Santi sigadis kecil yang tidak menyangka akan menjadi PSK di masa remajanya. Menjadi seorang wanita yang dipandang hina. Semua itu ia lakukan demi ego dan keluarganya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lianali, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 3
“Pengumuman, bagi nama-nama yang dipanggil harap segera untuk melapor ke ruang komite. Satu Dewi, dua Nuni, tiga Deri, empat Santi, lima ….”
Santi menghela nafas panjang, ketika mendengar namanya dipanggil dari ruang guru. Di kelasnya yang belum melunasi uang komite untuk semester lalu dan semester sekarang ini hanyalah dirinya seorang. Sedangkan teman-teman sekelasnya yang lainnya sudah melunasi seluruh tunggakan mereka, sebab ini sudah menjelang ujian semester kenaikan kelas.
Semua mata teman sekelasnya kini tertuju kepada Santi, yang tengah berjalan ke depan kelas hendak permisi kepada Bu siwi guru matematika untuk meninggalkan kelas.
“Bu, per-misi Bu,” ucap Santi takut takut.
Bagaimana tidak Bu siwi terkenal dengan kedisiplinannya ia tidak suka jika ada orang yang mengganggunya saat tengah menjelaskan materi.
“Ada apa?” tanya ibu Siwi dingin.
Ia menghentikan sejenak aktivitasnya yang sedang menggambar titik koordinat di whiteboard.
“Saya mau permisi keluar Bu, mau ke ruang komite,” ujar Santi, jarinya saling bertautan.
“Ya sudah sana, kalau urusanmu sudah kelar cepat kembali ke kelas!” Bu Siwi memandang Santi dengan tatapan menghina.
“Baik Bu, terima kasih Bu, permisi Bu,” ucap Santi sedikit lega, sebab meminta izin keluar kelas saat pelajaran berlangsung tidaklah mudah.
Saat Santi keluar meninggalkan kelas, Bu siwi berceloteh “semua sudah digratiskan pemerintah, masak hanya membayar buku LKS dan uang komite saja tidak mampu.”
Ucapan Bu Siwi itu masih sempat didengar oleh telinga Santi. Ia sangat malu sekali, plus juga merasa sakit hati, tetapi ia tidak bisa berbuat banyak Bu Siwi adalah gurunya yang harus ia hormati.
Ia berjalan dengan rasa percaya diri yang sudah hilang. Kemiskinan orang tuanya membuat Santi tumbuh menjadi anak yang minder, dan tidak memiliki banyak teman.
Ia benar-benar tidak tahu lagi mau meletakkan wajahnya di mana, apalagi di kelasnya ia punya gebetan/crush. Randi namanya. Ia telah suka kepada Randi secara diam-diam sejak satu tahun yang lalu.
'Akh, Randi pasti sangat ilfil kepadaku.' Batin Santi.
*****
“Santi kapan rencananya kamu mau melunasi tunggakan komite semester mu? Kamu tahu diantara semua siswa yang menunggak di sekolah ini, hanya tunggakan mu lah yang paling besar. Teman-temanmu yang lainnya, yang tadi dipanggil itu tunggakannya hanya sebulan, dua bulan, atau tunggakan buku LKS yang hanya dua atau tiga buku, dan tadi mereka sudah melunasi semuanya tunggakan mereka.”
Santi memejamkan mata dengan wajah menunduk di hadapan Bendahara sekolah itu. Ia diam seribu bahasa. Tidak tahu hendak berkelit bagaimana lagi. Rasanya menjanjikan kata “besok” pun ia tidak berani lagi. Sebab sudah sering kali setiap kali dirinya di tagih, ia selalu berkata besok akan dilunasi oleh orang tuanya, nyatanya itu hanyalah alasan yang ia buat-buat sendiri, agar terlepas dari omelan guru yang juga merupakan bendahara sekolah ini.
“Kamu tahu, kamu sudah menunggak uang komite 10 bulan lamanya. Belum lagi tunggakan buku LKS mu, tadi toko bukunya langsung memberikan kwitansinya kepada ibu, meminta tolong agar ibu menagih kepada anak-anak yang belum bayar LKS. Dan kamu tahu, LKS yang belum kamu bayar itu sebanyak 20 buku LKS, belum lagi uang baju olahraga dan uang baju batik mu, kamu sudah hendak naik ke kelas dua. Itu artinya kamu berada di sekolah ini sudah satu tahun lamanya, tapi bajumu pun tidak kamu lunasi. Jika kamu tidak bisa melunasi uang komite mu, uang baju, dan uang lks mu, maka sesuai dengan kesepakatan dan peraturan di sekolah ini maka kamu tidak bisa mengikuti ujian untuk kenaikan kelas ini,” guru yang merupakan bendahara sekolah memberi peringatan kepada Santi.
Bukan, itu tidak lagi peringatan tapi sebuah pemberitahuan agar Santi tidak terkejut bilamana Santi nanti tidak diizinkan ikut ujian kenaikan kelas seperti teman temannya.
Santi hanya diam dan menunduk. Sebab ia tahu memohon pun percuma, yang dibutuhkan sekolah saat ini adalah ia memiliki uang dan melunasi seluruh tunggakannya.
“Ini surat peringatannya, berikan kepada orang tuamu, ibu kasih kamu waktu satu Minggu untuk melunasi tunggakan tunggakanmu, baik uang komite, uang baju, maupun uang buku LKS,“ ujar Bendahara sekolah.
Santi menerima surat itu dengan tangan bergetar. Dadanya terasa sempit sekali. Ia malu, bercampur takut. Otaknya berkecamuk. Ia tahu, memberi surat itu kepada orang tuanya hanya akan mengundang keributan di rumahnya, dan tidak menemukan solusi selain makian dan amarah dari orang tuanya.
“Sekarang kembalilah ke kelasmu, jangan lupa beri surat itu pada orang tuamu, besok kamu laporan ke sini pertanda kamu sudah memberitahu orang tuamu perihal tunggakanmu”
Santi hanya mengangguk.
“Baik Bu, kalau begitu saya permisi dulu Bu.“
“Ya, silahkan!”
Santi berjalan dengan pikiran dan hati yang kacau. Rasanya ia ingin putus sekolah saja, terlebih ketika ia melihat total uang sekolah dan buku yang harus ia bayarkan adalah senilai dua juta rupiah.
“Ya Tuhan, dari mana Santi bisa dapat uang sebanyak itu, minta ibu pasti nggak ada apalagi ayah, ahh tak ada yang bisa diharapkan dari mereka” batin Santi.
“Heiii kau, tunggu!!!” seorang guru BK memanggil Santi.
Santi tahu yang dipanggil guru BK itu adalah dirinya, sebab di lorong ini hanya ada dirinya seorang yang tengah berjalan di lorong ruangan itu.
Santi menghentikan langkahnya, “ia Bu?” tanya Santi, kedua tangannya saling bertautan.
“Ikut ibu sebentar ke ruangan,” ujar guru BK, yang sering di sebut Bu Hani.
Santi mengekor Bu Hani, menuju ke ruang BK.
“Silahkan duduk," ujar Bu Hani.
Santi pun duduk dengan hati-hati, hatinya mulai tidak enak, sebab ia tahu ruang BK adalah ruang untuk anak yang bermasalah.
“Kamu kelas berapa, siapa namamu?” tanya Bu Hani, khas guru BK.
“Kelas 10 IPA 3 Bu, nama saya Santi”
Bu hani menghela napas, “kamu tahu kan sekolah kita adalah sekolah teladan yang dijadikan percontohan di kota ini?” tanya Bu Hani, kini dengan nada suara sedikit lembut dari sebelumnya.
Santi menganggukkan kepalanya, “Tahu Bu.”
“Sudah berapa lama bajumu ini tidak kamu beri belau?” tanya Bu Hani.
Santi terdiam, ternyata bajunya lah yang membuat dirinya dipanggil guru BK begini.
“Minggu lalu Bu,” ujar Santi.
“Bohong, jangan bohong sama ibu, kalau Minggu lalu baju mu ini kamu belau tidak mungkin warnanya kuning dan kusam begini. Kamu tahu, jika kamu memakai baju seperti ini selain bikin sakit mata dan merusak pemandangan, hal ini juga bisa menurunkan citra dan tingkat kerapian dan kebersihan siswa siswi di sekolah ini di mata orang lain.”
Santi hanya menunduk dan terdiam, sedari tadi ia merasa tekanan demi tekanan datang dari mana mana, yang membuatnya ingin menangis saja, tetapi ia tahan tahan.
“Ya sudah sekarang kembali ke kelasmu, pulang sekolah bajumu ini kamu belau, bila perlu minta orang tuamu belikan seragam yang baru.”
“Baik Bu, permisi Bu” ujar Santi, kemudian meninggalkan ruang BK.
Air matanya tidak dapat ia tahan lagi, sambil berjalan menyusuri lorong air matanya menetes tiada henti. Ia merasa dirinya tidak bisa masuk kelas dengan keadaan menangis seperti ini, sedangkan ingin menghentikan air matanya pun ia tidak bisa.
Akhirnya ia memutuskan untuk pergi ke taman sekolah saja. Di jam kelas seperti ini, taman sekolah adalah tempat yang sepi.
Sesampainya di taman, Santi memilih duduk di kursi taman sambil menangis. Ia tidak bersemangat lagi kembali ke dalam kelas.
Wajah Randi gebetannya mulai membayanginya, memberinya sedikit semangat untuk tetap bertahan.
Tetapi, setampan apapun Randi, tetap saja Santi merasa pusing karena banyaknya tunggakan sekolahnya. Belum lagi bajunya yang dianggap merusak pemandangan. Belum lagi ucapan Bu Siwi guru matematikanya. Ia benar-benar terpukul. Ia merasa orang orang begitu kejam bagi si miskin.
“Lu ngapain di sini, bukannya balik ke kelas, malah nangis di sini” Ratna datang menghampiri Santi seraya membawa beberapa cemilan yang ia taruh di satu kantong kresek.
“Lu sendiri ngapain disini, bukannya belajar di kelas, malah duduk di sini. Ganggu tau” ujar Santi cemberut, seraya menghapus air matanya. Ia malu jika Ratna melihat dirinya tengah menangis, tetapi sayang air matanya terus mengalir tiada henti, malah semakin deras.
“Gua malas di kelas, ngantuk. Nih gua bawain makanan, lu makan nih, jangan nangis aja, nangis nggak bikin lu kenyang.”
Ratna menyodorkan sekantong kresek makanan kepada Santi. Ia ikut duduk di samping Santi. Ratna menyandarkan tubuhnya di sandaran kursi kemudian memejamkan matanya seolah olah tiada beban dalam hidupnya.
“Gue nggak selera na, gue mau nangis aja meski nggak bikin kenyang”
“Hahaha ada ada aja lu San, bisa aja lu ngelawak nya.” Ratna tertawa terpingkal pingkal mendengar ucapan konyol Santi teman satu kelasnya itu.
“Berapa total tunggakan lo?” ujar Ratna, dengan posisi seperti semula, dengan tubuh bersandar di kursi taman dan kedua mata terpejam, menikmati angin Sepoi sepoi di taman.
“Dua juta, kenapa lu mau bantu?”
“ya enggak lah, gue juga nggak ada uang sebanyak itu”
Santi tersenyum miring, “gua juga cuman bercanda kali minta bantuan duit dari lu Na, anak sekolah seperti kita ini dari mana dapat uang kalau bukan dari orang tua kita kan na. Tapi lu beruntung Ratna dititipin di rahim orang tua yang kaya, nggak seperti gua yang harus hidup di tengah tengah keluarga yang morat-marit ekonomi dan minim tanggung jawabnya.”