Tiga tahun lamanya Amara menjalani pernikahannya dengan Alvaro. Selama itu juga Amara diam, saat semua orang mengatakan kalau dirinya adalah perempuan mandul. Amara menyimpan rasa sakitnya itu sendiri, ketika Ibu Mertua dan Kakak Iparnya menyebut dirinya mandul.
Amara tidak bisa memungkirinya, kalau dirinya pun ingin memiliki anak, namun Alvaro tidak menginginkan itu. Suaminya tak ingin anak darinya. Yang lebih mengejutkan ternyata selama ini suaminya masih terbelenggu dengan cinta di masa lalunya, yang sekarang hadir dan kehadirannya direstui Ibu Mertua dan Kakak Ipar Amara, untuk menjadi istri kedua Alvaro.
Sekarang Amara menyerah, lelah dengan sikap suaminya yang dingin, dan tidak peduli akan dirinya. Amara sadar, selama ini suaminnya tak mencintainnya. Haruskah Amara mempertahankan pernikahannya, saat tak ada cinta di dalam pernikahannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hany Honey, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tujuh Belas - Aku Mau Sama Om!
Amara masih meredakan emosinya. Kalau saja tidak di tempat kerja mungkin Amara sudah melawan ucapan Kakak Iparnya tadi. Dewi baru saja kembali setelah mengantarkan Vira menemui Pak Yadi, Manager keuangan.
“Hei, kau baik-baik saja, Ra?” tanya Dewi yang melihat Amara diam sejak kedatangan perempuan itu.
“Aku baik-baik saja,” jawabnya berbohong.
“Siapa dia?” tanya Dewi, dia penasaran dengan perempuan yang tadi hampir adu mulut dengan Amara.
“Dia kakak iparku, dari awal aku menikah dengan suamiku, dia tidak menyukaiku,” jawab Amara.
“Gak usah dengarkan ucapan perempuan tadi, kamu hanya boleh mendengar dan percaya kepada suamimu saja, aku yakin dengan begitu semua akan baik-baik saja, Ra,” tutur Dewi.
Amara hanya tersenyum ringkih mendengar ucapan temannya itu, yang seolah dia tahu masalah yang sedang dihadapinya sekarang.
“Hmmm ... terima kasih nasihatnya,” ucap Amara dengan tersenyum.
Mereka melanjutkan mengobrol sambil mengerjakan beberapa laporan. Amara sudah cukup akrab dengan Dewi, apalagi Amara mudah bersosialisasi, dengan Agus dan Rudi pun dia sudah semakin akrab, apalagi saat istirahat mereka selalu makan berempat.
Tak lama kemudian telefon di meja kerja mereka berdering. Dewi bergegas mengambil gagang telepon dan menyapa siapa yang menelefon.
“Hallo ada yang bisa saya bantu?” ucap Dewi.
“....”
“Oh, baik, Pak,” jawab Dewi.
Dewi menatap Amara dengan penuh kebimbangan sambil menaruh gagang teleponnya.
“Ada apa lihatin aku begitu?” tanya Amara.
“Ra, kamu dipanggil bagian personalia,” jawab Dewi dengan perasaan khawatir, takut temannya itu kena masalah karena kejadian tadi. Amara sudah menduganya, kalau akan seperti ini jadinya.
“Ya sudah aku ke sana,” ucapnya dengan santai.
“Aku ikut ya, Ra? Aku bisa jadi saksi jika hal tadi sampai dipermasalahkan,” ucap Dewi, karena dia ingin membantu masalah temannya itu.
“Aku bisa sendiri, tenang saja, gak usah khawatir,” ucap Amara dengan tenang, supaya Dewi pun tak ikut khawatir.
“Serius, Ra?”
“Duarius malah,” jawab Amara dengan terkekeh, padahal dirinya pun ragu untuk menemui bagian personalia, Amara akan menerima konsekuensinya seperti apa nantinya.
“Kamu itu ya, Ra! Aku ini lagi serius, lagi khawatir malah bercanda!” ucap Dewi kesal.
“Gak usah tegang, yang tenang, aku ke sana, ya?” pamit Amara.
^^^
Alvaro mengemudikan mobilnya dengan kecepatan sedang, karena sudah memasuki komplek perumahan elit, dan sebentar lagi akan sampai di rumahnya. Alvaro menajamkan pandangannya ke depan, saat melihat seorang perempuan yang ia kenal berjalan seorang diri. Seketika itu Alvaro mengentikan mobilnya di samping perempuan yang sedang berjalan sendirian. Amara berjalan menuju rumahnya, setelah turun dari bus di depan pintu masuk perumahannya, ia harus berjalan kaki menuju rumahnya, padahal rumahnya masih cukup jauh jika ditempuh dengan berjalan kaki.
“Ara!” panggil Alvaro dengan membuka jendela mobilnya.
“Mas? Sudah pulang?” jawab Amara.
Alvaro turun dari dalam mobil, ia langsung menghampiri Amara. Amara langsung meraih tangan Alvaro lalu diciumnya. Sedangkan Alvaro, tangannya langsung mengusap keringat yang membasahi kening Amara.
“Kenapa kamu jalan kaki?” tanya Alvaro bingung.
“Ehm ... aku pakai bis, Mas. Jadi turun di depan sana, dan ke rumahnya jalan kaki,” jawab Amara.
“Ya sudah buruan masuk mobil!” titah Alvaro.
Alvaro membukakan pintu untuk Amara, lalu membiarkan Amara masuk lebih dulu, ia kembali menutup pintu mobilnya, barulah Alvaro masuk ke dalam. Alvaro masih menatap Amara yang terlihat begitu lelah, karena harus berjalan kaki. Selama ini dirinya ke mana saja, seolah tidak peduli dengan Amara, dan tidak tahu apa yang Amara lakukan setiap hari, bahkan berangkat kerja jalan kaki pun dirinya tidak tahu. Pantas saja selalu pagi-pagi sekali kalau berangkat, ternyata Amara harus jalan kaki dulu ke depan untuk naik bis.
“Jadi selama ini kamu kerja dengan jalan kaki begini? Pantas kamu berangkat pagi-pagi sekali?” ucap Alvaro dengan mengemudikan mobilnya.
“Enggak sih, aku baru beberapa hari ini pakai bis, biasaya pakai Ojol, tapi ini lagi pengin naik bis saja,” ucap Amara.
“Loh ini mau ke mana, Mas? Harusnya lurus, kok malah belok lagi?” tanya Amara bingung, saat Varo malah putar balik.
“Aku kelupaan sesuatu, ikut aku, ya?” ucap Alvaro. Amara hanya bisa mengangguk menuruti apa yang suaminya katakan. Entah apa yag kelupaan, Amara tidak tahu.
Mobil Alvaro berhentin di depan showroom mobil, Amara tahu, paling suaminya mau beli mobil, atau ganti mobil Amara hanya menuruti Alvaro yang menyuruh dirinya turun dari mobil. Mereka berjalan berkeliling sambil melihat-lihat beberapa mobil.
“Menurut kamu ini bagus gak, Ra?” tanya Alvaro.
“Bagus, mas mau beli mobil lagi? Atau mau ganti mobil?”
“Ini buat kamu, bagaimana? Mau yang ini atau pilih lainnya?”
Mata Amara membeliak karena terkejut dengan ucapan suaminya itu. Dia menggelengkan kepalanya, bisa-bisanya beli mobil kayak beli cabe di pasar, langsung dibeli gitu saja.
“Gak, aku gak mau! Untuk apa mas belikan aku mobil? Aku gak bisa nyetir kok?” tolak Amara.
“Gak masalah, aku bisa carikan sopir, atau aku carikan kursus setir yang bagus supaya kamu bisa setir mobil. Jadi, pilihlah salah satu yang kamu mau, ini atau yang lainnya. Aku tidak mau kamu ke kantor naik ojol atau bis lagi!” ucap Alvaro tidak peduli dengan penolakan Amara.
“Aku gak mau, Mas! Nanti apa kata orang, aku ke kantor naik mobil? Aku ini kerja dengan posisi begitu, masa pakai mobil?” ucap Amara tegas.
“Okay, kalau kamu gak mau, ya sudah yuk ke Dealer Sepeda motor saja. Kita beli sepeda motor buat kamu kerja, bagaiama?” saran Alvaro.
“Mas, aku gak mau. Aku lebih nyaman pakai bis atau ojol! Lagian kalau naik bis kan sehat juga, aku jalan kaki dulu sampai halte, sekalian olahraga, bukan?” alasan Amara, untuk menolak tawaran suaminya.
“Sepeda Motor atau Mobil?” tanya Alvaro.
“Gak semua!”
“Ya sudah kita ke dealer sepeda motor saja! Aku tidak menerima penolakan dalam bentuk apa pun!” tegas Alvaro.
Amara mencebikkan bibirnya, begitulah suaminya, kalau sudah ada kemauan harus dituruti, harus direalisasikan hari itu juga. Alvaro pamit dengan karyawan showroom karena tidak jadi beli mobil. Dan, Amara, dia hanya pasrah menuruti apa yang suaminya mau. Akhirnya dia memilih sepeda motor, untuk dirinya pergi ke kantor, daripada harus memakai mobil saat ke kantor. Pasti nantinya jadi bahan omongan juga gunjingan orang sekantor.
Sesampainya di rumah, mereka langsung memasuki rumah mereka. Belum sampai di dalam, mereka menghentikan langkahnya, karena mendengar suara ramai di dalam ruang tamu.
“Kamu baru pulang, Al?” ucap seorang perempuan dengan manja, yang membuat Amara muak mendengar gaya bicara yang sok manja itu.
Di dalam rumah mereka sudah ada Vira, Cindi, dan Alea. Amara menatap mereka dengan tatapan sinis, tidak peduli mereka siapa, karena dia merasa ini adalah rumahnya. Rumah suaminya, berarti rumahnya juga, itu yang ada di pikiran Amara.
“Om ....” Alea berlari menghampiri Alvaro dan langsung berhambur memeluknya, meminta Alvaro menggendongnya. Alvaro yang tidak tega akan permintaan anak kecil itu, akhirnya dia menggendongnya.
“Om ke mana saja sih? Aku kangen, kenapa gak pernah ke rumah Alea lagi?” ucapnya sambil memeluk Alvaro di gendongan Alvaro.
“Om lagi sibuk, Alera,” ucap Alvaro lembut.
Amara yang melihat itu merasa tidak nyaman. Ia berpikir akan ucapan Vira tadi siang, apa benar Alea itu anak dari Alvaro? Jika memang benar, apa yang harus Amara lakukan?
“Aku mau ke kamar langsung, Mas!” ucap Amara, lalu ia langsung pergi meninggalkan mereka, tanpa menghiraukan mereka. Alvaro hanya diam menatap kepergian istrinya ke kamar.
“Al, sini duduk, ada yang mau aku sampaikan,” ucap Cindi. Alvaro duduk dengan memangku Alea di sebelah Vira.
“Ada apa?” tanya Alvaro.
“Begini, Al. Aku mau ada urusan ke luar negeri beberapa hari ke depan, tapi aku bingung,” ucap Cindi.
“Bingung kenapa?”
“Alea tidak ada yang menjaganya,” ucap Cindi.
“Kamu cari saja baby sitter untuk menjaga Alea sementara kan bisa, Cin?” ucap Alvaro.
“Aku gak tega, karena belum begitu kenal dengan orangnya, jika aku cari dadakan,” ucap Cindi.
“Bantulah Cindi, Varo. Biar Alea sama kamu di sini, Alea kan dekat dengan kamu, jadi Cindi tidak khawatir karena Alea kamu yang jaga,” ucap Vira. Cindi senyum tipis penuh kemenangan.
“Aku tidak bisa!” tegas Alvaro.
“Aku mohon sekali ini, Al. Aku tidak tenang kalau harus menitipkan pada orang yang belum aku kenal” ucap Cindi dengan penuh permohonan.
Alvaro ragu, pasalnya dia sedang memperbaiki hubungannya dengan Amara. Jika begini pasti Amara akan kembali marah padanya.
“Aku tidak bisa!” tegas Alvaro lagi.
“Akkkkhh ... aku mau sama om! Aku gak mau sama yang lain!” teriak Alea dengan memberontak di pangkuan Alvaro.
“Sayang ... om ini sibuk, om kerja, tante Amara kerja, kamu mau di sini sama pembantu saja? Kalau mau tidak masalah,” bujuk Alvaro.
“Aku maunya sama om saja!” teriak Alea dengan menangis.
“Aku akan coba bicarakan ini dengan Amara, bagaimana pun dia adalah istri aku, ratu di rumah ini, kalau dia tidak nyaman, aku tidak bisa memaksakannya!”
lanjutttt terus donggg 💪🤗🤗🤗
Jangan sampai malah melakukan kesalahan kamu Varo.... itu final Amara buat gak akan maafin kamu yaa 🤨😡