Kiana hanya mencintai Dio selama sembilan tahun lamanya, sejak ia SMA. Ia bahkan rela menjalani pernikahan dengan cinta sepihak selama tiga tahun. Tetap disisi Dio ketika laki-laki itu selalu berlari kepada Rosa, masa lalunya.
Tapi nyatanya, kisah jatuh bangun mencintai sendirian itu akan menemui lelahnya juga.
Seperti hari itu, ketika Kiana yang sedang hamil muda merasakan morning sickness yang parah, meminta Dio untuk tetap di sisinya. Sayangnya, Dio tetap memprioritaskan Rosa. Sampai akhirnya, ketika laki-laki itu sibuk di apartemen Rosa, Kiana mengalami keguguran.
Bagi Kiana, langit sudah runtuh. Kehilangan bayi yang begitu dicintainya, menjadi satu tanda bahwa Dio tetaplah Dio, laki-laki yang tidak akan pernah dicapainya. Sekuat apapun bertahan. Oleh karena itu, Kiana menyerah dan mereka resmi bercerai.
Tapi itu hanya dua tahun setelah keduanya bercerai, ketika takdir mempertemukan mereka lagi. Dan kata pertama yang Dio ucapkan adalah,
"Kia, ayo kita menikah lagi."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nana_Noona, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 7
"Ca ...."
Suara Dio menjadi pemecah keheningan yang tercipta antara pertanyaan Rosa, kegugupan Kiana dan rasa terkejut Dio. Ketiganya terpaku ditengah riuh pembeli rumah makan nasi uduk Bu Halimah.
"Sorry, aku nggak bermaksud nguping."
"It's okay."
"Kamu mau sarapan?"
"Iya, kebetulan aku sama temenku mau take away."
"Okay. Hati-hati di jalan," jawab Dio.
"He'em."
Bagi Kiana, suara Rosa yang lembut itu seperti sebuah rol film yang bisa menampilkan kilas balik dalam kehidupan. Hari-hari yang dilalui dimasa-masa itu seperti berputar tanpa diminta.
Ada masa ketika ia menangis semalaman.
Atau ketika ia berusaha memohon.
Semuanya.
"Aku pergi dulu ya. Pesanan aku udah siap."
Rosa nampak tersenyum untuk kemudian memilih berlalu. Kiana selalu ingat bagaimana akhir dari keadaan ini, di tiga tahun pernikahannya dulu. Akan ada Dio yang langsung mengejar Rosa, meninggalkan Kiana tanpa bertanya.
Selalu begitu.
Namun kali ini, ia justru diam saja.
Di tempat.
"Kok nggak ngejar Rosa?" tanya Kiana bingung.
Dio hanya menatap kepergian Rosa sesaat untuk kemudian menatap Kiana dengan wajahnya yang tanpa emosi.
"Kenapa?" tanya Dio yang justru membuat Kiana mengernyit.
"Kok kenapa? Ini Rosiana Sjahna Harmanto. Your first love and women who will always you love for a lifetime."
"Sok tahu."
"Kok sok tahu? Pengalaman adalah guru berharga dan pengalaman mengajarkan itu sama aku. Kamu akan selalu mengejar dia dan ninggalin a – sorry, seharusnya aku nggak bilang gitu."
Kiana mengaduk teh manisnya. Dibiarkannya mata menunduk, memberi waktu pada luka yang selalu tiba-tiba menyeruak. Seolah, Kiana adalah sihiperbola. Padahal, rasanya semua orang akan merasakan hal sama bila berada di posisi Kiana.
Jatuh cinta sendirian memang selalu melelahkan, say.
"Itu dulu dan bukan sekarang."
"Kenapa jadi berbeda?"
Dio diam sesaat, ditatapnya jam tangan yang sudah mulai merambah naik. "Mama pasti udah nungguin. Aku antar kamu pulang untuk mandi dan ambil semua keperluan mama juga."
Dio tidak menjawab pertanyaan Kiana. Ia hanya membayar makanan Kiana juga kopinya untuk kemudian menunggu Kiana di mana mobilnya di parkir. Seperti biasanya, bagi Kiana, Dio akan selalu begitu.
Menjadi teka-teki yang sulit ditebak.
...^^^^...
Rumah itu tidak luas. Jauh bila dibandingkan dengan kediaman orang tua Kiana dulu, saat mereka masih menikah. Ini hanya sebuah rumah asri dengan satu lantai, bergaya minimalis dengan beberapa aksen skandinavian dibeberapa titik.
Kiana menyuruh Dio untuk pulang. Melihat bagaimana laki-laki itu tidak beristirahat sejak kemarin, Kiana jadi tidak tega. Ia sudah berpikir untuk memesan grabcar untuk balik ke rumah sakit nanti.
Nyatanya, laki-laki itu justru mengikutinya masuk ke dalam rumah.
"Kamu mandi dan siap-siap aja. Aku tunggu di sini."
"Kamu pulang aja."
"Kenapa?" Dio menatap Kiana lurus.
Kiana menghela napas. "Karena aku nggak mau ngerepotin kamu."
"Aku nggak merasa direpotin."
"Hih, batu banget sih!"
"Kalau mau makasih sama aku, cukup kamu nikah sama aku."
"Kamu gila, ya?" setengah berteriak, Kiana justru berbalik dan masuk ke dalam kamarnya meninggalkan Dio sendirian di ruang tamu.
Dio tersenyum menatap kepergian Kiana. Ia tahu, Kiana memang selalu seperti itu. Bila memang sudah menetapkan keputusan, maka ia akan sulit digoyahkan. Seperti halnya dulu ketika ia mati-matian mengejar cinta Dio, maka sekarang ia akan mati-matian menolak Dio.
Laki-laki itu memilih merebahkan dirinya di sofa. Melihat beberapa pesan penting di ponselnya, Dio tidak sadar saat matanya justru kembali memejam. Tidur pukul 3 dini hari sepertinya memang membuat laki-laki itu tertidur pulas seketika.
Kiana yang sudah selesai mandi dan berganti baju merasa curiga karena tak ada suara dari ruang tamu. Memilih membebat rambutnya yang basah dengan handuk, perempuan itu bergegas menuju ruang tamu.
Senyumnya mengembang saat melihat bagaimana Dio justru terpejam di sofa dengan posisi telungkup. Kiana yang mendekat, memilih duduk di atas lantai di dekat Dio. Dipandanginya wajah itu untuk beberapa saat.
Mata Dio yang bulat.
Pipinya yang selalu membuat Kiana gemas.
Bibirnya yang seperti bentuk hati saat tertawa.
Semua hal yang membuat ia rupawan.
Kiana akui, itu adalah hal-hal yang membuatnya jatuh hati disetiap harinya. Sejak ia remaja hingga bahkan akhirnya menikah dan bercerai darinya. Itu akan selalu menjadi keindahan yang tidak bisa dipungkiri.
Keindahan yang tidak diciptakan untuknya.
"Mau mandangin aku sampai kapan?"
Kiana terkejut. Mata bulat itu terbuka, membuat mereka saling memandang dalam jarak yang dekat. Semburat merah muncul di pipi Kiana.
"Aku mau bangunin kamu kok."
Kiana berdalih. Ia bergegas bangkit dan hendak berlalu ketika Dio menahan pergelangan tangannya.
"Kamu pasti masih suka lama, 'kan kalau siap-siap?"
Dulu, mereka memang bukan pasangan yang saling mencintai. Lebih tepatnya, Dio yang tidak mencintai Kiana. Tapi bagaimana pun isi rumah tangga mereka, hanya mereka berdua yang mengetahuinya. Di depan khalayak umum, baik Kiana maupun Dio akan selalu memerankan peran masing-masing dengan sangat apik. Sebuah keluarga bahagia, suami dan istri yang saling mencintai.
Mereka sering kondangan bersama, pergi ke pesta teman bersama, hadir diacara-acara perusahaan bersama, pokoknya a relationship that anyone dreams of. Dan satu hal yang selalu membuat Dio –si jarang bicara, berekspresi datar dan bersikap dingin– itu berubah.
Menunggu Kiana siap-siap.
Kiana yang selalu santuy, tidak bisa make up grusak-grusuk, tidak bisa mengeringkan rambut pelan-pelan dan lain-lain yang semuanya serba slowmotion –kalau kata Dio, itu benar-benar bisa membuat Dio bicara panjang lebar.
"Kenapa nggak siap-siap dari tadi kalau tahu make upnya lama?"
"Kenapa harus pakai alis sih, 'kan Tuhan sudah ciptain dua alis juga?"
"Lipstik yang kamu tadi pakai itu sudah bagus, kenapa ganti lagi?"
"Rambut kamu kok belum kering? Nanti kamu sakit kepala."
"Kia ... acaranya keburu bubar."
"Aku udah 3 jam nunggu kamu dandan dan masih belum selesai?"
Dan itu semua adalah momen yang selalu membuat Kiana merasakan betapa Dio ternyata bisa perhatian juga padanya. Layaknya seperti pasangan lain yang saling mencintai. Aneh sekaligus menyedihkan. Merasa bahagia karena diomelin.
"Nggak, aku sebentar doang," jawab Kiana memecah lamunan Dio.
"Liar."
"Seriusan."
Dio yang tidak percaya justru menggamit tangan Kiana dan membawanya ke dalam kamar Kiana. Sontak saja, perempuan itu kaget.
"Hey, anda mau kemana?" Kiana panik. Kamarnya tidak berantakan, tentu saja. Hanya saja, di sana, masih ada beberapa foto Dio yang terpajang. Lagipula, untuk urusan apa keduanya harus berada di dalam ruangan tertutup berdua saja.
Bukan muhrim!
"Dio."
Kiana ternyata dibawa Dio duduk di depan meja riasnya. "Kamu nggak perlu make up untuk ke rumah sakit, 'kan? Biar aku bantu keringin rambut kamu dan silakan kalau kamu mau pakai skincare. Ini jadi lebih cepet."
Kiana menolak, tentu saja. Ia sudah berniat bangkit, namun Dio memaksanya kembali duduk.
"Diam. Kamu tahu. 'kan kalau mama nunggu?"
Kiana akhirnya menyerah. Ia membiarkan laki-laki itu sibuk dengan rambutnya. Sedangkan ia, justru tidak melakukan apapun. Hatinya berdebar terlalu kencang, tentu saja. Bagaimana bisa membiarkan laki-laki yang mati-matian dicintainya justru sekarang sibuk mengeringkan rambutnya.
"Katanya mau pakai sunscreen dan teman-temannya?" tanya Dio pelan.
Dio bisa melihat Kiana tergagap sesaat untuk kemudian mulai memakai skincare di wajahnya. Dio ingin tersenyum, namun memilih tidak. Pemandangan yang ada di hadapannya kini terlalu random. Rambut Kiana yang basah, tengkuknya yang putih, rasa salah tingkahnya Kiana, bahkan keberadaan mereka dalam ruang dan waktu yang sama setelah terpisah dua tahun lamanya benar-benar hal yang aneh.
Dio mendehem sesaat. "Kalau kamu yang keringin, butuh lebih dari sepuluh menit." Dio meletakkan hairdryer di meja rias.
Laki-laki itu masih enggan beranjak. Ditatapnya isi kamar Kiana. Pandangan terhenti pada dua buah figura yang nampak tak asing. Foto mereka berdua saat keduanya menikah juga foto mereka ketika menikmati Lombok karena dipaksa Jevan, Kakak Dio.
"Aku udah siap. Aku mau ambil baju dan barang-barang mama dulu di kamarnya."
Dio mengangguk. Memilih keluar setelah memandang kearah foto mereka cukup lama. Arah yang juga Kiana sadari sekaligus sesali. Ia pasti sedang ditertawakan Dio dalam hatinya sekarang karena masih menyimpan foto mereka berdua.
^^^
Jangan lupa tekan LIKE
jahat bgt ih..
pgn tak geprek si dio