederhana itu Dokter,” ucap Anggun seraya menegakkan duduknya. “Aku dengar anaknya kecelakaan bahkan belum sadar sampai sekarang, aku rasa dia sudah mendapatkan balasannya, itu alasan pertama.”
“Lalu?” sahut dokter Wirya menunggu lebih jelasnya maksud pasiennya itu.
“Orang itu sangat jahat, dia tega memfitnah saya, jika akhirnya dia yang menang dengan segala kelicikannya, apa yang akan terjadi pada keluarga saya, saya tidak akan tahan jika dikucilkan dan dituduh sebagai perempuan yang tidak suci, Dok! Karena saya tidak punya saksi saat dia melakukannya waktu itu.” Anggun tertunduk setelah selesai dengan ucapannya.
“Kamu bilang ada teman baikmu yang pasti akan mau bersaksi, kenapa sekarang ragu lagi?” sanggah dokter Andika bernada kecewa dengan keputusan Anggun.
“Saya juga tidak ingin menyulitkan dia Dokter, teman saya itu terlalu baik. Pokoknya aku mau pulang saja Dokter! Aku tidak mau lagi memikirkan ini! Jangan tanya apapun lagi!” teriak Anggun membentengi diri dengan menutup kedua telinganya kembali tertunduk memejamkan mata.
Dokter Lina memeluk Anggun, berharap pasien belia itu mendapatkan sedikit ketenangan. “Baiklah … baiklah jika Anggun memang ingin mengubur dalam-dalam luka ini, kami tidak akan melanjutkan apapun.”
Anggun menarik diri dari pelukan dokter Lina, lalu bangkit berdiri, “Tapi, jika diperbolehkan, saya akan datang sewaktu-waktu jika nanti saya merasa ingin melakukan sesuatu sebagai pembalasan perbuatan orang itu,” pinta Anggun tertunduk mengatupkan kedua tangannya di dada.
“Tentu! Pintu kami terbuka selalu Anggun.” sahut cepat dokter Lina tak ingin para pria itu justru akan semakin menekan Anggun.
………🌾
Seperti yang Anggun ucapkan, tak lama kemudian dokter Wirya masuk ke dalam bilik Anggun.
“Terimakasih sudah bertahan baik dan cepat pulih, Anggun. Hari ini juga kamu boleh pulang dengan pengawasan ya, jika ada hal-hal yang dirasakan tolong kembali periksa,” terang dokter Wirya.
“Terimakasih Dokter.” jawab pak Hendra terlihat begitu senang.
“Nanti saya resepkan beberapa obat dan vitamin, tolong diminum rutin dan habiskan ya Anggun. Minggu depan kita ketemu lagi, untuk melihat perkembangan Anggun.”
“Nggun!!”
Sontak semua menoleh saat sosok tak asing itu memanggil Anggun, dengan wajah sembab karena tangis.
Ini Anisa sama temennya kan 😮💨
Apa ig nya 🤭
lebih cocok jadi anaknya Tono dia 😩