Hidup Nicho Javariel benar-benar berubah dalam sekejap. Ketenaran dan kekayaan yang dia dapatkan selama berkarir lenyap seketika akibat kecanduan obat-obatan terlarang. Satu per satu orang terdekatnya langsung berpaling darinya. Bukannya bertobat selepas dari rehabilitas, dia malah kecanduan berjudi hingga uangnya habis tak tersisa. Dia yang dulunya tinggal Apartemen mewah, kini terpaksa tinggal di rumah susun lengkap dengan segala problematika bertetangga. Di rumah susun itu juga, ia mencoba menarik perhatian dari seorang perempuan tanpa garis senyum yang pernah menjadi butler-nya. Dapatkah ia menemukan tempat pulang yang tepat?
"Naklukin kamu itu bangganya kek abis jinakin bom."
Novel dengan alur santai, penuh komedi sehari-hari yang bakal bikin ketawa-ketawa gak jelas
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon yu aotian, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 3
"Ups. Sorry!" Dengan santai, ia buru-buru memakai celana pendeknya di depan pelayan perempuan tersebut.
Melihat pelayan itu masih berdiri menunduk canggung di hadapannya, ia lantas berkata, "Kenapa masih di situ?"
Pelayan itu akhirnya menaikkan pandangannya hingga arah tatapan mereka sejajar. Belum sempat sebuah kata keluar dari mulutnya, Nicho malah langsung membuat kesimpulan sendiri.
"Ah, pasti mau minta tanda ta—" Belum genap di ujung kalimatnya, kini giliran perempuan itu langsung menimpali ucapannya.
"Saya hanya ingin menanyakan apa masih ada yang Anda butuhkan? Mungkin ... ada request-an khusus untuk menu makan siang dan malam?"
Mengetahui tebakannya salah, ia lantas mengerucutkan mulutnya lalu berkata, "Belum mikir soal itu."
"Baik." Pelayan itu melanjutkan pekerjaannya dengan mulai membereskan ruangan sekitar yang dipenuhi sampah aneka jajanan makanan ringan.
Pandangan Nicho masih terpaku pada pelayan tersebut. Ia memerhatikan gelagat perempuan berponi lurus itu dengan seksama. Kerutan kecil lantas muncul di area sekitar alisnya.
Ini aneh! Perempuan itu sama sekali tak menunjukkan ekspresi antusias saat bertemu dengannya. Padahal, setiap menginap di hotel, pasti ada saja petugas yang sekadar meminta tanda tangan atau foto bersama dengannya. Apakah ini menandakan pamor keartisannya mulai redup?
Tidak, tidak, tidak! Ini tidak mungkin! Begitulah ia bergumam dalam hati. Merasa kurang yakin, ia pun mencoba mendekati perempuan itu.
"Yakin, nih, gak mau minta tanda tangan gue?" Ia kembali melayangkan pertanyaan pada perempuan itu.
Pelayan itu berbalik sejenak dengan alis yang bergelombang karena tak mengerti apa yang dimaksud pria itu. "Maaf?"
Responnya membuat mata Nicho melebar dengan amat cepat. "Lo seriusan gak kenal siapa gue?"
Pelayan itu menggeleng saru seraya mencoba mengingat-ingat barangkali mereka pernah bertemu di suatu tempat.
"Pasti lo gak pernah nonton bioskop!"
"Kebetulan saya sudah gak pernah nonton bioskop selama lima tahun terakhir."
"Oh, pantes!"
Lima tahun terakhir adalah masa keemasan untuk karirnya di mana ia membintangi sejumlah film yang berhasil masuk box office. Meski begitu, bukankah setidaknya perempuan itu pernah melihatnya di sosial media maupun iklan?
Tiba-tiba, ia menyengir kuda seiring terbesit ide konyol dalam dirinya. Ia kembali melirik ke arah perempuan yang tengah menjalankan alat vakum.
"Lo mau gua kasih tip gede, gak?" tanyanya dengan sudut bibir yang tertarik kecil.
Pelayan itu menatapnya tanpa menunjukkan ekspresi apa pun. Nicho menghampirinya lebih dekat, memosisikan berdiri tepat di samping perempuan itu. Ia meraih gagang vakum yang dipegang perempuan itu, lalu mematikan tombol on.
Dengan penuh antusias, ia mulai menjelaskan. "Gini, lo pake kamera hp lo buat foto bareng gua. Terus, abis itu lo unggah di tiktok, Instagram, FB atau apa pun sosmed yang lo punya. Jangan lupa kasih caption yang muji-muji gua gitu. Contohnya 'wah, ternyata Nicho baik dan ramah banget. Gak kayak yang diberitakan selama ini'. Usahain postingan lo mesti sampe FYP. Gimana? Gampang, kan?"
"Maaf, tapi ... saya gak punya akun sosmed apa pun," balas pelayan itu.
"Hah?" Matanya berkedap-kedip dengan cepat diikuti mulut yang termegap-megap. "Lo manusia time travel abad ke berapa, sih? Hari gini masa gak punya sosmed!"
"Dulu memang pernah ada. Tapi, sejak lima tahun terakhir sudah gak pernah saya buka."
"Ada apa dengan lima tahun terakhir. Apa dunia lo berhenti di tahun itu. Ah, atau jangan-jangan lima tahun lalu lo pernah nyaleg terus gagal total," tebaknya asal bunyi dengan mimik melengak.
Pelayan itu hanya bergeming tanpa merespon celotehannya. Ia malah kembali menjalankan tugasnya seolah mengabaikan ide yang baru saja dibicarakan Nicho.
Nicho mendesis meski pandangannya masih terpaku pada pelayan itu. Bagaimana bisa seorang pelayan muda terkesan tak mengacuhkannya seperti ini? Ataukah dia hanya menjalankan profesionalisme kerja?
Nicho lantas berjalan menuju kamar mandi. Namun sebelum masuk, ia kembali menoleh ke arah pelayan tersebut hanya untuk melihat papan nama yang tersemat di dadanya.
"Sera Alia," sebut Nicho berdasarkan nama yang tertulis di papan nama pelayan itu.
Namanya dipanggil, membuat perempuan itu menoleh ke arah Nicho. Di saat yang sama, Nicho langsung melempar kedipan mata, diiringi senyum yang menggoda dengan maksud membuat pelayan itu salah tingkah seperti yang sering dia lakukan ke gadis-gadis lainnya. Sayangnya, lagi-lagi perempuan tanpa garis senyum itu hanya menunjukkan ekspresi datar.
Kesal karena godaannya tak ampuh, ia lantas kembali berkata dengan nada memerintah. "Gua mau minum kopi yang diaduk berlawanan arah dengan jarum jam! Harus ada di atas meja setelah gue selesai mandi!"
"Baik!" jawab perempuan itu.
"Jangan lupa sediain juga air yang diambil dari mata air pegunungan!" tuturnya sebelum benar-benar masuk ke kamar mandi.
"Air yang diambil dari mata air pegunungan? Apa susahnya ngomong minta air mineral?" gumam pelayan itu sambil menggeleng-geleng pelan.
Selesai membersihkan kamar tamu yang menjadi tanggung jawabnya, pelayan yang bernama Sera Alia itu kembali ke departemen yang dinaunginya. Salah satu rekan kerjanya, menghampirinya dari arah belakang.
"Eh, dengar-dengar kamu jadi butler¹-nya Nicho Javariel?"
"Dia selebritis, ya?" tanya Sera.
"Kamu gak kenal Nicho? Dia kan aktor terkenal. Tuh mukanya!" Temannya menunjuk ke arah dinding kaca, di mana di seberang gedung terdapat sebuah banner iklan besar yang tengah diturunkan.
Sera terkesiap melihat banner iklan yang memuat gambar pria penghuni kamar tadi sebagai brand ambassador produk.
"Jadi dia aktor?" tanya Sera dengan tatapan yang masih terpaku pada banner di seberang jalan sama.
"Emang kamu sama sekali gak pernah nonton satu pun filmnya? Dia lagi naik daun banget loh beberapa tahun terakhir, sayang ... dia malah terjerumus kek artis-artis lain."
Sera menggeleng. "Udah lama banget aku gak nonton film apa pun. Aku juga gak update gosip atau info-info artis terbaru."
"Dia baru selesai direhabilitasi. Sekarang dia lagi rame dihujat di Twitter karena cepat banget keluarnya. Padahal ini udah yang ketiga kalinya loh! Untung aja dia tinggal di negara plus enam dua yang kalo berkasus bakal semakin terkenal. Coba aja kalo dia tinggal di Cina, Korea dan Jepang, bakal tamat tuh karirnya!" celetuk temannya lagi.
"Dia masih kelihatan muda. Sikapnya terlihat kekanak-kanakan."
"Ya, emang masih muda. Dia juga terkenal sebagai aktor yang suka berbuat onar. Dia pernah nantangin haters-nya duel di ring tinju. Sera, mending kamu hati-hati! Jangan sampai bikin kesalahan selama jadi butler-nya. Dia pernah nge-review buruk layanan salah satu hotel di Bali dan itu berdampak besar karena dia seorang aktor dengan followers terbanyak," ujar teman sejawatnya mencoba mengingatkan.
Sera kembali memandang ke seberang jalan. Kali ini banner yang memuat gambar aktor tersebut telah diturunkan sepenuhnya dan akan diganti dengan banner baru yang menampilkan model berbeda.
Sementara itu, Nicho baru saja keluar dari kamar mandi setelah berendam cukup lama di dalam sana. Saat melangkah keluar, ia terperangah melihat keadaan ruangan yang telah rapi dan bersih dalam waktu singkat. Ia mengusap setiap permukaan meja, kaca, hingga gagang pintu. Sama sekali tak berdebu. Semua permintaannya pun telah dilaksanakan. Sudah tersedia segelas kopi di atas meja lengkap dengan beberapa botol air mineral. Di sebelahnya, ada secarik kertas yang bertuliskan dengan tinta hitam.
"Silahkan hubungi saya jika Anda butuh sesuatu."
Membaca pesan itu, sudut bibir Nicho lantas terangkat sebelah. "Mari kita lihat, seberapa profesional pelayan ini."
.
.
.
Jejak kaki
Butler: pelayan pribadi yang bertugas melayani segala keperluan tamu hotel VVIP.
Catatan author
3 chapter awal guys, masih pengenalan karakter dulu. Gimana suka gak? Mau dilanjut nggak nih?
Gak usah divote ya, kalo mau dukung novel ini cukup dengan nonton iklan.
itu mah gagap kali
setidaknya kali ini Sera nanya keadaan Nicho, berarti Nicho terlihat dimatanya🤭