Emily seorang model yang sukses dan terkenal. Namun, kesuksesan itu tidak dia dapatkan dengan gampang dan berjalan mulus. Mimpi buruk terjadi disaat dia menjadi boneka *** pribadi milik presedir di agensi tempat dia bekerja. Mulut terbungkam saat dia ingin berteriak, namun ancaman demi ancaman terlihat jelas di depan matanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yeppeudalee, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Resah
“Aku perhatikan sejak tadi kamu cuma diam aja Emily?” tanya Yubin yang duduk di samping Emily.
“Aku?”
“Hm, memangnya dengan siapa lagi aku bicara kalau bukan dengan kamu Emily. Kamu ada masalah? apa…” sejenak, Yubin menahan kalimat dan menatap sekeliling. “Pak Mattheo meminta kamu ke ruangannya lagi, setelah syuting iklan ini selesai?”
Dan saat itu pula Emily menatap Yubin.
“Aku bahkan melupakan hal itu sejenak dan aku pun gak ada mengecek handphone. Tapi … eonnie, kamu membuatku kembali mengingat dia lagi. Itu mengerikan.”
“Ah! aku minta maaf. Seharusnya aku gak menghancurkan mood kamu, Emily. Tapi, kalau dia memang memintamu untuk menemuinya dan kamu gak mengecek handphone, bukannya pak Endrick akan menghubungiku?”
“Terus? pak Endrick gak ada menghubungi eonnie, kan?”
“Enggak, sama sekali enggak.”
“Hhhh … syukurlah, aku pikir ini karena mereka akan sibuk untuk pengurusan CEO yang baru.”
“Ah! benar, pak Reymond akan menjadi CEO di perusahaan agency.”
***
“Pak, apa sebaiknya dipikirkan lagi? sekalipun dia menantu bapak, itu akan tetap merugikan bapak. Saya hanya takut, mereka akan speak up dan…”
“Dan apa, huh? mereka berani membicarakan hal ini dengan Reymond? kalau mereka berani, mereka sudah tahu akibatnya akan seperti apa, kalau berani-beraninya ingin menghancurkan saya.”
Namun sekilas, Mattheo terlihat resah.
“Saya hanya basa-basi memintanya dan awalnya dia menolak hal itu, cukup membuat saya yakin kalau dia tidak akan tertarik. Tapi, semuanya hancur. Amanda menerima semua persyaratan yang diajukan, membuat saya tidak bisa menarik apa yang sudah saya berikan untuknya.”
Mattheo mencoba untuk tenang dan beranjak duduk dikursi kerjanya.
“Perhatikan mereka semua yang sering bertemu dengan saya. Pastikan mereka tidak sering berbicara lebih dengan Reymond ke depannya. Ah! Emily, kamu harus memperhatikannya lebih ketat.”
“Soal Emily, mungkin kita bisa melupakan Emily sejenak pak Mattheo. Bapak ingat yang terakhir kali diucapkan Reymond, kalau dia mendengar kabar bapak sering memanggil Emily ke ruangan bapak. Saya pikir, Emily dalam pantauan pak Reymond. Dan … saya juga takut kalau dia memperhatikan bapak tanpa kita sadari.”
***
“Pak Rey disini?” Emily menyapa Reymond yang baru saja tiba begitu pun dirinya.
“Hm, kamu baru selesai syuting Emily?”
“Iya pak Rey.”
Singkatnya, Reymond tersenyum tipis. Mereka berdua menunggu lift yang saat itu masih berada di lantai atas.
“Hari ini, bapak akan menemui pak presedir lagi?”
“He’em.”
“Begitu ternyata.” Dan senyum indah itu terlukis dibibir Emily, saat Reymond pun menangkap dengan jelas.
“Sepertinya ada hal yang membuatmu bahagia?”
“Huh? eungggg … itu…”
Reymond terus memperhatikan Emily, dimana pipi Emily perlahan memerah karena dia merasa malu saat Reymond memperhatikannya.
“Mood saya baru saja membaik pak Rey.”
“Oh ya? apa sebelumnya mood kamu tidak baik?”
“Hm, sebelumnya, mood saya kurang baik. Tapi tiba-tiba saja, mood saya membaik begitu saja.”
“Wah! hebat sekali, apa zodiac mu cancer?”
“Cancer?”
“Ya, katanya cancer itu punya mood yang gampang turun dan gampang naik dalam persekian detik.”
“Heol!” Emily speechless mendengarkan ucapan itu, namun senyum tipis dibibir Reymond kembali terlihat jelas oleh Emily.
Pintu lift itu terbuka, disusul Yubin dan beberapa staff yang ikut masuk. Kondisi lift yang terasa sempit membuat Emily terdorong dan punggungnya menempel di dada Reymond.
“Hei! jangan sekaligus masuk, pak Reymond tidak punya ruangan lebih.”
“Tidak apa, kalian pasti sibuk. Saya bisa menahannya untuk beberapa saat.”
Jantung itu berdegup dengan cepat. Rasa gugup ketika tubuhnya seketika membeku.
Emily bahkan sekilas, merasakan hembusan napas Reymond yang terasa menyentuh kulit lehernya.
Berlalu hanya beberapa detik, lift itu mulai melonggar dan Yubin yang beranjak keluar lebih dulu, disaat Emily hanya diam melamun.
“Emily?” panggilan itu menyadarkan Emily seketika.
“O-oh, iya ce.”
Lalu, dia pun keluar dari lift tanpa melihat Reymond. Tepatnya, ada perasaan malu saat dia sedang melamun dan gak sadar, kalau dia memilih untuk tetap berdiri diposisi yang sama sekalipun lift itu sudah kosong.
“Aiiissshh!”
“Kamu mikiri apa, huh??”
“Malu banget aku!”
“He! sampai melamun gitu.”
“Abis, akunya deg deg an eonnie.”
“Yang benar aja Emily? aku udah bilang sama kamu, kan? jangan macem-macem.”
“Muncul begitu aja.” Ucapnya dengan bibir yang cemberut menatap Yubin. “Kayaknya, aku suka sama dia eonnie.”