John Ailil, pria bule yang pernah mengalami trauma mendalam dalam hubungan asmara, mendapati dirinya terjerat dalam hubungan tak terduga dengan seorang gadis muda yang polos. Pada malam yang tak terkendali, Nadira dalam pengaruh obat, mendatangi John yang berada di bawah pengaruh alkohol. Mereka terlibat one night stand.
Sejak kejadian itu, Nadira terus memburu dan menyatakan keinginannya untuk menikah dengan John, sedangkan John tak ingin berkomitmen menjalin hubungan romantis, apalagi menikah. Saat Nadira berhenti mengejar, menjauh darinya dan membuka hati untuk pria lain, John malah tak terima dan bertekad memiliki Nadira.
Namun, kenyataan mengejutkan terungkap, ternyata Nadira adalah putri dari pria yang pernah hampir menghancurkan perusahaan John. Situasi semakin rumit ketika diketahui bahwa Nadira sedang mengandung anak John.
Bagaimanakah akhir dari kisah cinta mereka? Akankah mereka tetap bersama atau memilih untuk berpisah?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon 𝕯𝖍𝖆𝖓𝖆𝖆𝟕𝟐𝟒, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
17. Nekat
Di kantor yang sunyi, Beno menggebrak meja keras-keras, wajahnya merah menahan amarah saat anak buahnya melaporkan pertemuan dengan Nadira di jalan. "Beraninya anak itu mengancamku! Sejak kapan anak itu punya keberanian seperti itu?" suaranya bergetar, memenuhi ruang kantor dengan kemarahan yang menggumpal.
Asistennya berdiri dengan tenang, lalu berkata hati-hati, "Maaf, Tuan. Saya rasa akan lebih bijak jika kita tak mengganggu Nona Nadira lagi. Jika kita melepaskan gadis itu, kita tetap bisa menguasai harta ibu Nona Nadira. Tapi kalau dia melawan, ini bisa membuat kita kerepotan, dan membuang banyak waktu serta uang. Apalagi, pihak dari keluarga ibu Nadira pasti akan memperjuangkan haknya."
Beno terdiam sesaat, merenungi kata-kata asistennya sebelum mendengus sinis. "Baiklah," katanya akhirnya, matanya menyipit penuh kebencian. "Anggap saja anak itu sudah mati."
Beno kembali menatap anak buahnya. "Di mana anak itu tinggal?
Anak buahnya yang selama ini mengawasi Nadira menjawab, "Dia tinggal di sebuah apartemen elit, Tuan. Tapi saya menduga dia mungkin menjadi pembantu di sana."
Beno mengerutkan dahi, menunggu penjelasan lebih lanjut.
"Saya sering melihat Nona Nadira berbelanja bahan-bahan memasak, bahkan membawa kantong belanjaan yang cukup berat. Selain itu, penampilannya tetap sederhana, tidak menunjukkan gaya hidup mewah seperti penghuni apartemen lainnya," jelas anak buahnya.
Ia menambahkan, "Saya juga pernah melihat dia keluar membawa setumpuk cucian. Dari cara dia bersikap, dia lebih terlihat seperti staf dibanding penghuni. Mungkin dia bekerja untuk seseorang di apartemen itu."
Asumsi itu semakin memperkuat kecurigaan Beno bahwa Nadira, meskipun telah memutuskan pergi dari rumah, belum benar-benar bisa lepas dari kehidupan yang penuh tekanan. "Terus awasi dia," ujar Beno dengan nada tegas. "Aku ingin tahu siapa yang mempekerjakannya."
Anak buah Beno mengangguk. "Baik, Tuan." Dalam hatinya menggerutu, "Katanya anggap saja sudah mati, tapi kenapa masih ingin mengawasi dan ingin tahu tentang gadis itu?"
***
Di sisi lain, sebelum tiba di apartemen, Nadira mencoba mengatur rencana di kepalanya. Malam itu, ia akan memberanikan diri menggoda John dengan segala keberanian yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya. Dalam hatinya, Nadira berharap John akan membalas perasaannya atau setidaknya memberi isyarat bahwa ia berarti di hidup pria itu.
Kejadian tadi siang, saat ia melihat wanita lain menyeka keringat John, masih terbayang jelas dalam benak Nadira. Ditambah pertemuannya dengan suruhan ayahnya beberapa menit lalu yang membuatnya merasa terancam, kedua peristiwa itu seolah menyatukan tekad di hatinya. Ia tahu John adalah satu-satunya orang yang kini bisa ia andalkan, satu-satunya tempat berlindung yang tersisa. Satu-satunya orang yang bisa membuatnya merasa aman dan nyaman.
Pikirannya bergolak, penuh dengan kekhawatiran kehilangan John jika pria itu jatuh ke pelukan orang lain. Tekadnya semakin menguat, ia tak akan membiarkan wanita lain merebut John darinya. Nadira menatap layar ponselnya sambil menarik napas dalam, lalu menganggukkan kepala pada dirinya sendiri. "Jika hanya dengan cara ini Om John bisa berada di sisiku, maka aku akan melakukannya. Aku harus berani melangkah keluar dari zona nyamanku," gumamnya penuh tekad.
Setiba di apartemen, Nadira melihat John duduk di sofa ruang tamu, matanya terpaku pada ponsel di tangannya. Nadira tak dapat menahan senyum bahagia yang muncul di wajahnya. Ada perasaan hangat yang memenuhi dadanya setiap kali pulang dan menemukan John duduk di sana, seolah-olah tengah menantinya.
"Om nungguin aku pulang, ya?" Nadira berkata sambil meletakkan tasnya, matanya berbinar.
John meliriknya dengan senyum sinis, atau mungkin sedikit tersipu. "GR. Siapa juga yang nungguin kamu?" ucapnya, meski dalam hatinya dia bertanya-tanya mengapa dia selalu merasa terdorong untuk duduk di sana hingga Nadira kembali.
Nadira menahan senyumnya. "Benarkah?" Dengan sikap berani, dia mendekat, lalu tanpa aba-aba duduk di pangkuan John dan mengalungkan tangannya di leher pria itu. Meski jantungnya berdegup kencang karena takut John akan mendorongnya, Nadira mencoba tenang. Sejak memutuskan hubungan dengan ayahnya, Nadira sadar dirinya tak punya siapa pun lagi untuk diandalkan. Maka, dalam hatinya ia bertekad untuk tetap berada di sisi John.
John terkesiap dengan keberanian Nadira, wajahnya sedikit merah. "Apa-apaan kamu?" tanyanya, tak bisa menyembunyikan keterkejutannya.
Nadira tetap menampilkan senyum cerianya, malah semakin berani. Tangannya perlahan menyentuh rahang John, membuat John semakin bingung. "Om Bule, kawin, yuk!" Nadira berkata dengan nada manja yang tak terduga.
John membelalak, kaget dengan kelancangan Nadira. Meski gadis itu pernah mengatakan hal ini ketika mabuk beberapa waktu lalu, kali ini situasinya berbeda. Nadira jelas-jelas sadar. "Apa kau sedang mabuk?" tanyanya dengan nada tak percaya.
Nadira tertawa kecil, mengedipkan mata dengan genit. "Aku memang mabuk, Om. Mabuk cinta pada Om Bule Sayang," jawabnya, membuat John semakin tidak mengerti.
"Apa kamu kesurupan?" tanya John, matanya memicing penuh keheranan. Gadis yang selama ini dikenal sedikit pemalu, polos dan ceria, tiba-tiba berubah menjadi berani dan menggoda. Ia merasa hampir tak mengenali Nadira, dan perbedaan drastis ini membuat John bergidik. Sesuatu dalam dirinya seolah terguncang, menolak untuk percaya bahwa gadis di pangkuannya ini benar-benar Nadira yang selama ini ia kenal.
Nadira masih duduk di pangkuan John, wajahnya penuh senyum centil yang menggoda. "Aku kesurupan cinta Om," katanya dengan suara manja, membuat John benar-benar kehilangan kata-kata. Tatapan mata Nadira yang semula hanya terkesan genit kini berubah, terlihat lebih dalam dan tulus, penuh cinta dan harap. Ia pun kembali berkata dengan lirih, "Om Bule, mau ya, jadi suamiku?"
Lagi-lagi John terkesiap mendengar kata-kata Nadira, tapi kali ini ia merasa berbeda. Perasaannya campur aduk, antara kaget dan tak percaya, apalagi tatapan Nadira yang semakin lama semakin membuat hatinya bergetar. Namun, ia berusaha keras mempertahankan sikap dinginnya, tak ingin terpengaruh oleh sikap nekat Nadira.
"Turun!" titah John, mencoba bersikap datar. "Kamu seharian dari luar sana dan belum membersihkan diri. Cepat mandi sana!" Nadanya tegas, tapi sedikit bergetar, berusaha menyembunyikan kegugupannya.
Nadira terdiam sejenak, seolah tak menyangka John akan merespons demikian. Ia lalu mengedipkan matanya, tampak terkejut. Baru sadar bahwa seharian ini ia memang berada di luar, dan pasti tubuhnya sudah berkeringat dan... bau.
"Oh! Baik, Om," katanya buru-buru. Nadira pun segera turun dari pangkuan John, wajahnya sedikit merah menahan malu. "Aku akan membersihkan diri dan segera kembali," tambahnya, lalu berjalan cepat ke arah kamarnya. Namun, di tengah jalan, ia mulai berlari kecil, sambil bergumam pelan, "Aduh, kenapa aku jadi lupa kalau belum mandi?"
John terdiam, memandangi ke arah Nadira yang kini sudah berlari kecil menuju kamarnya, gumaman kesalnya terdengar samar-samar. Ia masih bisa merasakan hangatnya kehadiran Nadira di pangkuannya dan kata-kata gadis itu terus terngiang dalam benaknya. "Om Bule, kawin, yuk! Om Bule, mau ya, jadi suamiku?" Nadira mengatakan itu dengan tatapan yang tulus, seakan perasaannya benar-benar nyata.
John mengusap wajahnya, mencoba menenangkan detak jantungnya yang masih berdebar tak karuan. Ia memaksa dirinya untuk mengalihkan pikiran, tapi bayangan wajah Nadira dengan sorot penuh cinta itu justru semakin melekat.
"Kamu benar-benar gila, Nadira," gumam John, menghela napas panjang, hatinya merasa goyah. Satu sisi dirinya berusaha menjaga jarak, namun sisi lain… ia mulai mempertanyakan, apakah mampu melakukannya lebih lama lagi.
Saat Nadira kembali nanti, John tahu dirinya harus bersiap menghadapi keberanian gadis itu yang semakin tak terduga.
Nadira tiba di kamarnya dan tiba-tiba senyum licik tersungging di wajahnya. "Kalau wanita di luar sana bisa menggoda Om Bule, kenapa aku yang tinggal serumah dengannya tidak?" gumamnya pelan, matanya berkilat penuh tekad.
...🍁💦🍁...
.
To be continued
belajarlah membuka hatimu tuk nadira dan nadira walaupun msh polos dan lugu sangat cocok john sangat patuh n penurut.....
Sampai kapan john akan hidup bayang2 masalalu dan belajar melangkah masa depan bersama nadira....
masak selamanya akan menjadi jomblo abadi/perjaka tuwiiiir🤣🤣🤣😂
Angga sangat kepo dan pgn tahu sejak kapan john membawa gadis muda ke apartemennya....
untung john cpt plg nadira sampai ketakutan krn angga terus instrogasi nadira.....
lanjut thor update lg....