Di sebuah taman kecil di sudut kota, Sierra dan Arka pertama kali bertemu. Dari obrolan sederhana, tumbuhlah persahabatan yang hangat. Setiap momen di taman itu menjadi kenangan, mempererat hubungan mereka seiring waktu berjalan. Namun, saat mereka beranjak remaja, Sierra mulai merasakan sesuatu yang berbeda. Perasaan cemburu tak terduga muncul setiap kali Arka terlihat akrab dengan gadis lain. Akankah persahabatan mereka tetap utuh, ataukah perasaan yang tumbuh diam-diam akan mengubah segalanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon winsmoon, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 17
Siera terdiam sejenak, mencoba meresapi setiap kata yang baru saja diucapkan. Namun, setelah beberapa detik yang terasa begitu lama, ia akhirnya membuka mulut dengan suara yang tegas, meskipun sedikit bergetar.
“Tante, Bunda... Aku nggak bisa begitu saja setuju,” ucap Siera, matanya menatap lurus ke arah Bunda Anin dan Tante Arumi, mencoba menenangkan diri. “Aku menghargai apa yang kalian inginkan, tapi... aku nggak bisa dipaksa seperti itu.”
Suasana tiba-tiba terasa tegang. Ayah Dimasta dan Papa Bima saling bertukar pandang, sementara Arka hanya duduk dengan ekspresi yang sulit dibaca, meski terlihat sedikit cemas.
“Sie, sayang, kami hanya ingin yang terbaik untukmu. Kamu tahu kan, waktu kecil kamu sering sekali bilang ingin menikah dengan Arka...” ucap Bunda Anin dengan suara lembut, mencoba meyakinkan Siera.
“Tante, Bunda,” Siera memotong, kali ini suaranya sedikit lebih keras. “Itu dulu, waktu aku masih kecil dan belum tahu apa-apa. Sekarang, aku sudah besar, dan aku tahu apa yang aku inginkan. Aku nggak bisa dipaksa untuk menerima ini, apalagi hanya karena janji yang dibuat dulu.”
Arumi dan Bunda Anin saling berpandangan, tetapi tidak ada satu pun dari mereka yang berani membantah perkataan Siera. Siera merasa hatinya semakin berat, tetapi ia juga tidak bisa menerima perjodohan ini begitu saja.
“Siera, tidak perlu langsung mengambil keputusan. Sie, bisa pikirkan dulu, nak,” ucap Paman Bima dengan lembut, mencoba memberikan waktu bagi Siera untuk merenung.
“Apa yang diucapkan Bunda dan Tante Arumi, tidak ada salahnya, sayang,” lanjut Ayah Dimasta, memberikan dukungan dengan suara yang tenang, namun tetap ada nada kekhawatiran di dalamnya. “Kami hanya ingin melihat kamu bahagia.”
“Tapi, yah...” ucap Siera, kata-katanya menggantung. Ia tidak tahu bagaimana harus melanjutkan pernyataannya, perasaannya begitu ragu. “Aku tidak ingin merasa terjebak dalam sesuatu yang hanya berdasarkan janji yang sudah dibuat sejak kecil, terutama jika itu mengorbankan kebahagiaanku sendiri.”
Arka yang sedari tadi diam, kini terlihat sedikit tertekan. Ia tahu betapa besar keputusan ini bagi Siera, dan ia tidak ingin memaksanya. "Sie, aku nggak mau kamu merasa terbebani karena aku atau karena keputusan orang tua kita," ujar Arka dengan nada yang lebih serius. "Kamu berhak menentukan pilihanmu sendiri," ucap Arka meskipun ia juga ragu dengan apa yang ia ucapkan, merasa sedikit cemas dengan situasi ini.
Siera menatap Arka sejenak, merasa sedikit lega mendengar kalimat itu. Ia tahu Arka tidak ingin membuatnya terpaksa, tetapi tetap saja, keputusan ini bukanlah hal yang mudah baginya. Siera memalingkan pandangannya ke arah Bunda, Ayah, serta kedua orang tua Arka. Tatapan penuh harapan itu sangat dapat Siera rasakan. Ia bisa melihat harapan besar yang tergambar di mata mereka, meskipun ia tahu, dirinya lah yang harus membuat keputusan.
“Bunda, Ayah, Tante, dan Paman, bukannya Sie ingin mengecewakan kalian, tapi ini sangat mendadak bagi Sie,” kata Siera dengan suara yang lembut namun tegas. “Bahkan ucapan saat kecil itu pun Sie juga sudah lupa,” lanjutnya, mencoba meyakinkan orang tuanya meskipun sebenarnya ucapan itu masih sangat jelas diingatannya.
"Kasih waktu Siera, untuk memikirkannya," ucap Siera, melanjutkan perkataannya dengan harapan bahwa mereka akan mengerti.
Bunda Anin dan Arumi saling bertukar pandang, ada rasa lega di antara mereka meskipun di sisi lain, harapan mereka masih belum padam. Mereka berharap Siera bisa bisa menerima dan menyetujui keputusan yang mereka anggap terbaik. Namun, meski begitu, mereka mulai menyadari bahwa memberikan ruang bagi Siera untuk berpikir adalah hal yang bijaksana.
Sepulang dari makan malam, Siera merasa hatinya begitu berat. Setelah segala pembicaraan yang terjadi tadi, ia tahu bahwa ia harus segera berbicara dengan orang tuanya. Ia tidak ingin ada hal yang belum jelas di antara mereka. Begitu sampai di rumah, Siera langsung mengajak Bunda dan Ayahnya untuk duduk bersama. Ia ingin mendapatkan jawaban yang lebih jelas, terutama setelah ucapan-ucapan tadi yang terasa begitu mengejutkan.
"Bunda, jujur sama Siera. Bunda sejak kapan membicarakan ini dengan Tante Arumi?" tanya Siera dengan suara serius, matanya menatap langsung ke arah Bunda Anin, berharap mendapatkan penjelasan yang lebih terang.
Bunda Anin terdiam sejenak, seakan mempertimbangkan kata-katanya sebelum akhirnya menjawab dengan suara lembut namun penuh rasa penyesalan. "Sejujurnya, Bunda sudah lama berbicara dengan Tante Arumi tentang hal ini, ingin menjodohkan kamu dengan Arka. Tapi, melihat kamu beberapa tahun terakhir ini, Bunda sempat jarang membicarakannya lagi."
Siera mengangguk pelan, mencoba mencerna jawaban itu. Namun, hatinya masih penuh pertanyaan. "Terus kenapa tiba-tiba sekarang jadi lagi, Bund?" tanyanya dengan nada sedikit kecewa. Ia merasa bingung, kenapa masalah ini kembali muncul setelah sekian lama terpendam.
Bunda Anin menarik napas panjang, tampak sedikit ragu untuk melanjutkan, namun akhirnya ia berbicara juga. "Beberapa minggu yang lalu, Tante Arumi telepon Bunda. Dia membahasnya lagi. Bunda pikir, mungkin itu adalah hal yang baik untuk kamu. Bunda minta maaf, sayang, kalau ini nyakitin hati kamu. Bunda hanya ingin yang terbaik buat kamu."
Siera merasa sedikit bersalah karena Bunda Anin meminta maaf padanya. "Bunda nggak salah kok," ucap Siera dengan lembut. "Hanya saja ini sangat mendadak bagi Sie.”
Mendengar hal itu, Bunda Anin terdiam, menatap putrinya dengan penuh pengertian. Ia tahu bahwa apa yang Siera hadapi sekarang bukanlah perkara mudah. Namun, di lubuk hatinya, ia berharap putrinya dapat lebih terbuka, memberikan ruang bagi mereka untuk memahami situasi ini dengan lebih baik.
"Bunda dan Ayah tahu, kan, bagaimana hubungan Siera dan Arka beberapa tahun belakangan ini," ujar Siera dengan nada ragu. "Kami sudah tidak seperti dulu lagi, Bunda."
Ayah Dimasta, yang sejak tadi hanya menjadi pendengar, akhirnya bersuara. "Sie, sayang," panggilnya lembut, suaranya penuh perhatian. "Ada baiknya kamu bicara dulu dengan Arka. Tanyakan semua yang selama ini mengganjal di hati kamu."
Siera mengangkat wajah, menatap Ayahnya. Ucapan itu, meski sederhana, berhasil membuat hatinya sedikit lebih tenang.
"Jangan terburu-buru mengambil keputusan, Sie. Jangan biarkan perasaan yang belum jelas menjadi penghalang untuk menemukan jawaban yang kamu butuhkan," lanjut Ayah Dimasta dengan nada sabar.
Bunda Anin pun menambahkan, "Seperti yang Bunda bilang sebelumnya, sayang, kamu boleh sampaikan semua unek-unekmu ke Arka, tapi kamu juga harus mendengar penjelasannya."
"Ingat, Sie," Ayahnya menyela lembut, "Setiap tindakan seseorang pasti ada alasannya."
Siera menundukkan kepala, merenung dalam diam. Kata-kata Ayahnya terasa berat, tetapi juga memberikan pencerahan. Ia sadar, untuk mengambil keputusan yang benar, ia harus mendengarkan semuanya terlebih dahulu.
Dengan pelan, Siera menyandarkan tubuhnya ke sofa, mencoba memikirkan langkah apa yang harus ia ambil. Namun, lamunannya terganggu oleh bunyi notifikasi ponsel yang tiba-tiba berbunyi.
“Sie, kali ini, bisa luangin waktu buat ngobrol berdua?” tulis Arka dalam pesannya.
Siera membaca pesan itu berulang kali. Ia berpikir sejenak, mungkin inilah waktu yang tepat untuk berbicara langsung dengan Arka. Setelah sekian lama menghindar dan menolak permintaan Arka, Siera merasa bahwa semua kebingungan dan perasaan tak terucapkan ini harus diungkapkan.
Setelah beberapa saat merenung, ia akhirnya mengetik balasan. Ia tahu percakapan ini tidak akan mudah, tetapi ia tak punya pilihan lain.
“Besok, di taman dekat rumah. Jam 8 malam,” balas Siera.
Ia menekan tombol kirim dan meletakkan ponselnya. Hatinya terasa berat, namun ia tahu ini adalah langkah pertama untuk keluar dari kebimbangan yang selama ini menghantuinya.