Lunara Ayzel Devran Zekai seorang mahasiswi S2 jurusan Guidance Psicology and Conseling Universitas Bogazici Istanbul Turki. Selain sibuk kuliah dia juga di sibukkan kerja magang di sebuah perusahaan Tech Startup platform kesehatan mental berbasis AI.
Ayzel yang tidak pernah merasa di cintai secara ugal-ugalan oleh siapapun, yang selalu mengalami cinta sepihak. Memutuskan untuk memilih Istanbul sebagai tempat pelarian sekaligus melanjutkan pendidikan S2, meninggalkan semua luka, mengunci hatinya dan berfokus mengupgrade dirinya. Hari-hari nya semakin sibuk semenjak bertemu dengan CEO yang membuatnya pusing dengan kelakuannya.
Dia Kaivan Alvaro Jajiero CEO perusahaan Tech Startup platform kesehatan mental berbasis AI. Kelakuannya yang random tidak hanya membuat Ayzel ketar ketir tapi juga penuh kejutan mengisi hari-harinya.
Bagaimana hari-hari Ayzel berikutnya? apakah dia akan menemukan banyak hal baru selepas pertemuannya dengan atasannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ayu Anfi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 2 : Kesibukan baru Ayzel
Saat ini Ayzel masih berada dalam bus menuju kampusnya, dia masih memikirkan tentang dirinya saat ini yang tiba-tiba menjadi asisten pribadi atasannya. Ayzel menghembuskan napas kesal saat melihat arlojinya, dia jadi terlambat masuk kelas gara-gara atasannya.
“Ayzel, sampai mana? Kelas sudah mau di mulai,” Ayzel mendapatkan pesan dari teman satu kelasnya.
“Masih dalam perjalanan, lima menit lagi baru sampai. Tolong carikan aku tempat duduk,” Ayzel sudah turun dari bus dan saat ini sedang berjalan menuju gedung fakultas tempat dia kuliah dengan sedikit berlari.
Dia masuk dengan mengendap-ngendap agar tidak ketahuan dosen, beruntung pintu masuk ke ruang kuliah dari belakang jadi dosen tidak terlalu memperhatikannya. Ayzel sedang mencari Naira teman satu kelasnya yang tadi mengirimkan pesan, Ayzel mengedarkan pandangannya ke sekeliling.
“Pssttt ... sini,” Naira memanggil Ayzel begitu melihat temannya itu tampak mencarinya.
“Thanks Nai,” Naira mengangguk dan Ayzel segera membuka macbooknya dan fokus pada penjelasan dosen.
Sore itu Ayzel memutuskan untuk pergi ke perpusatakaan kampus sebelum pulang, dia akan meminjam beberapa buku sebagai bahan referensi tesisnya. Saat ini dia masih bersama Naira, mereka berencana untuk makan malam bersama.
“Mau makan apa Nai?” tanya Ayzel pada temannya tersebut.
“Bagimana kalau pide?” pide merupakan sejenis pizza turki yang di lipat dan memanjang sehingga berbentuk seperti daun.
“Boleh Nai, aku lagi ingin makan menemen” menemen adalah sejenisa makanan turki dengan bahan utamanya telur mirip scramble egg namun dengan rasa yang lebih kaya. Mereka menuju cafe terdekat dari kampusnya.
Mereka memilih duduk di luar sambil menikmati pemandangan malam sekitar bogazici.
“Kenapa muka di tekuk?” Naira melihat Ayzel nampak lesu.
“Pusing membagi waktu,” Ayzel menceritakan tentang CEO tempat dia magang yang tiba-tiba memintanya menjadi asisten pribadi selama dia ada di Turki. Dia harus mengatur ulang semua jadwalnya agar tidak bentrok.
“Dia asli korea atau bagaimana? Jangan-jangan suka sama kamu dia Zel,” Naira mulai menyantap pide nya.
“Tidak tahu, wajahnya sih orang korea. Tapi dari namanya seperti bukan,” Ayzel baru ingat nama atasannya itu bukan menunjukkan orang korea melainkan seperti nama orang asia.
“Hah? Memang siapa namanya?” Ayzel mendengus sebal karena temannya terus mencecarnya.
“Ish ... penasaran banget kamu sama atasanku Nai, Kaivan Alvaro Jaziero. Itu nama dia,” Ayzel menyantap menemennya. Dia sudah sangat lapar, siang tadi hanya sempat makan sedikit.
“Hemm ... keturunan darah campuran mungkin dia,” ucapan Naira memang ada benarnya menurut Ayzel.
Ayzel sampai diapartemen jam 9 waktu setempat, rasanya dia ingin segera merebahkan tubuhnya di kasur dan tidur. Tapi dia tetap harus mandi karena tubuhnya sudah sangat lengket setelah seharian bekerja dan kuliah. Dia memutuskan untuk mandi lebih dulu agar tubuhnya lebih segar, setelah itu biasanya dia akan membaca atau mengerjakan tesisnya.
“Ayzel besok tolong berangkat lebih awal, kita akan breefing dulu dengan pak Kim” Ayzel melihat ponselnya yang berbunyi, dia tidak langsung membukanya. Hanya melihat notif dari siapa pesan tersebut.
“Baik bu Athaya,” pesan tersebut ternyata dari HRD yang memiberitahu bahwa dia harus breefing dengan pak Kim yang tak lain adalah asisten sekaligus sekretaris pak Alvaro yang datang dari korea bersamanya.
Sebenarnya saat ini Ayzel sedang fokus untuk persiapan menyelesaikan tesisnya, kuliahnya juga sudah tidak sepadat dulu. Dia hanya tinggal satu mata kuliah lagi setelah itu akan lebih fokus pada revisi dan persiapan sidang tesisnya, sepertinya rencana yang sudah dia susun akan sedikit terhambat dengan situasinya saat ini.
Ayzel hanya membolak balik halaman buku yang sedang dia baca, dia sama sekali tidak dapat berkonsentrasi. Dia masih merasa kesal dengan kejadian tadi siang saat di ruang meeting.
“Hiih ... kenapa terbayang terus sih,” dia bergumam pada dirinya sendiri. Masih merasa kesal dengan ucapan atasannya tadi siang.
Ayzel memutuskan untuk menyudahi aktivitas membacanya, karena percuma dia juga tidak bisa konsentrasi lagi. Dia beranjak menuju kasur, merebahkan tubuhnya untuk tidur.
Pagi ini Ayzel sudah ada di kantor, masih belum banyak karyawan yang datang karena memang masih terlalu pagi. Dia sedang merancang konsep untuk model chatbot terbaru yang sedang di kembangkan perusahaan Alvaro.
“Ayzel, di minta ke ruangan bu Athaya sekarang” Ayzel mengalihkan fokusnya pada salah satu staff HRD yang memanggilnya. *mereka berbicara menggunakan bahasa turki ya guys*
“Baik kak,” Ayzel segera menuju ruangan bu Athaya, tak lupa dia membawa ipadnya kalau di perlukan untuk mencatat sesuatu.
“Affedersiniz pardon,” Ayzel mengetuk pintu terlebih dulu sebelum masuk dan mengucapkan permisi pada Athaya.
“Evet, buyurun(uz)” ya, silahkan. Athaya mempersilahkan Ayzel untuk masuk ruangan.
“Tesekkur ederim,” Ayzel masuk dan mengucapkan terimakasih.
Di dalam ruangan sudah ada pak Kim asisten utama pak Alvaro yang sedang berbicara dengan bu Athaya, saat ini Ayzel duduk berhadapan dengan pak Kim. Mereka memulai breefing mereka saat ini, tentu tujuan utamanya adalah Ayzel yang mulai hari ini akan menjadi asisten pak Alvaro.
“Baiklah Ayzel, saya akan menjelaskan beberapa hal yang harus kamu tahu tentang kegiatan pak Alvaro.” Pak Kim membuka ipadnya dan mulai menjelaskan satu persatu jadwal harian Alvaro, dari jam berapa dia bangun sampai dengan jam tidurnya.
“Maaf pak,” Ayzel sedikit bingung dan memutuskan bertanya pada pak Kim.
“Ya, silahkan Ayzel. Ada apa?” Ayzel sterlihat mengehla napas.
“Apa saya harus mengetahui semua jadwal pak Alvaro dari beliau bangun sampai tidur malamnya?” Ayzel benar-benar tak mengerti, bukankah dia hanya akan menjadi asisten pribadi Alvaro selama di kantor. Seharusnya tak perlu dia tahu kapan atasannya itu bangun dan akan tidur kembali.
“Tentu kamu harus tahu. Karena itu adalah salah satu hal yang penting, agar kamu tahu apa yang harus di lakukan saat pak Alvaro menghubungimu dan butuh sesuatu” Ayzel melihat pada Athaya, berharap dia bisa membantunya. Kepalanya sudah terasa pening padahal belum memulai tugas barunya.
“Tapi status Ayzel adalah karyawan magang. Sesuai ketentuan dia hanya akan bekerja setengah hari saja,” Athaya mencoba menjelaskan pada sekertaris Alvaro bahwa Ayzel membagi waktunya untuk kerja dan kuliah.
“Ayzel bisa menjelaskan pada pak Alvaro sendiri nanti. Saya rasa cukup penjelasannya, pak Alvaro sudah menanti kita. Ayzel kamu ikut saya bertemu beliau,” pak Kim keluar dari ruangan Athaya. Ayzel mau tidak mau mengikutinya dari belakang.
Pikiran Ayzel menerawang jauh, diantara sekian banyak karyawan yang ada di perusahaan kenapa justru dia yang di pilih Alvaro. Dia tetap merasa entah di mana bertemu dengan Alvaro, Ayzel masih merasa tidak asing dengannya.
“Silahkan masuk Ayzel,” pak Kim meminta Ayzel untuk masuk lebih dulu ke ruangan Alvaro.
“Pagi pak Alvaro,” Ayzel masuk menyapa dengan menggunakan bahasa turki. Ayzel sejenak berpikir tentang percakapannya kemarin dengan Naira, bisa jadi memang benar dia tidak 100 persen berdarah korea. Mengingat namanya sama sekali tidak berbau korea melainkan campuran Asia dan Turki.
“Ayzel bisa kemari?” pak Kim memanggil Ayzel yang sedang termenung, dia langsung mendekat menuju pak Kim dan Alvaro yang terlihat sedang sibuk dengan macbooknya.
“Iya pak Kim,” pak Kim memberikan beberapa map yang isinya adalah beberapa jadwal Alvaro yang harus dia pelajari dan dia hafalkan. Ayzel menerimanya dan akan pamit keluar untuk kembali ke ruangannya dan mempelajari semua jadwal yang di berikan pak Kim.
“Saya permisi pak Alvaro, pak Kim,” Ayzel hendak pergi namun di cegah.
“Mulai hari ini ruanganmu ada di depan sana,” pak Kim menunjuk meja yang ada di depan agak jauh dari meja pak Alvaro. Ayzel hanya termangu tak bisa berkata-kata.
“Haa ... maksudnya di ruangan ini pak?” tanyanya pada pak Kim.
“Hmm ... betul, semua sudah siap. Kamu hanya tinggal memindahkan beberapa barangmu ke sini,” pak Kim berpamitan pada pak Alvaro untuk menyelesaikan tugasnya yang lain. Sementara Ayzel masih tertegun bingung dengan semua hal yang serba mendadak itu.
Dia masih termangu melihat pak Kim keluar yang bahkan sudah tidak lagi terlihat dari pandangan matanya. Canggung yang dia rasakan berada di ruangan itu, tidak tahu harus memulai percakapan seperti apa dengan atasannya tersebut. Ayzel tidak dapat membayangkan hari-harinya akan berada satu ruangan dengan atasannya, meskipun jarak meja mereka tidak terlalu dekat. Namun tetap saja itu membuatnya sedikit tidak nyaman, apalagi mereka adalah pria dan wanita dewasa yang bukan mahram.
“Tunggu apa lagi?” Ayzel masih diam berdiri di tempatnya sampai Alvaro mengeluarkan sepatah kata.
“Iya pak Alvaro, kenapa?”
“Cepat ambil barang-barangmu untuk pindah ke meja itu. Saya butuh kamu cepat, lima menit dari sekarang” Ayzel yang terkejut kemudian bergegas untuk memindahkan barang-barangnya. Saking tergesa dia sampai menabrak sofa yang ada di ruangan Alvaro.
“Hati-hati, jangan sampai luka” Ayzel menoleh pada Alvaro saat mendengar pria itu mengatakannya dalam bahasa Indonesia. Ayzel memastikan apakah dia yang salah pendengaran atau memang atasannya itu bicara dalam bahasa Indonesia, tapi Alvaro tampak sibuk dengan macbooknya.
“Ah ... sepertinya tidak hanya pikiranku tapi telingaku juga ikut tidak beres,” Ayzel bergumam dalam bahasa Indonesia lirih namun masih dapat di dengar oleh Alvaro.
“Kamu tidak salah dengar Ze. Waktu lima menitmu sudah hampir habis,” Ayzel benar-benar terkejut mendapati Alvaro bisa berbahasa Indonesia. Dia menelan salivanya dan bergegas keluar dari ruangan itu sambil berlari. Alvaro tersenyum tipis melihat tingkah Ayzel.
“Kenapa? Seperti lihat hantu saja,” Shahnaz bertanya saat melihat Ayzel yang terengah-engah langsung duduk dan menenggak air minum dalam tumblernya sampai tandas.
“Ini lebih dari hantu,” Ayzel mencoba menjelaskan pada rekan satu tim maganggnya itu sambil mulai membereskan barang-barangnya.
“Yah ... gak bisa bergosip sama Ayzel lagi dong kita,” rekan mereka yang lain berkomentar mendengar Ayzel pinah ruangan.
“Bagus dong Ayzel. Bisa satu ruangan sama CEO yang keren,” satu rekannya lagi ikut berkomentar sementara Shahnaz mencebik.
“Kalian saja kalau mau, aku dengan suka rela bersedia di gantikan” Ayzel sudah hampir selesai memasukkan dalam dus semua barangnya.
“Gak mau, bakal mati kutu kayaknya kalau satu ruangan sama boz gak sih?” rekan-rekannya menganggukkan kepala setuju atas perkataan rekan lainnya.
“Shahnaz sudah gak usah cemberut. Istirahat makan siang kan masih bisa ketemu,” Ayzel menenangkan rekan setimnya itu. Dia berpamitan pada rekan seruangannya dan berlalu pergi menuju ruangan barunya.
Ayzel sudah ada dalam ruangan barunya sekarang, dia sedang merapikan dan menata mejanya. Menaruh beberapa pajangan kecil agar mejanya tak terlalu polos dan terlihat hidup untuk dia pandang. Anggaplah sebagai penyemangat kerja untuk Ayzel.
“Sudah siap? Kita akan menggunakan bahasa Indonesia saat bicara di ruangan ini” Tiba-tiba Alvaro bersuara, membuat Ayzel menghentikan aktifitasnya.
“Iya pak Alvaro,” meskipun sedikit aneh bagi Ayzel. Tapi bicara menggunakan bahasa Indonesia tentu lebih menyenangkan baginya.
“Kemari bawa ipad dan berkas yang tadi pak Kim berikan padamu,” Ayzel mengangguk dan duduk di kursi yang ada di depan meja Alvaro. Saat ini mereka duduk berhadap-hadapan.
Alvaro menjelaskan beberapa hal terkait dengan jadwal-jadwal hariannya, mana yang harus menjadi prioritasnya dan hal-hal yang bisa di tunda. Ayzel dengan seksamamendengarkan dan terlihat sesekali mencatat hal yang di rasa penting.
“Ada yang mau kamu tanyakan?” ucap Alvaro padanya.
“Bagiamana dengan jam kerja saya pak? Sekedar mengingatkan saya masih harus sambil kuliah,” Ayzel harus tetap menanyakan hal tersebut. Bagaimanapun saat ini fokusnya jadi akan terpecah-pecah, belum lagi persiapan tesisnya sudah masuk tahap revisi.
“Eumm ... saya yakin kamu bisa mengatasinya. Untuk jam kamu bisa menyesuaikan dengan jam kuliahmu, tapi pastikan semua pekerjaan yang berhubungan dengan saya semua sudah kamu selesaikan.” Alvaro meminum espresso yang ada di depanya.
“Baik akan saya usahakan,” Ayzel tampak membereskan berkas yang tadi di bawanya ke meja Alvaro. Ayzel sadar saat itu Alvaro sedang tersenyum menatap dirinya, hal itu membuat Ayzel merinding sebadan-badan.
“Ze ... Ze?” Ayzel merinding mendengar atasannya memanggilnya seperti itu, padahal mereka duduk berhadapan.
“Iya pak? Ada yang di butuhkan lagi? Kalau tidak say kembali ke meja dulu,” Alvaro menggeleng dan Ayzel beranjak dari tempatnya duduk. Dia sudah membalik badan dan berjalan baru selangkah sebelum akhirnya Alvaro memanggilnya lagi.
“Ze ...” Ayzel sebenarnya gerah dengan kelakuan atasnnya itu, tapi tidak dapat berbuat apapun.
“Iya pak Al? Maksud saya pak Alvaro,”
“Kamu benar tidak ingat saya?” Alvaro sambil tersenyum, senyuman indah dengan dua lesung pipi di kanan dan kiri.
“Tidak pak, apa kita pernah bertemu sebelumnya?” Ayzel memang merasa familier dengan Alvaro, namun sampai saat ini dia tidak ingat kalaupun pernah berjumpa di mana mereka bertemu.
“Oke ... silahkan diingat-ingat kembali. Kalau sudah ingat beritahu saya,” lagi-lagi Alvaro tersenyum dengan senyuman yang bisa membuat siapapu meleleh. Ayzel hanya menganggukan kepala dan membalas senyum pada Alvaro sebelum dia kembali ke mejanya untuk mempelajari semua jadwal Alvaro.