800 setelah perang nuklir dahsyat yang melibatkan Amerika Serikat, Rusia, dan Tiongkok, dunia telah berubah menjadi bayangan suram dari masa lalunya. Peradaban runtuh, teknologi menjadi mitos yang terlupakan, dan umat manusia kembali ke era primitif di mana kekerasan dan kelangkaan menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari.
Di tengah reruntuhan ini, legenda tentang The Mockingbird menyebar seperti bisikan di antara para penyintas. Simbol harapan ini diyakini menyimpan rahasia untuk membangun kembali dunia, namun tak seorang pun tahu apakah legenda itu nyata. Athena, seorang wanita muda yang keras hati dan yatim piatu, menemukan dirinya berada di tengah takdir besar ini. Membawa warisan rahasia dari dunia lama yang tersimpan dalam dirinya, Athena memulai perjalanan berbahaya untuk mengungkap kebenaran di balik simbol legendaris itu.
Dalam perjalanan ini, Athena bergabung dengan kelompok pejuang yang memiliki latar belakang & keyakinan berbeda, menghadapi ancaman mematikan dari sisa-s
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Doni arda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 13: Air Mata di Bawah Langit Kelam
Malam telah larut ketika Athena dan para penyintas akhirnya berhenti di sebuah gua yang tersembunyi di pinggir hutan. Hujan deras turun, mengguyur tanah dengan derasnya, seperti ingin menyapu bersih jejak perjuangan mereka. Gua itu dingin dan lembap, tetapi bagi mereka, itu adalah satu-satunya tempat yang aman setelah kekalahan yang memilukan.
Athena duduk di sudut, punggungnya bersandar pada dinding batu yang dingin. Luka-lukanya belum diobati, tetapi rasa sakit fisik itu tidak sebanding dengan luka di hatinya. Ia menatap sekeliling gua. Hanya sedikit yang tersisa dari kelompok mereka—tidak lebih dari sepuluh orang, semua dalam keadaan terluka dan putus asa.
Karos sudah tiada. Banyak teman-temannya gugur di lapangan eksekusi, dan mereka yang selamat tidak lagi memiliki harapan yang sama seperti sebelumnya. Athena menggenggam liontin kecil yang pernah diberikan Karos padanya, satu-satunya kenangan yang tersisa dari pemimpin pemberontakan yang selalu mendukungnya.
"Semua ini salahku," pikir Athena dalam hati. "Mereka mati karena aku."
Di sudut lain gua, Sila duduk dengan kepala tertunduk. Bahunya bergetar pelan, dan suara tangisannya terdengar samar. Athena ingin mendekat, tetapi ia merasa tidak layak untuk menghibur siapa pun. Ia merasa dirinya adalah alasan mengapa semua orang ini menderita.
Namun, suara tangisan itu akhirnya membuat Athena bergerak. Ia duduk di samping Sila, menatap wajah gadis itu yang penuh dengan air mata.
"Mereka semua mati, Athena," kata Sila dengan suara serak. "Karos... mereka yang lain... kita kehilangan segalanya. Apa gunanya kita bertahan?"
Athena menggigit bibirnya, mencoba menahan air matanya sendiri. Ia tahu bahwa Sila benar. Mereka telah kehilangan hampir segalanya.
"Kita bertahan karena itu yang mereka inginkan," jawab Athena dengan suara pelan. "Karos percaya pada kita. Dia percaya bahwa kita bisa melanjutkan perjuangan ini."
Namun, kata-katanya terasa hampa bahkan di telinganya sendiri. Bagaimana mungkin mereka melanjutkan perjuangan ketika dunia begitu kejam dan tak memberi mereka kesempatan?
Di tengah keheningan malam, seorang pria tua bernama Dren, salah satu penyintas yang masih hidup, mulai berbicara. Suaranya lemah, tetapi penuh kepedihan.
"Ketika perang besar pertama meletus," katanya, "aku kehilangan keluargaku. Aku menyaksikan rumahku dihancurkan oleh pasukan Atlantis. Dan aku bergabung dengan pemberontakan bukan untuk membalas dendam, tetapi untuk mencari harapan."
Ia berhenti sejenak, menatap Athena dengan mata yang penuh air mata.
"Aku percaya pada Karos. Aku percaya pada dirimu, Athena. Tetapi sekarang... aku tidak tahu lagi apakah harapan itu masih ada."
Kata-kata itu seperti pedang yang menusuk hati Athena. Ia ingin mengatakan sesuatu, tetapi tidak ada kata-kata yang bisa ia ucapkan untuk menghapus kesedihan yang dirasakan semua orang.
Malam itu, gua dipenuhi dengan suara isak tangis dan keheningan yang berat. Setiap orang merasakan kehilangan yang sama, tetapi dengan cara yang berbeda.
Athena akhirnya pergi ke bagian belakang gua, mencari sedikit privasi. Di sana, ia membiarkan air matanya mengalir. Ia memikirkan semua orang yang telah pergi—Karos, teman-temannya, dan bahkan warga sipil yang tidak bersalah yang menjadi korban perang ini.
Ia merasa hatinya hancur berkeping-keping.
"Apa aku pantas memimpin mereka?" bisiknya pada dirinya sendiri. "Apa aku pantas untuk terus hidup ketika begitu banyak orang mati karena keputusanku?"
Namun, ia tahu bahwa tidak ada jawaban untuk pertanyaannya. Dunia ini tidak memberi ruang untuk keadilan atau jawaban yang mudah.
Pagi berikutnya, ketika hujan akhirnya reda, Athena berdiri di luar gua. Langit tetap kelabu, dan udara dingin menusuk kulit. Ia memandang ke arah hutan yang gelap, bayangan dari pertempuran dan kehilangan masih menghantuinya.
Ia teringat momen-momen bersama Karos—senyum hangatnya, keberaniannya, dan kata-kata penyemangatnya. Ia teringat bagaimana Karos selalu percaya bahwa mereka bisa mengubah dunia ini, meskipun hanya sedikit.
Namun, kini ia merasa sendirian.
Sila berjalan mendekat, matanya masih merah karena menangis. "Apa yang akan kita lakukan sekarang, Athena?" tanyanya dengan suara pelan.
Athena menghela napas panjang. Ia tahu bahwa semua orang kini bergantung padanya, meskipun ia merasa dirinya tidak layak.
"Kita harus terus bergerak," jawab Athena akhirnya, meskipun hatinya terasa berat. "Kita tidak bisa berhenti di sini. Jika kita menyerah sekarang, semua yang telah mereka korbankan akan sia-sia."
Kelompok kecil itu akhirnya meninggalkan gua dengan langkah yang lambat dan berat. Mereka berjalan melewati hutan, menghindari patroli musuh, dan mencoba mencari tempat perlindungan yang baru.
Namun, setiap langkah terasa seperti pengingat akan semua yang telah hilang. Hutan itu seolah-olah penuh dengan bayangan orang-orang yang telah pergi—Karos, para pemberontak lainnya, bahkan anak-anak kecil yang tak bersalah.
Athena memimpin di depan, tetapi hatinya terasa kosong. Ia tahu bahwa perjuangan mereka belum selesai, tetapi ia juga tahu bahwa mereka mungkin tidak akan pernah bisa memenangkan perang ini.
Di dalam dirinya, Athena merasa bahwa ia sedang berjalan menuju akhir yang tidak bisa dihindari. Namun, ia berjanji pada dirinya sendiri bahwa ia tidak akan membiarkan pengorbanan mereka sia-sia.
itu beristirahat di bawah langit yang dipenuhi bintang. Athena duduk sendirian, menatap langit dengan mata yang penuh air mata.
"Dunia ini begitu kejam," pikirnya. "Tetapi jika aku menyerah sekarang, aku akan mengkhianati mereka yang percaya padaku."
Malam itu, di tengah kesedihan yang mendalam, Athena membuat janji pada dirinya sendiri. Ia akan terus bertahan, tidak peduli seberapa berat perjalanan ini. Karena meskipun harapan terasa begitu jauh, ia tahu bahwa ia harus menemukannya kembali.