Kapan lagi baca novel bisa dapat hadiah?
Mampir yuk gaes, baca novelnya dan menangkan hadiah menarik dari Author 🥰
-------------------
"Aku akan mendapatkan peringkat satu pada ujian besok, Bu. Tapi syaratnya, Bu Anja harus berkencan denganku."
Anja adalah seorang guru SMA cantik yang masih jomblo meski usianya sudah hampir 30 tahun. Hidupnya yang biasa-biasa saja berubah saat ia bertemu kembali dengan Nathan, mantan muridnya dulu. Tak disangka, Nathan malah mengungkapkan cinta pada Anja!
Bagaimana kelanjutan kisah antara mantan murid dan guru itu? Akankah perbedaan usia di antara keduanya menghalangi cinta mereka? Ikuti kisah mereka di sini!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon HANA ADACHI, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
31. Mimpi
"Bu Anja, jadikan aku pacarmu yang sesungguhnya."
Anja membeku. Matanya melotot, dan mulutnya terbuka, tapi tak ada kata yang keluar. Ucapan Nathan barusan seperti membekukan seluruh pikirannya. Dia hanya bisa menatap Nathan dengan mata yang melebar, terkejut tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya.
Nathan, yang dengan kurang ajarnya malah tersenyum, menundukkan kepala hingga wajah mereka sejajar. "Aku tahu ini mengejutkan, Bu Anja. Aku nggak minta jawaban sekarang. Aku cuma ingin Bu Anja tahu kalau aku serius. Makanya mulai sekarang, aku bakal merayu Bu Anja secara terang-terangan."
Anja masih belum bisa berkata apa-apa. Tubuhnya terasa kaku, seakan-akan semua energinya tersedot keluar. Nathan yang masih tersenyum, lalu menggandeng tangan Anja dengan santai.
"Yuk, aku antar pulang," ujarnya dengan lembut. Anja yang masih terbengong-bengong hanya bisa menurut seperti kerbau yang dicucuk hidungnya.
Selama perjalanan, Anja masih terdiam, tenggelam dalam pikirannya yang penuh dengan tanya. Sesekali, dia melirik Nathan, tetapi setiap kali mencoba berbicara, dia ragu dan akhirnya hanya menelan ludah. Keheningan di dalam mobil terasa aneh, canggung, dan entah kenapa itu justru membuat perasaannya makin kalut.
Nathan, sebaliknya, tampak begitu santai. Ia menyetir dengan tenang, sesekali melirik ke arah Anja, tapi tidak berkata apa-apa. Tidak ada lagi pembicaraan setelah pengakuan barusan, tapi justru itu yang membuat Anja semakin gelisah. Ia berusaha mencari kata-kata, tetapi semuanya terasa macet di tenggorokannya.
Anja memandangi tangannya sendiri, masih merasakan hangatnya genggaman Nathan tadi. Rasanya canggung. Apa yang terjadi barusan? pikirnya berkali-kali. Bagaimana bisa seorang murid berbicara seperti itu kepada gurunya? Apa dia cuma bercanda? Tapi dia bilang dia serius! Lalu apa yang harus kulakukan?!
Semua pikiran berkecamuk menjadi satu di dalam kepala Anja. Tapi tak ada satupun yang berani ia keluarkan lewat mulutnya.
Lima belas menit berlalu seperti seribu tahun bagi Anja, dan mobil Nathan pun berhenti di depan rumah. Nathan menoleh dan tersenyum tipis. "Sudah sampai, Bu Anja."
Anja hanya mengangguk, masih terdiam. Tangannya bergerak membuka sabuk pengaman, tapi jari-jarinya gemetar hebat. Saking gemetarnya, ia tidak berhasil membuka sabuk itu. Anja mencoba lagi, namun sabuk pengamannya seperti tak mau lepas. Perasaan gugupnya makin menjadi.
Melihat itu, Nathan mendekat dengan tenang. “Biar aku bantu,” katanya lembut.
Tangan Nathan bergerak melewati tubuh Anja menuju pengait sabuk pengaman, dan secara otomatis wajah mereka berdekatan. Anja bisa merasakan kehangatan napas Nathan di dekat wajahnya, dan jantungnya berdetak kencang tak beraturan. Ia menahan napas tanpa sadar, tubuhnya membeku sejenak, tak tahu harus berbuat apa. Detik itu terasa jauh lebih lama dari yang seharusnya.
Nathan dengan cekatan membuka sabuk pengaman, menghasilkan bunyi klik yang memecah keheningan. Anja menelan ludah, wajahnya memerah karena gugup. Saat sabuk terbuka, dia tersadar dan dengan cepat menarik dirinya menjauh. Tanpa berkata apa-apa lagi, ia keluar dari mobil dengan langkah tergesa-gesa dan berlari masuk ke rumah.
Nathan yang melihat perilaku Anja hanya bisa tersenyum geli. "Lucunya. Tenyata Bu Anja bisa salting juga ya,"
Sementara itu, Anja masih terus berlari seperti dikejar hantu. Dengan gerakan secepat kilat, ia membuka pintu, masuk, dan menutupnya kembali. Setelah pintu ditutup, ia bersandar di baliknya, berusaha mengatur napas yang terasa sesak karena jantungnya yang berdetak terlalu cepat.
"Anja?" Ibu muncul dari kamar dengan tatapan heran. "Kamu kenapa?"
"Nggak apa-apa Bu," Anja menggelengkan kepalanya dengan cepat. "A-aku capek, mau istirahat dulu." ujarnya sambil melangkah menuju kamar.
Ibu memicingkan mata curiga. "Kenapa anak ini?" gumamnya. Ia lalu membuka pintu, dan melihat Nathan yang sedang memutar arah mobil.
"Loh, baru dateng udah mau pergi lagi, Than?" tanya Ibu yang membuat Nathan menoleh.
"Iya Bu, masih ada kerjaan di kantor. Ini balik juga cuma mau nganter pulang Bu Anja,"
"Ah, so sweetnya," Ibu tersenyum senang. "Ya sudah, ya sudah, lanjut bekerja sana. Besok Ibu titip Anja lagi ya,"
"Siap Bu," Nathan melambaikan tangannya, dan mobil pun meluncur pergi dari pelataran rumah Anja.
"Sepertinya aku harus lebih berusaha lagi mendekatkan mereka berdua," tekad Ibu penuh semangat.
Sementara itu di dalam kamarnya, Anja duduk termenung di tepi ranjang, hatinya masih terasa berdebar. Dia mencoba mencerna apa yang barusan terjadi, tapi semuanya terasa terlalu cepat dan aneh. Ucapan Nathan masih terngiang di kepalanya, membuat perasaannya semakin kacau.
"Apa yang harus aku lakukan?" gumamnya pada dirinya sendiri. Dia merasa bingung dan tidak tahu harus bagaimana menghadapi situasi ini. Nathan, yang selama ini hanya ia lihat sebagai murid, tiba-tiba mengaku cinta padanya.
Anja membaringkan tubuhnya di tempat tidur, menarik selimut hingga menutupi wajahnya. Ia berharap perasaan aneh ini bisa hilang setelah tidur. Namun, setiap kali ia menutup mata, wajah Nathan dan suaranya kembali muncul di pikirannya.
"Bu Anja, jadikan aku pacarmu yang sesungguhnya."
"ARGHHH!" Anja berteriak sambil melempar bantal ke sembarang arah. "Kenapa dia harus ngomong begitu, sih?!"
Rasa canggung bercampur kesal membuat Anja mengacak-acak rambutnya frustasi. "Nggak mungkin, nggak mungkin... aku pasti salah dengar. Pasti ini cuma efek kecapekan gara-gara seharian ngurusin orang-orang ajaib kayak Bu Eni sama Broto. Tenang, Anja... semuanya cuma halusinasi."
Anja berusaha menenangkan dirinya, menarik napas dalam-dalam, lalu membuangnya perlahan. Ia memejamkan mata, berharap saat bangun, semuanya akan kembali seperti semula.
Tepat pukul setengah lima sore, Anja terbangun. Perasaannya terasa lebih lega dari sebelumnya. Ia mengangkat kedua tangannya sambil menarik napas dalam-dalam.
"Hahaha, lucu banget deh. Masa aku mimpi Nathan mengungkapkan cinta padaku? Hahaha, nggak masuk akal banget," Anja tertawa sambil menggelengkan kepalanya.
Anja lalu bangkit dan berjalan menuju jendela, menarik tirai yang menutupi sinar matahari sore. Tepat saat itu, pemandangan dari kamar seberang membuatnya terdiam. Nathan yang sedang bertelanjang dada, tampak sedang melakukan peregangan di depan jendela kamarnya yang terbuka. Otot perutnya yang terbentuk dengan sempurna tampak begitu mencolok.
"Astaga!" Anja langsung menjatuhkan diri ke lantai, berusaha menyembunyikan diri di balik tirai. Jantungnya berdetak kencang, pipinya memerah karena malu.
"Kenapa aku harus sembunyi? Ini salah dia sendiri buka jendela lebar-lebar kayak gitu," Anja sibuk bergumam sendiri.
Baru saja Anja akan beranjak kembali ke kasurnya, sebuah notifikasi ponsel mengagetkannya. Dengan tangan gemetar, Anja meraih ponselnya dan melihat pesan yang masuk.
Nathan.
Gimana Bu? Udah puas lihat otot perutku?
Wajah Anja memucat seketika, ponselnya hampir terlepas dari genggaman.
kamu g tahu aj sebucin apa Nathan