Tidak semua cinta terasa indah, ada kalanya cinta terasa begitu menyakitkan, apalagi jika kau mencintai sahabatmu sendiri tanpa adanya sebuah kepastian, tentang perasaan sepihak yang dirasakan Melody pada sahabatnya Kaal, akan kah kisah cinta keduanya berlabuh ataukah berakhir rapuh
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Withlove9897_1, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Part 17
...***...
...Ini adalah sebuah kontradiksi...
...Ia terbiasa berenang, namun sekarang ia siap untuk tenggelam ...
...Aku ingin memberimu apapun yang kau mau bahkan aku bisa melakukan apapun yang tak bisa kulakukan...
...***...
Kesadaran Kaal berada dalam batas abu-abu. Teredam dalam siur puluhan percakapan keras, terendam dalam kadar minuman yang semakin naik di dalam darahnya.
Untaian suara tawa tersulam di pendengaran, jenis tawa dari mereka yang kewarasannya telah luntur bersama malam.
Suasana ini seharusnya biasa bagi Kaal, tetapi kali ini ia merasa seperti tidak berada pada tempatnya.
Ada seseorang yang duduk bersamanya.
Seorang gadis cantik yang sudah sedari tadi memperhatikannya dengan dua tangan bersilang di atas meja.
Kaal menyeringai tipis. Gelas di genggamannya kembali kosong namun ia terlalu tidak peduli untuk sekedar berdiri dan mengisinya lagi.
"Melody," Kaal menggumam, seseorang di depannya menegak.
Kepalanya yang berat kini terkulai di punggung tangan. Penglihatan kabur melihat ke lawan bicara yang masih bungkam.
Isi otaknya dalam kesempatan itu kemudian diam-diam menghitung angka—hari berlalu yang telah ia lewati tanpa Melody Senja di sisinya
"Malam itu," memori Kaal mengalamatkan malam mana yang tengah dimaksud dan lisannya tidak bisa menahan diri untuk berucap,
"Kau terlihat indah dan mempesona, aku tak bisa menghilangkan bayanganmu dari pikiranku, kau terlalu indah Melody."
Mulanya, Kaal berpikir Melody terlihat berbeda karena ia lebih sering melihat gadis itu dalam balutan pakaian rumah sederhana. Akan tetapi, akalnya membantah mentah-mentah.
Sesuatu yang menjadi pembeda bukan terletak di pakaian Melody.
Melainkan senyumnya.
Melody menampilkan senyum terbaiknya ketika si gadis yang tidak Kaal kenali menciumnya.
Tergelak kecil Kaal berusaha menegakkan leher untuk mempertemukan mata dengan gadis di hadapannya.
Kendati semua percuma. Karena seseorang yang sedang bersamanya bukan Melody Senja. Seseorang yang sedang melemparkan tatapan iba kepadanya itu hanya gadis asing yang setuju untuk dipanggil dengan nama lain.
"Kau," napas hangat Kaal mengudara.
"Oh Tuhan kau sangat cantik Melody."
Senyum sedihnya mengikuti. Bersama benturan kepala ke tepian meja berkali-kali ketika rindu mulai mencengkeramnya dari balik dada.
Iya, Kaal rindu. Ia sangat merindukan gadis cantiknya itu.
Itu tidak terbantahkan. Rasanya hampir seperti kehabisan candu. Seseorang yang melekat kepadanya selama ini mendadak hilang—bukan secara gradual, melainkan tiba-tiba.
Terdapat waktu dimana ia beradu pandang dengan layar ponselnya, berdebat untuk menekan tombol telepon demi mendengar suara seseorang barang sedetik saja. Tetapi ia tahu diri, ia yang menyetujui ini. Ia yang menginginkan ini terjadi entah seberapa lamanya.
Tujuannya berhasil. Melody Senja kini telah berpindah hati dan ia tidak akan mengacau selama,
"Kau bahagia?"
Tidak ada sahutan.
"Katakan bahwa kau bahagia, Melody."
Melody palsu di depannya tampak ragu untuk membuka mulut dan Kaal menunggu dengan pandangan menuntut.
Mereka bersitatap dalam selang waktu lama sebelum sebuah suara serak—yang jelas bukan milik Melody memberanikan diri membalas
"ya, aku bahagia Kaal"
Apa gunanya kau menyukai seseorang yang bahkan tak bisa kau miliki Melody? Seseorang yang bahkan tak bisa menjadi milikmu?
Pertanyaan itu hadir tanpa aba-aba, begitu pula dengan sungging di kedua sudut bibir Kaal setelahnya. Meletakkan kepala di atas meja, ia mengingat waktu dimana ia tidak bisa memahami arti jawaban Melody atas pertanyaan itu.
Namun sekarang—tepat pada momen ini, Kaal mengerti.
"Kalau begitu aku juga."
Ia akhirnya mengerti.
...****...
Savin punya banyak pertanyaan yang berenang di dalam otaknya saat ini. Namun untuk beberapa alasan ia mencoba memilah mengutarakan yang mana. Sebab kakak yang sedang duduk bersamanya mungkin terlihat tersenyum setiap kali ia menoleh. Kendati demikian, Savin tahu betul itu hanya senyum bersifat semu.
Ia bahkan tidak menangkap sepercik kebahagiaan pun di sana.
Sejujurnya, Savin mulai terbiasa dengan kehadiran Kaal di apartemennya. Lelaki yang lebih tua itu datang berbelas hari lalu dalam keadaan sorot tanpa nyawa sebelum kemudian masuk tanpa sepatah kata.
Tidak ada pembicaraan apapun yang terjadi selain penjelasan singkat bahwa kakaknya butuh tempat sementara untuk tinggal.
Savin menyetujui hal tersebut. Tetapi setelah selang waktu berlalu, ia tidak menyetujui hal-hal lain yang mengikuti kepindahan kakaknya.
Karena ia dapat melihat sang kakak yang terus menerus pulang larut malam—dalam keadaan yang bisa dibilang tidak sepenuhnya bugar dan dalam kesadaran yang telah sepenuhnya pudar.
Savin membenci itu.
Bukan karena ia harus mengurus saudara lelakinya dengan kerja keras lebih, melainkan karena ia tahu persis apa penyebabnya dan ia memiliki andil besar dalam alasan tersebut. Rasa bersalah itu semakin menumpuk kala kemarin malam ia harus membukakan pintu untuk orang asing yang memapah kakaknya di bahu dengan paparan singkat bahwa
"Dia memberikanku alamatmu, jadi aku harap kau mengenalnya?"
Savin hanya dapat mendesah selagi terburu-buru memindahkan tubuh kakaknya dari bahu gadis yang bersusah payah membantu kakanya berdiri di depan pintu.
Ia mengucapkan terimakasih dan banyak permintaan maaf kepada orang tersebut atas masalah yang ditimbulkan saudara lelakinya.
Namun orang asing itu seakan tidak menggubris dan justru menjawab,
"Dia terusa memanggilku dengan nama 'Melody' sepanjang malam. Aku kira, itu adalah permasalahan lebih berat yang harus kau pikirkan."
Savin mengangguk seraya menutup pintu. Bersama itu pula, niat dalam dirinya menjadi berkali lipat lebih tinggi. Ia adalah bagian dari penyebab yang merubah pribadi Kaal, dan sekarang ia ingin menjadi bagian dari penyelesaian agar Kaal kembali seperti sosok yang ia kenal selama ini.
"Kakak?"
"Ya?"
"Sampai kapan kau berada di sini?"
Lagi, senyum palsu Kaal terukir ketika ia menoleh.
Savin tahu itu merupakan pertanda bahwa kakaknya sedang mencoba berkelakar, sebab lelaki itu kemudian menyahut dengan
"Kau sedang mengusirku?"
"Tidak, tentu saha tidak!" Savin memukul kecil lengan Kaal.
"Aku hanya penasaran apa yang terjadi dengan apartemenmu dan kak Melo"
Mendengar nama terakhir yang disebut membuat Kaal mendadak membenahi duduknya.
Savin yang melihat itu lantas meneliti. Ia menangkap ekspresi kalut terlukis jelas dari lelaki yang masih saja mencoba tersenyum.
"Tempat itu terlalu kecil untuk kita berdua Savin." Jawab sang kakak.
"Lagipula dia sudah memiliki kekasih. Jadi, aku pikir dia butuh lebih banyak privasi."
Savin membelalak, ia tahu bahwa kakaknya tengah menutupi alasan kepindahannya.
Tetapi apa yang mengejutkannya adalah fakta bahwa Melody telah memiliki pasangan.
Tidak dibutuhkan waktu lama bagi Savin untuk mengumpulkan keberanian dan bertanya
"Kak, apa kau baik-baik saja dengan itu?"
"Apa maksudmu? Kenapa aku harus tidak baik-baik saja dengan itu??" Kaal tertawa ganjil.
"Dia punya seseorang di sisinya, tidak ada yang salah dengan itu."
"Walaupun kau tahu pria itu tidak akan bisa mencintai Kak Melody sebanyak kau mencintainya?"
"Aku tidak men—"
"Kau mencintainya kak," sela Savin nyaris memekik.
"Aku tahu kak. Bahkan aktor terbaik sekalipun akan kesulitan menyembunyikan perasaan sebesar itu."
"Kemudian apa? Itu tidak lantas menjadikanku lebih baik."
"Apa yang kau katakan? Tentu itu menjadikanmu jauh lebih baik dari siapapun."
"Itu tidak semudah yang kau bayangkan."
"Dan bantu aku untuk mengerti kak! Kau terlalu rumit!"
Savin melihat sang kakak membelalak terkejut ketika seruannya memenuhi ruangan. Sebab ini mungkin pertama kali ia berani meninggikan suara di hadapan Kaal.
Hela napas panjang lalu lepas dari lelaki yang membuang pandangan bersama dengan kepalan tangan frustasi yang dihantamkan ke lutut.
"Savin," ucap Kaal lirih.
"Aku tidak bisa berada dalam fase yang sama lagi."
Ia menggali masa dimana ia menghabiskan paling banyak waktu di depan pintu ruang tidur adiknya. Kaal mengintip dari balik sana, melihat adik perempuan yang paling ia sayangi duduk dengan tatapan kosong seakan telah kehilangan hidup.
Kaal begitu mengingat perasaan terpuruk itu, ia merasa sepenuhnya gagal menjadi seorang kakak. Ia merasa ketidakpekaannya adalah alasan mengapa ia tidak bisa melihat bahwa Savin sedang terperangkap lelaki brengsek yang menghabisi harga diri gadis itu hingga tidak bersisa.
Ketika Kaal mengetahuinya, semua sudah terlambat. Adik perempuannya yang ceria tidak lagi sama.
"Karena bagiku, Melody sama sepertimu. Dia hanya memendam tanpa mengatakan, dia akan memaafkan diam-diam, dia akan menuruti entah apa yang aku katakan meskipun itu tidak masuk akal sekalipun dan aku yakin dia akan menempatkan kepentingan dirinya sendiri jauh di bawahku."
Ia menelan ludah kasar, selagi gadis di sebelahnya tetap terdiam.
"Aku tidak bisa menyaksikan orang yang paling berarti bagiku hancur di depan mataku tanpa aku tahu kapan mulanya, tanpa aku tahu kapan harus membantunya."
Senyum timpang kemudian tergambar di raut sedih yang muram.
"Itu," tambahnya.
"Itu akan mematahkanku lebih dari apapun jika aku adalah penyebabnya."
Lapisan keheningan dengan segera memayungi mereka. Kaal tidak lagi bicara sebab pikirannya sibuk menyingkirkan kenangan-kenangan yang menusuk batin. Sementara, Savin yang sedari tadi geming kini mendesah lemah.
Di balik persona kuat yang sering orang lain tangkap dari kakaknya, Savin lebih tahu bahwa hati lelaki itu mudah koyak karena alasan sederhana.
Ia mungkin masih naif dalam hal romansa. Tetapi ia bisa melihat bagaimana cara Kaal melihat Melody.
Bagaimana sorot mata kakaknya lelakinya mendadak menyala setiap kali Melody tertangkap penglihatan. Dan dari apa yang Kaal ungkapkan, Savin menemukan satu perkara penting yang selalu kakaknya lupakan.
"Tetapi kau tidak sama seperti mantan kekasihku." Savin mendengar Kaal tercekat, seolah kalimat ini bukan merupakan suatu pernyataan yang asing.
"Kau bukan dia, Kak. Aku mohon singkirkan pemikiran itu karena kalian tidak sama."
Savin sepenuhnya memahami bahwa kakaknya memiliki tingkat keposesifan tinggi dan sensitifitas rendah terhadap orang lain.
Namun, itu tidak akan pernah bisa disamakan dengan kekasih terdahulunya.
Karena Kaal peduli.
Karena segala perlakuan buruk Kaal ke Melody selama ini hanya kamuflase pertahanan diri. Kakaknya tidak akan melakukannya dengan sengaja jika lelaki itu mau sedikit menerima bahwa dia—pada kenyataannya, jauh lebih baik dari lelaki manapun.
Bahwa dia tidak akan pernah menjadi sosok yang sama seperti mantan kekasihnya yang terus memuntahkan kata-kata merendahkan kepadanya. Atau meminta ia bersolek serta mengenakan pakaian minim dengan alasan agar lebih nyaman dipandang mata.
Atau berselingkuh di belakang kemudian berbalik menyerang lewat dalih bahwa ia adalah gadis membosankan.
Bahwa
"Kak percaya padaku, kau akan menyesal jika melepaskannya begitu saja."
Savin tahu pernyataan itu keji, tetapi ia tidak bisa memikirkan cara lain lagi untuk meyakinkan bahwa Kaal secara langsung tengah mengeliminasi kebahagiaan lelaki itu sendiri
...TBC...