Ralina Elizabeth duduk tertegun di atas ranjang mengenakan gaun pengantinnya. Ia masih tidak percaya statusnya kini telah menjadi istri Tristan Alfred, lelaki yang seharunya menjadi kakak iparnya.
Semua gara-gara Karina, sang kakak yang kabur di hari pernikahan. Ralina terpaksa menggantikan posisi kakaknya.
"Kenapa kamu menghindar?"
Tristan mengulaskan senyuman seringai melihat Ralina yang beringsut mundur menjauhinya. Wanita muda yang seharusnya menjadi adik iparnya itu justru membuatnya bersemangat untuk menggoda. Ia merangkak maju mendekat sementara Ralina terus berusaha mundur.
"Berhenti, Kak! Aku takut ...."
Ralina merasa terpojok. Ia memasang wajah memelas agar lelaki di hadapannya berhenti mendekat.
Senyuman Tristan tampak semakin lebar. "Takut? Kenapa Takut? Aku kan sekarang suamimu," ucapnya lembut.
Ralina menggeleng. "Kak Tristan seharusnya menjadi suami Kak Karina, bukan aku!"
"Tapi mau bagaimana ... Kamu yang sudah aku nikahi, bukan kakakmu," kilah Tristan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Momoy Dandelion, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 19: Mungkinkah Kita Bisa Bersama?
Ralina duduk di tepi sungai bersama Ares. Setelah menyuapi dan memberi Iris obat, Ares mengajaknya keluar. Mereka sempat saling diam beberapa saat.
"Aku mau minta maaf untuk kejadian waktu itu di butik," kata Ralina membuka percakapan.
"Meminta maaf? Untuk apa kamu minta maaf?" Ares sedikit tertawa mendengar ucapan Ralina.
"Aku rasa kata-kata kakakku padamu sudah berlebihan. Aku jadi tidak enak hati padamu."
Ares mengulaskan senyum. Ia mengusap kepala Ralina seraya merangkul pinggangnya agar lebih mendekat ke arahnya.
"Aku tidak apa-apa. Kamu jangan memikirkannya lagi."
"Bahkan aku berterima kasih berkat tips dari calon kakak iparmu itu aku bisa membayar biaya perawatan Iris."
"Lagi pula ... Semua yang kakakmu katakan itu fakta."
Meski Ares bilang tidak apa-apa, Ralina tahu bagaimana menyakitkannya perkataan Karina. Tanpa ada orang yang merendahkannya, Ares juga pasti sudah merasa rendah diri dengan kondisinya.
Ralina menyandarkan kepalanya di bahu Ares. Matanya memandangi kesibukan orang-orang yang berlalu lalang di jalan seberang sungai.
"Dua adikmu yang lain kemana?"
"Ben dan Ernest membantu ayah jadi kuli bangunan."
"Hah? Mereka kan masih kecil?" Ralina terkejut mendengarnya.
Ares terkekeh. "Kecil?"
"Ben sekarang sudah 17 tahun dan Ernest 14 tahun. Mereka sudah SMA dan SMP."
Ralina masih tidak percaya adik-adik Ares sudah besar. Waktu terasa begitu cepat berlalu.
"Soal perkataan adikmu ... Aku juga mau minta maaf."
Ares mengernyitkan dahinya. "Kenapa kamu suka sekali meminta maaf. Memangnya kamu salah apa?"
Ralina menoleh dan menatap mata Ares dalam-dalam. "Maaf karena selama ini sudah membuatmu kesulitan."
Ares tertawa. "Kamu meminta maaf karena selalu ranking satu saat SMA? Kamu meminta maaf karena merasa sudah membuatku menderita?"
"Ya ... Aku bisa pintar juga karena belajar darimu. Meskipun kita bersaing, kamu tidak pernah menolak mengajari apa yang tidak aku tahu."
Ralina merasa sedih mengingat hal yang telah berlalu. Ia mati-matian belajar berusaha menjadi yang terbaik agar bisa membanggakan keluarga. Juga dengan uang beasiswa ia tak perlu merepotkan orang tuanya.
Ternyata Ares juga mengalami hal yang sama. Bahkan seharusnya ia lebih membutuhkan dibanding dirinya.
Ares menghela napas panjang. Ia sangat benci untuk menceritakan kesulitannya. Bagi dirinya, hidup bukan untuk dikeluhkan, tapi dijalani dan diusahakan semaksimal mungkin agar tidak ada penyesalan.
"Aku tidak pernah menyesal dengan apa yang sudah aku lakukan. Justru aku merasa beruntung bisa memiliki kesempatan untuk dekat dengan gadis tercantik di sekolah."
Ralina menitihkan air mata. Ia senang mendengar jawaban Ares. Di sisi lain, ia juga sedih membayangkan betapa beratnya kehidupan seorang Ares.
"Setiap orang tua mungkin punya harapan yang berbeda-beda terhadap anaknya."
"Keluargaku memang sangat kekurangan. Untuk makan saja sulit, apalagi untuk memikirkan pendidikan."
"Karena itu kami juga dipaksa untuk berprestasi agar bisa mendapatkan beasiswa penuh. Selain itu, kami juga sudah terlatih untuk bekerja sejak dini demi uang jajan."
"Dari kami berempat, adik bungsuku, Iris, dia yang paling lemah akademiknya. Sejak kelas satu sampai kelas tiga sekolah dasar, dia tidak pernah masuk peringkat tiga besar. Yah, tapi masih bisa ikut sepuluh besar."
"Aku yang membayari penuh sekolahnya karena Iris tidak bisa mendapatkan beasiswa."
"Ibu memang sering marah-marah padanya, memaksa agar Iris lebih giat belajar. Tapi yang ada, Iris jadi sakit-sakitan."
"Aku sudah berulang kali mengatakan pada ibuku agar tidak mencemaskan biaya sekolah Iris. Aku yang akan bertanggung jawab."
"Tapi ... Ya, ibuku memang sedikit keras kepala. Tidak bisa dinasihati dengan baik."
"Banyak sekali rasanya masalah di keluargaku."
Ares mengambil sebuah batu kecil di sampingnya lalu melemparkannya ke arah sungai hingga membentuk pusaran kecil di air.
"Terkadang aku juga merasa hubungan kita hanya seperti mimpi."
"Orang miskin sepertiku tidak layak denganmu."
"Aku juga terkadang berpikir ... Suatu saat nanti, apa mungkin kita benar-benar bisa bersama?" Ares mengarahkan tatapan kosong ke depan.
"Berhenti mengatakan hal seperti itu!" kata Ralina dengan nada sedikit membentak.
Air matanya semakin deras keluar hingga sapu tangannya hampir basah kuyup. Ia sedih mendengarkan cerita Ares, namun ia juga kesal dengan keraguan pemuda itu.
"Selama ini aku kagum padamu karena rasa percaya dirimu. Aku tidak pernah melihat latar belakang keluargamu dalam hubungan kita."
"Aku percaya, suatu saat kamu akan sukses. Jadi, jangan merendahkan dirimu lagi. Aku tidak suka!"
Ralina menangis semakin tersedu-sedu. Ares memeluk dan mengusap punggungnya agar lebih tenang.
Tak bisa dipungkiri jika selama ini ia merasa tidak pantas untuk menyentuh makhluk seindah Ralina. Takut kemiskinannya akan mengotori citra baik dan anggun gadis itu.
Ia sangat ingin membahagiakannya. Namun, saat ini ia bahkan kesulitan untuk membahagiakan diri dan keluarganya sendiri. Bagaimana bisa ia akan membahagiakan Ralina?
"Ralina ... Aku mencintaimu," ucapnya.
Ralina membalas pelukan Ares. "Aku juga mencintaimu."
"Hari sudah sore, sebaiknya kamu pulang."
Ares mengusap wajah Ralina yang masih tampak sendu. Ralina mengangguk.
Keduanya lantas meninggalkan tempat itu. Mereka bergandengan tangan selayaknya muda mudi yang sedang kasmaran. Ares mengantar Ralina sampai tepi jalan dimana Ralina memarkirkan mobilnya.
"Kamu mau kembali ke asrama kapan?" tanya Ralina yang sudah masuk mobil dan memasang sabuk pengamannya.
"Besok pagi."
"Kenapa tidak sekarang saja? Bersamaku."
Ares tersenyum. "Ada urusan yang harus diselesaikan di sini."
"Oh, ya sudah. Aku pulang dulu," pamit Ralina.
"Hati-hati."
Ralina menaikkan kembali kaca jendela mobilnya. Ia perlahan mulai melajukan mobilnya. Tatapan matanya masih fokus ke arah spion memandangi Ares hingga ia tak dapat melihatnya lagi.
Sementara itu, di tempat lain ada yang tidak fokus bekerja setelah menerima kiriman foto dari Hamin. Tristan merasa sesak melihat foto Ralina berpelukan dengan Ares. Ia sampai melonggarkan dasinya.
"Ada apa dengan diriku? Mereka hanya anak-anak yang baru selesai remaja, kan?" gerutunya.
"Kelihatanya kamu sedang kesal."
Teguran Regis mengagetkan Tristan. Sekertaris pribadinya itu membawa setumpuk berkas ke ruang kerja Tristan. Tampak Tristan menghela napas panjang seraya menyandarkan punggungnya pada kursi. Rasanya pekerjaannya tidak pernah ada habisnya.
Regis adalah orang yang paling bisa Tristan andalkan. Mereka sudah saling kenal sejak kuliah sampai bersama-sama membesarkan perusahaan. Jika tidak ada orang lain, mereka memang biasa berbicara dengan santai layaknya teman.
"Sebenarnya aku tidak enak membawa pekerjaan ini padamu. Apalagi kelihatannya kamu sedang banyak pikiran."
"Tapi, mau bagaimana lagi? Kalau kamu menikah, akan lebih merepotkan jika tidak dikerjakan sekarang."
Regis dengan santai duduk di hadapan Tristan, memandangi atasannya yang tampak bimbang.
"Kalau begitu, temani aku lembur malam ini!" pinta Tristan.
"Oh, apakah gajiku akan ditambah?" Regis bersemangat membahas gaji.
"Tentu. Kapan aku tidak membayarmu lebih untuk lembur?"
Regis melebarkan senyumnya. "Kalau begitu, ayo kita selesaikan sekarang!" ucapnya bersemangat.
kira" kemana raliba apa diculik jg sama bobby bisa sj kn raliba dpt info dr seseorang beritahu kbradaan karina yg trnyata dibohongi jg sma orang itu krn oerginya ralina g ada yg tau knp hamin g ngejar waktu itu
tristan pdkt sama ralina ny jngan kasar"