Nandana Panesthi, seorang istri yang sempurna di mata orang-orang, terjebak dalam pernikahan tanpa cinta dengan Dimas Larung Mahdiva, pria ambisius yang lebih mencintai kekuasaan daripada dirinya. Kehidupan rumah tangga mereka yang tampak harmonis hanyalah topeng dari kebekuan yang semakin menusuk hati Nanda.
Hingga suatu hari, Sanjana Binar Rimbawa hadir seperti badai di tengah gurun kehidupan Nanda. Seorang pria dengan tatapan yang dalam dan kata-kata yang mampu menghidupkan kembali jiwa yang hampir mati. Sanjana bukan sekadar selingkuhan dia adalah pria yang menempatkan Nanda di singgasana yang seharusnya, memperlakukannya bak ratu yang selama ini diabaikan oleh suaminya.
Namun, cinta terlarang ini tak semudah kelihatannya. Di balik kelembutan Sanjana, tersimpan rahasia yang mengancam segalanya. Sementara Dimas mulai mencurigai perubahan sikap Nanda dan bertekad untuk mengungkap siapa pria yang berani merebut perhatian istrinya.
Akankah Nanda menemukan kebahagiaan sejati.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon NinLugas, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Memulai langkah baru
Nanda terdiam sejenak, matanya menatap jauh ke luar jendela, melihat hiruk-pikuk kehidupan yang terus berjalan meski banyak hal telah berubah. Suasana di sekelilingnya tampak lebih tenang, namun dalam hatinya, ada rasa gelisah tentang apa yang akan datang selanjutnya.
"Aku... aku ingin membangun hidupku sendiri," jawab Nanda dengan suara lembut, namun penuh keyakinan. "Mungkin ini terdengar klise, tapi aku benar-benar ingin menjadi mandiri. Selama ini aku terlalu bergantung pada orang lain, pada Dimas, pada orang tuaku... Aku ingin menulis cerita hidupku sendiri, tanpa dibayangi oleh siapa pun."
San mengangguk mendengarkan, matanya memperhatikan Nanda dengan seksama. "Kamu sudah melalui banyak hal. Kamu punya kekuatan lebih dari yang kamu kira. Tapi ingat, kamu tidak harus melakukannya sendirian. Ada banyak orang di sekitarmu yang mendukung."
Nanda tersenyum tipis, rasa terima kasih menghiasi wajahnya. "Aku tahu, San. Aku bersyukur ada kamu yang selalu ada di sini, memberikan dukungan saat aku merasa hampir menyerah. Tapi aku harus menemukan jalanku sendiri. Aku ingin melanjutkan pendidikanku, bekerja, dan meraih apa yang dulu aku impikan."
San merasa bangga mendengar kata-kata Nanda, namun di satu sisi, dia juga merasa khawatir. "Apapun yang kamu pilih, aku akan mendukungmu. Tapi ingat, hidup bukan hanya tentang bekerja atau mengejar impian. Jangan lupa untuk menjaga dirimu, terutama setelah semua yang kamu alami."
Nanda mengangguk, matanya penuh tekad. "Aku tahu, dan aku akan berhati-hati. Aku tidak akan membiarkan masa lalu mendikte siapa aku sekarang."
San tersenyum, merasa lega mendengar keputusan Nanda. "Kau sudah menjadi pribadi yang kuat, Nanda. Aku yakin kamu akan berhasil. Jangan ragu untuk mengandalkan orang-orang yang peduli padamu."
Dengan itu, mereka berdua terdiam sejenak, menikmati momen kebersamaan yang penuh pengertian. Nanda merasa lebih tenang, seolah langkah-langkahnya ke depan menjadi lebih jelas. Meski perjalanan hidupnya masih panjang, dia tahu, dia tidak lagi harus melangkah dengan beban yang sama. Dan itu adalah awal dari babak baru yang lebih cerah dalam hidupnya.
Nanda menatap San dengan tatapan kosong, hatinya masih terasa sakit meskipun perceraian sudah selesai. Tetapi, ada perasaan hangat yang mulai tumbuh dalam dirinya saat San menggenggam tangannya. Dia tidak tahu bagaimana cara menjelaskan, tetapi ada sesuatu dalam diri San yang membuatnya merasa aman.
"Terima kasih," Nanda akhirnya berkata, suaranya hampir tidak terdengar. "Untuk semua yang sudah kamu lakukan untukku."
San tersenyum lembut, matanya menatap Nanda dengan penuh pengertian. "Kamu tidak perlu berterima kasih. Ini adalah hal yang seharusnya dilakukan untuk seseorang yang berarti."
Mereka berdua terdiam sejenak, saling memandang, tetapi kali ini, tidak ada ketegangan. Hanya ada rasa damai yang tumbuh perlahan, meskipun masa lalu masih membayangi. San tahu, meskipun Nanda baru saja meraih kebebasannya, perjalanan hidupnya belum berakhir.
"Kamu tidak sendirian, Nanda," lanjut San, suara lembutnya mengisi keheningan di antara mereka. "Aku ada di sini untuk mendukungmu, apapun yang terjadi."
Nanda merasakan sebuah getaran halus di hatinya saat mendengar kata-kata San. Perasaan yang selama ini terpendam, yang selalu ia coba hindari, mulai muncul kembali. Namun, ada rasa takut yang menghalangi, ketakutan akan terluka lagi, ketakutan akan mengulang kesalahan yang sama seperti yang pernah ia alami dalam pernikahannya dengan Dimas.
Ia menunduk, memandang tangan San yang masih menggenggam tangannya dengan lembut. Di balik rasa hangat yang mengalir, ada tembok tebal yang ia bangun untuk melindungi dirinya sendiri. Nanda belum siap untuk membuka hatinya, meski ia tahu bahwa ada sesuatu yang lebih dalam di antara dirinya dan San. Sesuatu yang lebih dari sekadar rasa terima kasih.
"San," Nanda memulai, suaranya bergetar. "Aku... aku butuh waktu. Semua yang terjadi, aku masih belajar untuk sembuh. Mungkin aku butuh lebih banyak waktu untuk benar-benar tahu apa yang aku rasakan."
San tidak marah atau kecewa. Ia hanya mengangguk dengan penuh pengertian. "Aku mengerti, Nanda. Aku akan menunggumu, kapan pun kamu siap."
San tahu, ia tidak bisa memaksakan perasaan atau memberi tekanan pada Nanda. Yang bisa ia lakukan adalah tetap ada untuknya, memberikan dukungan tanpa syarat, seperti yang ia janjikan. Dengan perlahan, ia melepaskan genggaman tangannya, memberi ruang bagi Nanda untuk bernapas, untuk menyembuhkan diri.
"Yang penting, kamu tahu aku di sini," San menambahkan dengan senyum yang penuh makna. "Tidak peduli berapa lama waktu yang kamu butuhkan."
San menatap Nanda dengan penuh pengertian. Ia tahu betul betapa berat perjalanan yang telah dilalui Nanda. Keputusan untuk membuka hati lagi bukanlah sesuatu yang mudah, terlebih setelah semua yang terjadi di masa lalu. Namun, San merasa yakin bahwa ia bisa menjadi seseorang yang dapat diandalkan oleh Nanda, tanpa perlu terburu-buru atau memaksakan kehendak.
"Kadang, kita perlu waktu untuk menyembuhkan diri, Nanda," kata San pelan. "Aku tidak akan pernah memaksamu untuk melakukan apapun. Aku hanya ingin kamu tahu bahwa kamu tidak sendirian. Aku di sini untukmu, kapan pun kamu siap."
Nanda menatapnya, merasakan kehangatan dalam kata-kata San yang tulus. Meski hatinya masih diliputi keraguan, Nanda merasakan kenyamanan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. San bukan hanya hadir sebagai seseorang yang membantunya keluar dari keterpurukan, tapi juga sebagai sosok yang memberikan ruang untuknya tumbuh dan sembuh.
Nanda mengangguk pelan, meski kata-kata yang ia ingin ucapkan terjebak di tenggorokannya. Ia belum bisa mengatakan apa-apa lebih lanjut, tetapi ia merasa lebih tenang. San tidak menuntut lebih dari apa yang bisa ia berikan, dan itu adalah hal yang sangat berharga bagi Nanda.
"Satu hal yang aku tahu," lanjut San, "kamu pantas bahagia. Tak peduli apapun yang terjadi, aku akan tetap ada di sini untuk mendukungmu."
Dengan kalimat itu, Nanda merasa sedikit lebih ringan. Ia tahu bahwa di dunia yang penuh dengan ketidakpastian ini, setidaknya ada satu orang yang bersedia menunggu, tanpa mengharapkan lebih, hanya ingin melihatnya bahagia.
***
Dimas duduk termenung di ruang kerjanya, matanya menatap kosong ke luar jendela. Berita tentang kepergian Shelma untuk melanjutkan karir modelingnya di Paris sangat mengejutkan dan membuatnya semakin merasa terpojok. Selama ini, ia merasa bahwa hubungan dengan Shelma hanya sebuah permainan yang menguntungkan bagi keduanya. Namun, kali ini ia merasa seperti telah ditinggalkan begitu saja.
"Shelma... kamu benar-benar meninggalkanku begitu saja," gumam Dimas pelan, bibirnya terkunci rapat, seolah tak percaya dengan apa yang baru saja terjadi. Selama ini, ia selalu merasa bisa mengendalikan semuanya, namun kenyataannya, ia justru terjebak dalam permainan yang ia buat sendiri.
Pikiran tentang Shelma yang tiba-tiba pergi membuat Dimas semakin marah. Ia merasa dibohongi, seakan semua yang ia lakukan untuk Shelma tidak ada artinya. Ia tidak pernah mengira Shelma akan memilih pergi begitu saja setelah ia memberinya perhatian lebih, menganggapnya sebagai bagian dari rencananya untuk mengacaukan kehidupan Nanda.
Namun, di sisi lain, Dimas tahu bahwa ia sendiri yang telah memainkan banyak orang, termasuk Nanda. Dan kini, ia merasa seluruh dunia seperti berbalik menentangnya. Perusahaan yang dulu ia banggakan mulai merosot, sementara hubungan pribadinya berantakan. Semua ini terasa seperti akibat dari setiap keputusan buruk yang ia buat.
Ia menghela napas panjang, mencoba merenung, tetapi tak ada yang bisa mengubah kenyataan. Dimas merasa terasingkan, terperangkap dalam kesalahan yang tak bisa ia perbaiki. Kini, ia hanya bisa memandang ke depan, meski penuh kebingungan dan penyesalan yang datang terlambat.