Anggista Anggraini, yang lebih akrab di sapa dengan nama Gista, mencoba menghubungi sahabatnya Renata Setiawan untuk meminjam uang ketika rentenir datang ke rumahnya. Menagih hutang sang ayah sebesar 150 juta rupiah. Namun, ketika ia mengetahui sahabatnya sedang ada masalah rumah tangga, Gista mengurungkan niatnya. Ia terpaksa menemui sang atasan, Dirgantara Wijaya sebagai pilihan terakhirnya. Tidak ada pilihan lain. Gadis berusia 22 tahun itu pun terjebak dengan pria berstatus duda yang merupakan adik ipar dari sahabatnya itu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Five Vee, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
02. Saya Ingin Meminjam Uang, Pak.
Pukul sebelas malam, para pekerja kafe telah selesai berberes dan siap untuk menutup kafe. Satu persatu para karyawan pun pergi meninggalkan tempat itu.
Melihat situasi mulai aman, Gista pun bergegas menemui Dirga yang sedang menghitung pendapatan hari ini di ruang kerjanya.
Pria itu menyimpan laptopnya ketika mendengar suara ketukan pada pintu ruang kerjanya. Ia pun mempersilahkan orang di luar sana untuk masuk.
Dengan jantung yang mulai berdetak lebih kencang, Gista masuk kemudian menutup kembali pintu ruangan itu. Ia tidak ingin jika ada rekan kerjanya yang mendengar pembicaraan mereka.
“Silahkan duduk.” Ucap Dirga sembari menyandarkan punggung pada sandaran kursi kebesarannya.
Gista mengangguk pelan. Kemudian mengambil tempat di seberang meja kerja sang atasan.
“Jadi, apa yang ingin kamu bicarakan nona— Dirga menjeda ucapannya, salah satu alis pria dewasa itu terangkat. Ia melupakan nama sahabat kakak iparnya itu.
“Anggista Anggraini, pak. Anda bisa memanggil saya Gista.” Ucap Gista yang mengerti maksud isyarat mata pria dewasa itu.
“Apa ini menyangkut kepergian kakak ipar saya?” Tanya Dirga kemudian. Ia harus segera mendapatkan informasi dimana keberadaan Renatta agar sang kakak— Richard Wijaya berhenti mengamuk karena kehilangan istrinya.
Kepala Gista menggeleng pelan. “Saya tidak tau dimana Renatta berada, pak.” Jelasnya.
“Lalu?”
Gista menghirup udara sebanyak mungkin. Ia yang biasanya selalu bicara to the point, entah mengapa saat seperti ini menjadi gugup.
Gadis itu takut mendapat amukan dari sang atasan.
“S-saya ingin meminjam uang pada anda, pak.” Ucap Gista terbata.
Kerutan halus terlukis pada dahi pria tampan itu setelah mendengar ucapan Gista.
“Meminjam uang? Berapa?” Tanyanya kemudian.
Gista menghela nafas pelan. “S-seratus lima puluh.” Gumamnya pelan.
“Seratus lima puluh ribu?” Dirga pun merogoh saku celana bahan yang ia gunakan untuk mengambil dompet.
Kepala Gista menggeleng kencang ketika pria itu menyodorkan dua lembar uang berwarna merah padanya.
“Seratus lima puluh juta, pak.”
Dirga menarik tangannya yang memegang uang, kemudian kembali menyimpan di dalam dompet.
“Untuk apa kamu meminjam uang sebanyak itu?”
“Membayar hutang bapak saya pada seorang rentenir, pak.” Jawab Gista dengan jujur.
Dirga mencebikkan bibirnya. Alasan yang sangat klasik dan sudah sering ia dengar dari beberapa bawahannya di kantor Wijaya Group.
“Kamu ingat ‘kan baru berapa lama kafe ini buka?” Tanya pria itu.
Dan Gista menganggukkan kepalanya.
“Lalu apa kamu pikir, saya sudah mendapatkan keuntungan sebanyak itu setelah tempat ini beroperasi?”
Gadis itu menggelengkan kepalanya.
“Lalu kenapa kamu dengan beraninya ingin meminjam uang sebanyak itu?”
Gista menelan ludah dengan kasar, ketika Dirga menatapnya dengan lekat.
“Tetapi, saya tidak ingin meminjam uang kafe, pak. S-saya ingin meminjam uang pribadi bapak.” Ucap gadis itu kemudian.
Dirga mengamati gadis di hadapannya ini dengan lekat.
Selama hampir dua minggu bekerja di kafe itu, Gista memang tidak pernah membuat masalah. Justru gadis yang berstatus pekerja paruh waktu itu lebih rajin dan cekatan dari pekerja tetap.
Dirga kemudian teringat cerita Renatta ketika wanita itu menanyakan lowongan pekerjaan pada dirinya.
‘Jadi benar gadis ini bekerja untuk membayar hutang ayahnya?’
“Apa kamu yakin saya mempunyai uang sebanyak itu?”
“Tentu saja. Bukankah bapak salah satu ahli waris keluarga Wijaya?” Gista seketika mengatupkan bibirnya setelah menyadari kelancangan dalam berbicara.
Dirga kembali mencebikkan bibirnya.
“Lalu apa kamu yakin saya akan meminjamkan uang pribadi saya sama kamu?”
Kepala Gista menggeleng lemah. “Saya tidak yakin, pak.” Ucap gadis itu dengan sendu.
Sepertinya, ia harus keluar dengan tangan hampa dari kafe itu. Gista harus mencari cara agar segera mendapatkan uang. Waktunya tinggal tiga hari lagi. Ia tidak mungkin membiarkan sang bapak di sakiti oleh rentenir itu.
“Kalau tidak yakin, kenapa kamu datang pada saya?” Pria itu kembali melempar tanya.
Dan kali ini, Gista pun menyerah.
“Karena saya tidak memiliki pilihan, pak. Sebelumnya, Renatta sudah menawarkan diri dan menyuruh saya untuk menghubungi dirinya di saat terdesak. Tetapi, sekarang dia menghilang dan tidak bisa di hubungi, sementara saya sudah tidak memiliki banyak waktu lagi untuk membayar hutang itu.” Gadis itu menjeda ucapannya dengan helaan nafas lelah.
“Dan lagi, menurut Renatta anda orang baik seperti pak Richard. Karena itu saya memberanikan diri meminta bantuan bapak. Tetapi sayang, seperti saya belum beruntung untuk bisa mendapatkan kebaikan bapak.” Imbuhnya kemudian.
Dirga hanya diam tanpa memberikan tanggapan apapun.
Ia menghela nafasnya dengan kuat sekali lagi. Kemudian berdiri dari tempat duduknya. Sudah tidak ada gunanya berdiam diri terlalu lama di dalam kafe itu. Gista harus mencari cara lain untuk mendapatkan uang seratus lima puluh juta itu.
“Terima kasih atas waktunya, pak. Maaf karena saya telah mengganggu waktu istirahat anda. Saya permisi.”
“Tunggu.”
Langkah kaki Gista terhenti ketika tangannya baru saja mendarat pada gagang pintu. Gadis itu memutar badan untuk melihat ke arah sang atasan.
“Ada apa, pak?” Tanyanya dengan sopan, meski ia ingin sekali cepat pergi dari tempat itu.
“Jadi menurut Renatta, saya pria yang baik seperti suaminya?” Tanya Dirga kemudian.
Dahi Gista berkerut halus. Ia mengira Dirga menghentikannya karena berubah pikiran. Tetapi, pria itu justru menanyakan tentang penilaian Renatta terhadapnya.
“Ya.” Jawab gadis itu singkat. Ia dapat melihat sudut bibir Dirga terangkat. Pria berstatus duda tanpa anak itu sedang tersenyum.
“Kapan kamu memerlukan uang itu?” Tanya Dirga yang membuat Gista semakin mengerutkan dahinya.
Pria itu kemudian bangkit dari atas kursi kerjanya. Berjalan ke arah Gista dengan kedua tangan tersimpan di dalam saku celana.
“Kamu mengatakan sudah tidak memiliki banyak waktu untuk membayar hutang itu. Yang artinya kamu harus segera mendapatkan uang itu ‘kan?”
Kepala Gista mengangguk pelan. “Jika dalam tiga hari kedepan saya tidak bisa melunasi hutang bapak saya, maka rentenir itu akan membakar rumah kontrakan dan meng-habisi bapak saya.” Jelas gadis itu lagi.
Dirga pun mengangguk paham. Ia kemudian mengambil ponselnya dari atas meja.
“Tulis nomor ponsel kamu.” Ia menyodorkan telepon genggam berharga puluhan juta itu pada Gista.
Gadis itu kemudian mengetikan dua belas angka di atas layar benda pipih pintar itu. Lalu mengembalikannya lagi pada Dirga.
Tak berapa lama, ponsel di dalam tas selempang yang Gista gunakan pun bergetar. Gadis itu langsung memeriksanya setelah Dirga memberikan isyarat mata.
“Besok malam datang ke alamat itu setelah kamu selesai bekerja. Saya akan memberikan uang yang kamu minta.” Ucap pria itu kemudian.
Gista sejenak terdiam. Hingga Dirga melambaikan tangan tepat di hadapan wajahnya.
“Terima kasih, pak.” Ucap gadis itu dengan tulus.
...****************...
,
yuk thor cemangatt