NovelToon NovelToon
PONDOK MERTUA

PONDOK MERTUA

Status: sedang berlangsung
Genre:Mengubah Takdir / Identitas Tersembunyi / Fantasi Wanita / Pembaca Pikiran
Popularitas:2.8k
Nilai: 5
Nama Author: Rahmadaniah

Nisa anak sulung dari lima bersaudara, dipersunting oleh pria bernama Akil, Nisa berharap pernikahannya membawa perubahan pada keluarganya, Setelah sah sebagai suami istri, Akil memboyong Istrinya (Nisa) kerumah orangtuanya. Di pondok Mertua Nisa banyak menghadapi problem rumah tangga, kesabarannya runtuh setelah 11 tahun berumah tangga, bahkan Ia merasa rumah tangganya belum terbentuk. Hingga suatu ketika Nisa memutuskan untuk mengalah dan kembali ke rumah orangtuanya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rahmadaniah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 17

Di ruang tengah, Nisa duduk bersama keluarga besar suaminya, ikut membantu melipat dan membentuk kardus menjadi kotak untuk kemasan menu. Suara ramai dari obrolan dan tawa menghiasi ruangan itu, menciptakan suasana yang hangat dan akrab. Sesekali Nisa menjawab pertanyaan sederhana dari kerabat Akil yang menanyakan bagaimana perasaannya tinggal di sini.

“Senang, kok, Bu,” jawab Nisa, tersenyum malu-malu sambil melanjutkan pekerjaannya. Sesekali ia tertawa kecil saat seseorang di dekatnya melemparkan candaan, membuat senyumnya semakin terlihat tulus dan ceria.

Akil, yang berdiri di dekat pintu dan memperhatikan dari kejauhan, tersenyum lega. Melihat Nisa mulai tersenyum dan tertawa dengan kerabatnya memberinya rasa puas dan bangga. Akhirnya, Nisa mulai merasa nyaman dan menemukan tempat di keluarga besarnya.

Namun, di sisi lain ruangan, ibu mertua Nisa tengah duduk bersama sekelompok ibu-ibu, termasuk Sahrah, kakak iparnya. Mereka saling berbincang, membicarakan kegiatan sehari-hari dan kondisi rumah. Sesekali, ibu mertuanya mengeluhkan dengan suara rendah, “Di rumah, Nisa ini masih sering di dalam kamar saja. Kadang, kalau tidak diajak Akil, dia tidak keluar,” katanya sambil menoleh sedikit ke arah Nisa.

Sahrah menimpali, “Mungkin dia masih butuh waktu, Bu. Nanti kalau sudah terbiasa, dia pasti lebih banyak mengobrol sama kita.”

Percakapan itu samar terdengar di sekitar, namun Nisa berusaha tetap fokus pada tugas di depannya, memastikan tidak terbawa perasaan. Sambil tetap tersenyum dan tertawa, ia berharap dalam hati agar bisa lebih diterima di antara keluarga suaminya dan pelan-pelan mengurangi jarak yang ada.

Saat makan siang bersama para ibu yang membantu ketersediaan makanan untuk hajatan, Nisa duduk di antara mereka sambil menyantap hidangan sederhana. Suara obrolan ibu-ibu itu mengalir ringan, namun sesekali Nisa merasa tersentil oleh beberapa komentar yang dilontarkan.

“Menikah itu harus pinter-pinter ngatur uang, lho, Nduk. Apalagi kalau rumah tangganya masih baru, jangan boros,” ucap seorang ibu yang duduk di seberangnya sambil menatapnya sekilas.

Nisa hanya tersenyum kecil dan mengangguk, namun kata-kata itu terasa seperti sindiran halus yang menyelip di antara santapan siang mereka. Kemudian, ia mendengar ibu mertuanya ikut menanggapi.

“Iya, betul. Anak jaman sekarang itu kadang-kadang lupa ngatur pengeluaran. Padahal penting, lho, untuk menjaga keuangan keluarga.”

Mereka melanjutkan perbincangan tentang bagaimana anak-anak muda kini sering kali dianggap kurang pandai menahan diri, cenderung mengikuti tren yang mahal, dan kurang memahami prioritas rumah tangga. Nisa menunduk, melanjutkan makannya tanpa banyak berkata. Di satu sisi, ia ingin ikut berbicara, namun rasa canggung dan sedikit tersinggung membuatnya memilih diam.

Di tengah percakapan, seorang ibu di sebelahnya menepuk bahunya dengan lembut, “Tapi kalau ada keinginan dan niat baik, nanti bisa belajar, kok, Nduk. Jangan sungkan, minta saran sama ibu-ibu di sini.”

Nisa tersenyum tipis, berusaha menenangkan perasaannya yang sedikit terluka. Dalam hatinya, ia bertekad untuk membuktikan bahwa ia mampu, meski sekarang ia masih berusaha menyesuaikan diri dalam lingkungan yang terasa asing.

---

Nisa berdiri di sudut pelaminan, matanya terfokus pada kerabat-kerabat Akil yang berkumpul, tertawa dan mengobrol. Suasana di sekelilingnya ramai, tetapi ada sesuatu yang membuatnya merasa terasing. Di hadapannya, sepasang pengantin baru tampak bahagia, sementara Nisa berusaha menyembunyikan perasaan cemas yang menggerogoti hatinya.

“Jangan sampai keduluan Atun, ya! Sudah waktunya dia isi,” seorang kerabat berseloroh, membuat Nisa terhenti sejenak. Dia mengingat nama Atun, sepupu Akil yang baru saja menikah dan terlihat bahagia.

“Ah, tidak apa-apa kalau bersamaan hamilnya,” timpal kerabat lainnya dengan nada yang lebih santai, dan tawa mereka membahana di ruangan itu.

Mendengar komentar tersebut, hati Nisa berdegup kencang. Kenyataan bahwa ia belum juga hamil menjadi beban tersendiri baginya. Setiap kali kerabat suaminya berbicara tentang anak, rasanya seolah-olah mereka sedang berbicara langsung kepadanya, menyoroti ketidakcukupan yang ia rasakan dalam pernikahannya.

Nisa berusaha tersenyum, tetapi senyumnya terasa dipaksakan. Di dalam hatinya, ia berdoa agar ia bisa memberikan kebahagiaan kepada Akil dan keluarganya. Namun, tekanan untuk segera hamil membuatnya merasa terjebak dalam harapan dan ekspektasi yang tidak pernah ia rencanakan.

Sambil mengalihkan pandangan ke arah pelaminan, Nisa melihat pengantin baru yang penuh cinta dan kebahagiaan. Ia pun bertanya-tanya, apakah kebahagiaan itu akan pernah ia rasakan dalam pernikahannya sendiri, yang terasa semakin berat oleh komentar-komentar tak terduga dari kerabat suaminya.

Acara hajatan telah berlangsung sepanjang hari, dan Nisa berusaha semaksimal mungkin untuk membantu. Dengan penuh semangat, ia mengangkat beberapa piring berisi makanan yang tersisa, berusaha membersihkan meja dengan hati-hati. Namun, saat ia melangkah, suara tawa dan teriakan anak-anak yang berlarian tiba-tiba menggema di sekelilingnya.

“Nisa, hati-hati!” seru seorang kerabat, tetapi terlambat. Nisa tersenggol oleh keponakannya yang berlari kencang, dan dalam sekejap, beberapa piring yang dipegangnya terjatuh, menghasilkan suara gaduh yang memekakkan telinga. Piring-piring itu pecah berhamburan, menambah kehebohan di tengah suasana yang sudah ramai.

Mertuanya yang menyaksikan kejadian itu sontak kaget. “Nisa! Kenapa kamu bisa ceroboh seperti itu?!” suaranya meninggi, mengekspresikan kekecewaan yang mendalam. Nisa terdiam, wajahnya merona malu. Ia berusaha menjelaskan, tetapi kata-katanya terhenti di kerongkongan, tercekik oleh rasa bersalah dan malu yang menyelimuti.

Di sisi lain, ibu mertua Nisa meliriknya dengan tatapan mencemooh. “Kamu seharusnya lebih berhati-hati! Ini bukan pertama kalinya!” katanya dengan nada merendahkan, seolah mengingatkan semua orang akan kekurangannya.

Namun, di tengah suasana tegang itu, beberapa ibu-ibu yang berdiri di dekatnya segera membela Nisa. “Tenang saja, Bu. Nisa sudah berusaha sangat hati-hati. Itu hanya kecelakaan,” ujar salah satu dari mereka. “Anak-anak memang sering berlari seperti itu. Ini bukan salah Nisa.”

Sementara itu, Nisa merasa hatinya bergetar mendengar pembelaan tersebut, tetapi tetap saja, rasa malu tak kunjung pergi. Mertuanya masih tampak tidak terima, dan rasa malunya semakin membesar. Dia terus menggelengkan kepala, seolah tidak bisa menerima kesalahan yang terjadi.

Kakak ipar dan adik iparnya datang menghampiri, terlihat cemas. “Mbak, kamu baik-baik saja?” tanya adek iparnya dengan nada khawatir. Sementara kakak iparnya mendecak mengekpresikan keheranan akibat kecerobohan Nisa, tanpa Ia tahu bahwa semua ini penyebab anak-anaknya.Akil pun muncul dari kerumunan, wajahnya panik melihat istrinya dipermalukan.

“Nisa, apa yang terjadi?” tanya Akil, menghampiri dengan langkah cepat. Ia menatap ibunya yang masih terlihat marah, lalu mengalihkan pandangannya pada Nisa. “Jangan pikirkan mereka. Ini hanya kecelakaan, sayang.”

Nisa menundukkan kepala, berusaha menahan air mata yang hampir keluar. Ia merasa terjebak antara keinginannya untuk diterima dan tekanan yang diberikan oleh keluarganya. Walaupun ada pembelaan, rasa percaya dirinya terguncang oleh sikap mertuanya. Di dalam hatinya, ia berdoa agar hari ini segera berakhir, dan semua bisa kembali normal.

1
Lala lala
bukan halo nisa...baiknya saat nelp..assalamualaikum nisa, apa kabar..
Rahmadaniah: terimakasih kasih saran nya 🫰🏻🙏🏻
total 1 replies
Rahmadaniah
makasih kak🙏🏾.
Rahmadaniah
mkasih kak 🙏🏾.
Rahmadaniah
makasih kak udh mampir baca
Amalia Mirfada
merasakan getaran emosi dalam setiap kata.
Rara Makulua
Terbaik! Worth to read!
Mưa buồn
Karya yang bagus buat dibaca berulang-ulang, makasih author! 😍
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!