"Pokoknya bulan depan harus cerai!”
Ben Derrick menghela nafas berat mendengar permintaan istrinya yang selalu labil dalam membuat keputusan, permintaan yang ujungnya selalu dibatalkan oleh wanita itu sendiri.
"Saya tidak pernah memaksa kamu dari dulu, asal jangan buat saya kena marah kakakmu itu"
"Ya ya ya... Ingetin aja, aku suka lupa soalnya"
Tapi meski kekeuh ingin berpisah, Keymira tak pernah bisa menolak sentuhan suaminya.
"Malem ini aku ada gaya baru, mas mau aku pakai baju dinas apa?" tanya Key usai membahas perceraian beberapa detik yang lalu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon iraurah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bahagia Tanpa Mu
Keymira merengut saat Ben Derrick benar-benar memberikan nya es krim rasa coklat dari dalam kulkas, sambil menjilati makanan dingin itu Keymira terus bersungut-sungut tanpa henti apalagi melihat Ben Derrick yang sangat menikmati es krim corong miliknya.
Ben sekuat tenaga menahan tawa melihat tingkah sang istri yang juga menahan kesal padanya, ekspektasi Key yang sudah melambung tinggi malah dijatuhkan olehnya, apalagi Ben menawarkannya saat mereka sedang bercumbu mesra.
"Kamu kenapa? Apa es krim nya gak enak?"
"Enak" jawab Key ketus, tak ada sedikitpun keramahan dari nada bicaranya.
"Lantas kenapa kamu enggak senang?" tanya Ben memasang wajah sok polos.
"Kurang asem!" kata Keymira asal.
"Kamu suka es krim yang asam? Kenapa enggak bilang? Aku juga baru tau kamu enggak terlalu suka es krim yang manis"
Keymira memandang Ben dengan wajah datar tanpa ekspresi, tetapi dalam hatinya dia meledak-ledak seperti ingin mengeluarkan sesuatu yang akan menghancurkan seisi bumi.
"Perlu aku belikan?" lanjut Ben.
"Ya! Beliin aku es krim yang asemmmmmmm banget"
"Kamu beneran mau makan itu?"
"Kenapa aku? Ya mas Ben lah yang makan"
"Tapi aku gak suka es krim yang asam"
Keymira gemas sendiri mendengarnya, ingin rasanya ia mencabik-cabik muka sang suami, untung saja Ben Derrick memiliki wajah yang tampan sehingga Keymira sedikit menyayangkan nya.
Key nampak menghela nafas dalam-dalam, menghirup oksigen untuk memperbaiki sistem otaknya, jangan sampai dia jadi gila hanya karena sikap suaminya ini.
Keymira pun kembali menghabiskan cemilan tersebut, dia memang suka makanan satu ini, es krim nya pun enak, tapi bukan es krim ini yang dia mauuuu!!!
Malam sudah menunjukkan pukul sepuluh, keduanya baru masuk ke kamar usai menghabiskan satu batang es krim dingin, meskipun sebelumnya Keymira sudah membayangkan jika mereka akan berolahraga malam sampai dini hari.
Meskipun begitu Keymira tertidur lebih dulu dibandingkan Ben Derrick, pria itu masih berkutat di depan laptop untuk mengecek email yang masuk.
Lima belas menit kemudian Ben menutup laptopnya untuk bergabung dengan sang istri yang sudah lebih dulu masuk ke alam mimpi.
Namun, belum juga Ben bangkit dari sofa ponsel miliknya bergetar, ada panggilan dari nomor yang tak bernama, Ben memandang nomor tersebut cukup lama, menimang-nimang apakah dia harus mengangkat nya.
Sambungan pertama dibiarkan mati dengan sendirinya, tapi selang lima detik nomor itu kembali menghubungi Ben Derrick.
Karena tak mau tidur istrinya terganggu, Ben keluar menuju balkon dan mengangkat panggilan tersebut.
"Hallo?"
"Ben, it's me!"
Deg!
Ben tertegun mendengar suara itu, suara yang tak asing ditelinganya, dari nada dan deru nafasnya saja Ben tau siapa pemilik dari nomor ini.
"Ben, you're still there?"
"Xaviera?"
"Yeah, it's me! How are you? I miss you so much, Ben"
Ben tercenung cukup lama, sejenak pikirannya hilang dan Ben tak mampu mengkondisikan dirinya untuk kembali normal. Sesuatu yang mengejutkan dan tidak pernah dia bayangkan terjadi secara tiba-tiba.
"Ben, why are you silent? can my voice be heard?"
Ben menggeleng kepala saat suara disebrang sana membuyarkan lamunan nya, Ben pun bersikap biasa dengan menjawab seadanya.
"Yes, I'm good. where did you get my number?"
"Ben, you didn't even ask how I was. I'm so sad" lirih wanita tersebut dengan nada sendu yang menyiratkan kekecewaan.
"Ini sudah malam, ada hal penting apa yang ingin kamu katakan?" sahut Ben mengubah topik menjadi lebih to the point.
"I'm back, Ben. Aku pulang buat kamu"
"Saya tidak butuh itu" Ucap Ben dengan tegas.
Sesaat tak ada sahutan dari si penelpon, keduanya sama-sama membisu dan bergulat dengan pikiran masing-masing, menyembunyikan perasaan yang berkecamuk selama bertahun-tahun.
"Ben, aku denger kamu udah menikah sama gadis pribumi. Who is that woman?"
"Kamu gak perlu tau siapa dia, saya juga tidak ada kewajiban untuk memberitahu kamu"
"Aku cuma pingin tau, kenapa kamu ketus sekali?"
"Stop, Xaviera. Tidak seharusnya kamu seperti ini pada saya, saya sudah jadi suami dari perempuan lain, dan saya tak ingin istri saya salah paham jika kamu menghubungi suaminya malam-malam" jawab Ben dingin, tak memberikan keramahan seperti yang dilakukannya dahulu.
"Do you love her?"
"Kamu sungguh tanya itu? Apa pernikahan saya tidak cukup jelas bagi kamu"
"Ya! Jujur aja, aku ragu alasan kamu menikah. Aku cuma pergi satu tahun before you married, kamu gak mungkin bisa lupain aku secepat itu Ben"
Ben tertawa meledek mendengar penuturan wanita di masa lalunya, mungkin dia terkesan kejam, tapi Ben tak ingin memberi harapan pada perempuan tersebut, meskipun yang dikatakan oleh Xaviera barusan tidak sepenuhnya salah.
"Justru karena saya menikah seharusnya kamu sudah tau jawabannya"
"Ben, you hurt me!!"
"Apa kamu tidak berkaca?"
Seketika perempuan itu bungkam, dia teringat momen disaat dirinya pergi tanpa sepengetahuan Ben Derrick, pria itu bahkan menyusul nya ke luar negeri, tapi Xaviera mematahkan harapan lelaki itu, alasan nya karena ia tidak suka dengan aturan keluarga Januartha, dia tak bisa terikat dalam aturan, dari dulu dia lahir dan tumbuh di lingkungan yang serba bebas, Xaviera bisa membayangkan seperti apa neraka yang akan dia jalani jika dia menjadi bagian dari Januartha.
Tapi lebih dari itu, rupanya keinginan tersebut hanya menjadi umpan balik yang merugikan. Xaviera sadar bahwa tidak seharusnya dia berani bermain-main dengan bagian dari Januartha, padahal dulu Ben Derrick sudah ada dalam genggamannya.
"I'm so sorry, ben. Aku sadar sekarang kalau semua rasa cintaku gak bisa dibandingkan hanya karena keinginan semata, pemikiran ku terlalu pendek saat itu"
"Bagus kalau kamu sudah paham"
"Ayo kita ketemu minggu Ini, ada banyak hal yang mau aku omongin dengan kamu"
"Saya bukan pengangguran yang bisa diajak ketemuan untuk membahas hal yang tidak penting, kecuali jika dia proritas saya" timpal Ben tajam, merendahkan seseorang yang masih merasa jika dirinya berada di atas.
"Dulu kamu memprioritaskan aku"
"Dulu, Xaviera. Ingat itu DULU!" ujar Ben menekankan kata di ujung kalimatnya.
Langsung terdengar isakan kecil dari balik telpon, Ben tau jika Xaviera tengah menangis karena merasa sakit hari oleh kata-kata nya. Jika dulu tangisan itu menjadi kelemahan Ben Derrick, kini justru merasa menjengkelkan ketika mendengarnya.
Entah tangisan itu hanya sebuah drama untuk menarik perhatian Ben Derrick atau Xaviera sungguh-sungguh merasa sedih dibuatnya.
"Aku bakal tetap mempertahan kamu, Ben". Aku gak akan melepaskan kamu kali ini"
"Tapi kenyataannya kamu sudah tidak memiliki saya lagi"
"Whatever you want to say, I stand my ground. Karena itulah aku kembali"
"Kali ini kamu datang untuk menjadi batu di sungai yang tenang, jangan merusak hidupku Xaviera. Aku sudah bahagia tanpa kamu"
Salahmu sendiri 'melepas' Ben saat itu. Jangan nyesal dong, too late
Ben sudah punya istri ingat itu