NovelToon NovelToon
Bunga Yang Layu Di Hati Sahabat

Bunga Yang Layu Di Hati Sahabat

Status: sedang berlangsung
Genre:Fantasi Wanita
Popularitas:4.6k
Nilai: 5
Nama Author: icha14

Judul: Bunga yang Layu di Hati Sahabat


Sasa dan Caca adalah sahabat karib sejak SMA. Mereka selalu bersama, berbagi impian, tawa, dan bahkan tangis. Sasa, yang dikenal lembut dan penuh kasih, melanjutkan hidupnya dengan menikahi Arman setelah menyelesaikan kuliah nya, pria yang selama ini menjadi cinta sejatinya. Sementara itu, Caca, yang masih berjuang menemukan cinta sejati, sering merasa kesepian di tengah gemerlap kehidupannya yang tampak sempurna dari luar.

Namun, retakan mulai muncul dalam hubungan persahabatan mereka ketika Caca diam-diam menjalin hubungan terlarang dengan Arman. Perselingkuhan ini dimulai dari pertemuan yang tak disengaja dan berkembang menjadi ikatan penuh godaan yang sulit dipadamkan. Di sisi lain, Sasa merasa ada sesuatu yang berubah, tetapi ia tak pernah membayangkan bahwa sahabat yang paling dipercayainya adalah duri dalam rumah tangganya.

Ketika rahasia itu terungkap, Sasa harus menghadapi penghianatan...

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon icha14, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

pulang

Langit pagi berwarna oranye keemasan saat Arman masuk ke dalam mobilnya. Suara mesin yang menyala perlahan seperti alunan melodi yang mengiringi kepergiannya. Ia melirik ke kaca spion, melihat bayangan proyek tempat ia menghabiskan beberapa bulan terakhir mulai mengecil di kejauhan. Namun, yang terpantul bukan hanya gedung dan jalan yang ditinggalkan, melainkan juga perasaan yang tertinggal di sana.

Empat jam perjalanan ke kota asalnya bukan waktu yang singkat, tapi Arman tahu ini bukan sekadar perjalanan fisik. Ini adalah perjalanan untuk pulang—pulang ke keluarga yang telah menantinya, dan pulang ke dirinya sendiri yang sudah lama ia abaikan.

Di awal perjalanan, pikiran Arman masih dipenuhi wajah Caca. Percakapan singkat tadi pagi di area parkir proyek seperti adegan yang diputar berulang di kepalanya. Ada sesuatu yang tak bisa ia lupakan, bukan karena perasaan cinta yang masih tersisa, melainkan karena Caca telah menunjukkan sebuah keberanian yang belum sepenuhnya ia miliki: keberanian untuk memaafkan dan melepaskan.

“Kadang yang paling sulit itu bukan melupakan, tapi menerima bahwa sesuatu tak akan pernah sama lagi,” gumamnya sambil memutar setir, mengikuti jalan yang mulai melengkung.

Angin dari jendela mobil yang sedikit terbuka mengelus wajahnya, membawa aroma pagi yang segar. Ia menarik napas dalam, mencoba mengusir rasa sesak yang menggantung di dadanya. Caca benar. Semua hal memang ada akhirnya. Dan sekarang, ia harus benar-benar menerima akhir itu.

Arman teringat Sasa, istrinya yang selalu penuh kesabaran. Perempuan itu tak pernah menuntut banyak darinya, hanya meminta agar ia hadir, sepenuhnya, untuk keluarga kecil mereka. Tapi selama ini, Arman sadar dirinya tak pernah benar-benar hadir. Jiwanya terperangkap di masa lalu, sementara tubuhnya hanya berjalan seperti bayangan.

“Maaf, Sa,” ucapnya pelan, meski Sasa tak ada di sampingnya untuk mendengar. “Aku janji, kali ini aku akan pulang sebagai pria yang berbeda.”

Mobil melaju stabil di jalanan yang mulai dipenuhi kendaraan lain. Arman menyalakan radio, berharap alunan musik bisa mengalihkan pikirannya. Tapi lagu yang diputar justru membawa kenangan lain. Sebuah lagu lama yang dulu sering ia dengarkan bersama Caca.

Ia menghela napas panjang, lalu mematikan radio. “Kenangan itu seperti hujan. Kadang datang tanpa diundang, tapi kita bisa memilih bagaimana cara menghadapinya.”

Arman tahu, kenangan bukan sesuatu yang bisa ia hapus begitu saja. Tapi seperti yang Caca katakan, ia harus belajar untuk hidup berdampingan dengan kenangan itu tanpa membiarkannya menguasai. Hidup bukan tentang melupakan, tapi tentang bagaimana kita bergerak maju dengan membawa pelajaran dari masa lalu.

Setengah perjalanan telah ia tempuh. Langit mulai memutih, pertanda matahari akan segera meninggi. Di kejauhan, ia melihat sebuah rest area dan memutuskan untuk berhenti sejenak. Ia memarkir mobil, lalu keluar untuk meregangkan tubuh.

Di sebuah bangku kecil di bawah pohon rindang, Arman duduk sambil menyeruput kopi dari warung kecil di area itu. Ia membuka ponselnya, menatap layar yang memperlihatkan foto Sasa tersenyum sambil memegang secangkir teh. Wajah itu penuh ketulusan, tapi juga menyimpan cerita tentang perjuangan.

“Sasa adalah rumahku, dan aku sudah terlalu lama lupa bagaimana caranya pulang,” pikir Arman. Ia merasa bersalah, tapi juga termotivasi. Ia ingin membangun kembali apa yang hampir ia rusak.

“Mulai hari ini, aku akan jadi pria yang lebih baik. Untuk Sasa, untuk keluarga kami, dan untuk diriku sendiri,” ucapnya dalam hati, sambil memejamkan matanya.

Perjalanan kembali dilanjutkan. Kali ini, pikiran Arman lebih tenang. Ia sudah mulai melihat ke depan, meninggalkan bayangan Caca di belakang. Bukan berarti ia melupakan, tapi ia tahu bahwa hidupnya ada di tempat lain—bersama istri yang selalu mencintainya tanpa syarat.

Menjelang siang, kota asalnya mulai terlihat. Jalanan yang dulu biasa ia lewati kini terasa berbeda, seolah-olah ada sesuatu yang baru meski semuanya masih sama. “Kadang, bukan tempat yang berubah, tapi cara kita melihatnya yang berbeda.”

Arman memarkirkan mobilnya di halaman rumah orang tua Sasa, tepat pada pukul 14.00. Matahari yang masih terik menyinari halaman luas itu, memberi kesan hangat yang langsung terasa. Begitu ia membuka pintu mobil, udara siang yang segar langsung menyambut. Tak ada yang terlalu berbeda dengan tempat ini. Halaman yang sama, rumah yang sama, dan segala kenangan yang ada di dalamnya. Namun, bagi Arman, kali ini segala sesuatunya terasa berbeda. Perasaan yang ada di hatinya lebih berat, tapi juga penuh harapan.

Dengan langkah yang sedikit lebih mantap, Arman menutup pintu mobil dan mulai berjalan menuju rumah. Setiap langkahnya terasa begitu berarti. Ia merasa seperti tengah memasuki babak baru dalam hidupnya. Perjalanan panjang yang penuh dengan keraguan dan penyesalan kini mulai membawanya kembali ke titik awal—ke tempat yang seharusnya ia pertahankan, ke keluarga yang selalu menunggu.

Saat Arman melangkah mendekat, ibu mertuanya, Bu Salwa, muncul dari dalam rumah. Senyum lebar terpancar dari wajah wanita paruh baya itu. Sementara itu, Pak Arfan, ayah mertuanya, berdiri di samping Bu Salwa dengan senyum yang tak kalah ramah. Merekalah yang selalu memberi dukungan kepada Sasa dan Arman selama ini. Meskipun banyak hal yang tak pernah mereka ungkapkan secara langsung, Arman tahu bahwa mereka berdua adalah pilar kekuatan di balik pernikahannya.

“Arman, akhirnya kamu sampai juga,” ujar Bu Salwa dengan suara lembut, namun penuh kehangatan.

Pak Arfan mengangguk dan berkata, “Selamat datang, Arman. Kami sudah menunggu.”

Arman hanya bisa tersenyum canggung, meskipun hatinya dipenuhi rasa terima kasih yang mendalam. “Terima kasih, Bu, Pak. Maaf kalau terlambat,” ucapnya pelan. Ada perasaan bersalah yang masih mengganjal di dadanya, namun ia tahu bahwa ini adalah saatnya untuk memperbaiki semuanya.

Sasa, yang sudah berdiri di dekat pintu rumah, mengamati Arman dari kejauhan. Wajahnya tampak tenang, namun ada keraguan di matanya. Arman tahu, Sasa mungkin merasa sedikit cemas, namun juga penuh harapan. Setelah sekian lama, akhirnya mereka bertemu kembali di sini, di rumah ini—tempat di mana mereka pertama kali merajut mimpi bersama.

“ Mas Arman,” panggil Sasa lembut, suaranya mengalun penuh makna. Ia melangkah ke depan, memberikan pelukan hangat kepada suaminya.

Arman merasakan pelukan itu begitu erat, seolah-olah Sasa ingin mengungkapkan segala perasaan yang selama ini dipendam. Ia membalas pelukan itu, merasakan getaran lembut dalam dirinya. Ini adalah momen yang sangat berharga, dan Arman tahu bahwa ia harus berusaha untuk membuatnya tetap ada.

“Kami sudah menyiapkan makan siang, mas Arman,” kata Bu Salwa dengan ramah. “Sasa sudah membuatkan hidangan spesial untukmu.”

Arman mengangguk, merasakan kehangatan dalam kata-kata itu. “Terima kasih, Bu pak. Aku sudah sangat lapar,” jawabnya, mencoba menyembunyikan kegugupannya di balik senyuman.

Setelah berpelukan, mereka berjalan menuju ruang makan yang sudah dipenuhi dengan berbagai hidangan. Meja makan penuh dengan berbagai jenis makanan—nasi yang baru matang, ayam goreng yang renyah, sayur asam yang segar, dan sambal goreng tempe yang menggugah selera. Namun, yang paling membuat Arman terkesan adalah hidangan ikan bakar yang disiapkan dengan penuh perhatian. Semua makanan ini mengingatkan Arman pada masa-masa ketika ia masih sering duduk di meja makan ini, bersama dengan Sasa dan orang tuanya, menikmati kebersamaan yang sederhana.

Sasa, yang sudah duduk di meja, tersenyum lembut saat melihat Arman mendekat. Ia tampak begitu cantik, meski dengan riasan sederhana. Namun bagi Arman, keindahan yang terpancar dari wajah Sasa bukan terletak pada penampilannya, melainkan pada ketulusan yang selalu ia miliki.

“Selamat makan, Arman,” kata Sasa dengan suara lembut, namun ada sedikit kekhawatiran di balik kata-katanya. “Aku harap kamu suka.”

Arman mengangguk, mencoba menenangkan perasaan yang sedikit kacau. “Terima kasih, Sa. Ini semua terlihat enak sekali.” Ia mulai menyantap hidangan yang ada di depannya, mencoba menikmati momen ini meskipun hatinya masih terasa berat.

1
Ani Aqsa
ceritanya bagus.tp knapa kayak monoton ya agak bosan bacanya..maaf y thor
Lili Inggrid
lanjut
✨HUEVITOSDEITACHI✨🍳
Wuih, nggak sabar lanjutin!
Android 17
Terharu sedih bercampur aduk.
Mắm tôm
Suka banget sama karakter yang kamu buat thor, semoga terus berkembang.
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!