"Rumah Tanpa Atap" mengisahkan tentang kehidupan seorang remaja bernama Zilfi, yang tumbuh dalam keluarga yang terlihat sempurna dari luar, namun di dalamnya penuh ketidakharmonisan dan konflik yang membuatnya merasa seperti tidak memiliki tempat untuk berlindung. Setelah perceraian orang tuanya, Zilfi harus tinggal bersama ibunya, yang terjebak dalam rasa sakit emosional dan kesulitan finansial. Ayahnya yang Berselingkuh Dengan Tante nya hanya memperburuk luka batin Zilfi, membuatnya merasa tak pernah benar-benar memiliki "rumah" dalam arti sebenarnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yiva Adilla, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
KETIKA CEMBURU BERBICARA
Sore itu, langit tampak mendung, seolah mencerminkan suasana hati yang berat di dalam mobil yang sedang melaju pelan di jalanan pinggir kota. Hujan belum turun, namun udara sudah dipenuhi rasa cemas yang tak terlihat. Di dalam mobil, Pak Falah , yang memegang setir dengan sedikit terlalu erat, dan Zilfi sibuk menatap ke luar jendela, tenggelam dalam pikiran sendiri.
Keheningan di antara mereka terasa begitu tebal. Zilfi sudah terbiasa dengan perjalanan-perjalanan seperti ini, di mana kata-kata menjadi sesuatu yang langka. Namun, kali ini, dia bisa merasakan ada sesuatu yang berbeda. Ayahnya berkali-kali tampak gelisah, seperti ingin mengatakan sesuatu, tapi menahannya.
“Ada yang ingin Ayah bicarakan,” akhirnya suara Pak Falah memecah keheningan. Suaranya terdengar berat, nyaris gemetar, namun ia berusaha terdengar tegar.
Zilfi menoleh sedikit, meski ekspresinya tetap datar. "Apa?"
Pak Falah menghela napas panjang, seperti sedang mencoba menemukan cara terbaik untuk mengungkapkan sesuatu yang ia tahu tidak akan mudah diterima. Mata tetap fokus ke jalan di depannya, tapi pikiran sibuk mencari kata-kata.
"Ayah ingin kamu tahu bahwa… Sinta....." dia berhenti sejenak, menyebut nama istri barunya yang sudah tidak asing bagi Zilfi. "—dia sedang hamil."
Keheningan kembali memenuhi ruang di antara mereka, tapi kali ini bukan karena tak ada yang ingin dikatakan. Bagi Zilfi, waktu terasa berhenti. Kata-kata "sedang hamil" bergema di akustik, asuransi jiwa seperti sebuah beban yang tiba-tiba jatuh dari langit.
“Apa?” Zilfi berkata pelan, hampir tak terdengar. Dia menatap lurus ke depan, tapi pikirannya berlari pembohong. "Tante Sinta… hamil?"
Pak Falah mengangguk kecil, meski tahu Zilfi mungkin tidak menyadarinya. "Ya, kamu akan punya adik."
Seketika itu juga, amarah Zilfi mendidih di dalam hatinya, memenuhi setiap ruang dalam tubuhnya dengan rasa yang tak bisa ia jelaskan. Dia tak percaya. Ini bukan sekadar kabar biasa. Ini adalah pengkhianatan. Ibu tirinya yang baru, wanita yang belum sepenuhnya ia terima dalam hidupnya, kini akan memberi ayahnya seorang anak,adik tirinya. Sesuatu yang menurut Zilfi, akan mengubah segalanya, termasuk keberadaannya dalam hidup ayahnya.
"Kenapa ayah gak bilang dari dulu? Kenapa baru sekarang?" suara Zilfi mulai terdengar tajam, meski ia berusaha menahannya.
“ayah ingin menunggu waktu yang tepat. Kami ingin memastikan semuanya baik-baik saja dulu,” jawab Pak Falah dengan nada lembut, mencoba tenang, meski ia tahu tidak ada cara mudah untuk memberitahu kabar seperti ini.
“Apa yang tepat?” Zilfi mencemooh. “Memangnya kapan waktu yang tepat buat ngasih tahu kalau aku akan dilupakan? Kalau Ayah akan lebih sayang sama bayi itu?”
Pak Falah terkejut mendengar ucapan putrinya, meskipun dia sudah sedikit membayangkan reaksi semacam ini. "Zilfi, tidak akan ada yang berubah. Kamu tetap anak ayah. Kami hanya ingin kamu menerima kehadiran adikmu dengan hati terbuka."
Hati terbuka? Zilfi merasa ingin tertawa, tapi bukan tawa kebahagiaan. Ia merasa terluka, tersingkir. Kehadiran bayi itu padanya adalah ancaman, ancaman pada hubungan yang ia miliki dengan ayahnya,dia sejak kecil tinggal bersama ibunya,baru kali ini dia merasakan kasih sayang dari seorang ayah,belum juga Zilfi merasakan nya,Zilfi harus berbagi kasih sayang ayah nya dengan ibu tirinya dan sekarang dengan adik tirinya.
Zilfi tak sanggup menahan amarahnya lagi. “Aku tidak mau punya adik dari dia! Aku tidak peduli sama bayi itu! Aku harap dia tidak pernah lahir!” Suaranya memekik, penuh dengan rasa sakit dan kebencian yang selama ini ia pendam pada ibu tirinya.
Pak Falah teringat, terkejut dengan ledakan emosi itu. Kata-kata Zilfi terdengar begitu dingin dan kejam, lebih dari apa yang ia perkirakan.
“Zilfi, jangan bicara seperti itu…” Pak Falah mencoba menenangkan putrinya, meskipun ia bisa merasakan luka yang di balik setiap kata-kata gadis itu.
Zilfi didandani wajahnya, menatap ke luar jendela dengan mata yang mulai berkaca-kaca. Rasa marah dan benci bercampur dengan kesedihan yang tak mampu ia kendalikan. Semua terasa tidak adil baginya. Ia menutup matanya, berharap semua ini hanyalah mimpi buruk. Di dalam hatinya, muncul pikiran-pikiran kelam, sebuah doa yang ia tahu salah, tapi ia tak peduli.
"Aku harap dia keguguran," Zilfi berbisik dalam hati. Ia merasa malu, tapi amarahnya terlalu besar untuk dipadamkan. Ia menginginkan dunia kembali seperti dulu hanya dirinya dan ayahnya, tanpa ada orang lain yang mengambil tempatnya.
Di dalam mobil itu, suasana menjadi lebih dingin dari sebelumnya. Pak Falah bisa merasakan jarak yang semakin besar antara dirinya dan putrinya. Ia tahu, kata-kata Zilfi tadi bukan sekadar luapan emosi biasa. Itu adalah cerminan dari ketakutan yang selama ini tak pernah mereka bicarakan.
Mobil terus melaju, namun bagi Zilfi, dunia di sekitarnya sudah tidak lagi sama. Hatinya penuh dengan kepedihan, kemarahan, dan doa-doa kelam yang ia tahu tak seharusnya ada, tapi terasa begitu nyata di dalam dirinya.