Chan Khotthot naa ... dilarang boom like.
Kenzie, seorang wanita berusia 27 tahun, sering mendapat olokan perawan tua. 'Jika aku tidak dapat menemukan lelaki kaya, maka aku akan menjadi jomblo hingga mendapatkan kriteriaku' Itulah yang dikatakannya. Namun, ibunya tidak tahan ketika para tetangga menghina anaknya yang tidak laku. Akhirnya memutuskan untuk membuat perjodohan dengan sahabat lamanya! Akankah Kenzie bersedia ataukah menolak perjodohan itu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ShiZi_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Salah menebak (18)
Kenzie dengan sengaja menguping percakapan Ardi lewat telepon. Ia pun tahu siapa yang ingin berkunjung ke rumahnya. Memilih pergi untuk dan menghindar adalah cara terbaiknya.
Setelah telepon ditutup.
"Ke mana Kenzie? Bukankah dia tadi ada di sini," batin Ardi dan ia pun langsung mencarinya ke ruang lain.
Beberapa saat kemudian.
"Ternyata kamu di sini," ujar Ardi.
"Ehm ... minumlah karena minuman ini akan membuat tubuhnya hangat," imbuh Ardi lagi.
"Berapa lama kamu mengenal wanita yang bernama Salma itu?" tanya Kenzie tanpa menoleh ke arah lawan.
"Sudah lama." Jawab Ardi singkat.
"Kenapa kamu tidak menikah dengannya dan memilih menerima perjodohan ini," ujar Kenzie.
"Aku menghormati ibu, aku yakin jika apa yang diberikan padaku. Itu juga demi kebaikanku," jawab Ardi yang mana langsung meletakkan minuman di meja.
"Itu gula aren dan ada campurannya jahe merah, minumlah selagi hangat." Setelah bicara, ia pun pergi dan membiarkan Kenzie sendiri karena wanita itu butuh ketenangan, setelah apa yang terjadi hari ini.
Keesokan paginya.
Ardi yang baru saja bangun. Melihat jika Kenzie ternyata tidur di ruang tengah. Namun, mendengar beberapa kali merintih, Ardi pun lekas menghampiri guna melihat keadaannya dan benar saja saja sesuai dugaannya. "Dia demam," gumam Ardi.
Pukul delapan siang, yang seharusnya Ardi sudah siap untuk berangkat bekerja. Namun, melihat Kenzie demam dan memutuskan tidak bekerja hari ini. Setelah mengompres, dilanjut dengan membuatkan bubur agar segera bisa minum obat.
Setengah jam telah berlalu dan kini kedua tangan Ardi sedang memegang mangkuk dan gelas, lalu membangunkan Kenzie. "Zie bangun, aku sudah membuatkan bubur untukmu." Kata Ardi dengan suara lembut.
Kenzie yang berusaha bangun dan beberapa kali mengerjapkan matanya. Ia merasa jika kepalanya begitu berat hingga kesusahan bangun. Akhirnya dengan telaten Ardi pun membantunya. "Makanlah dan setelah itu minum obatnya," ujar Ardi.
"Kepalaku pusing, bisakah kamu menyuapiku!" pinta Kenzie dan reaksi Ardi pun di luar dugaan.
"Ardi, apa kamu mendengarku." Ucapan Kenzie seketika menyadarkan Ardi yang sedang melamun dengan wajah penuh kebingungan.
"Ehm ... ma-maaf," ucap Ardi karena terlalu gugup.
Kali ini, dari rasa yang biasa. Entah mengapa ada perbedaan dari sebelumnya.
"Aku sudah kenyang." Baru beberapa suapan, tetapi Kenzie menolak suapan kelima.
"Bahkan suapan ini terlalu sedikit—,"
"Aku bilang kalau sudah kenyang, apa kamu tuli ...!"
Kenzie segera menutup mulutnya, ia sama sekali tidak sadar dengan ucapannya yang mengatakan jika Ardi 'tuli' faktanya hal itu memanglah benar.
"Maaf." Sambil tertunduk Kenzie meminta maaf.
"Tidak apa-apa," ucap Ardi dengan diiringi seulas senyuman.
Ketika keduanya kembali saling diam. Sebuah ketukan membuat Ardi meninggalkan mangkuk tersebut dan berjalan guna membuka pintu.
"Itu pasti Salma, karena kemarin sempat meminta izin untuk datang." Dalam hatinya Kenzie pun terlihat kesal ketika tamu itu benar-benar Salma.
Wajah yang semula terlihat lembut, kini berubah masam. Lalu, dengan hati yang diliputi oleh kekesalan akhirnya Kenzie memilih kembali tidur, karena memang kepalanya terus saja merasakan denyutan yang luar biasa.
Sedangkan di luar sana. Ardi pun tersenyum pada seseorang yang datang mengunjunginya. Lama tidak bertemu hingga keduanya sedikit bernostalgia dengan cara berpelukan.
"Lama tidak bertemu," ujar seorang wanita dengan raut wajah bahagia.
"Tidak sampai satu tahun, bukan." Jawab Ardi.
"Ar, kenapa tubuhmu menjadi kurusan sekarang? Jangan bilang kalau kamu tidak memperhatikan makanmu!" dengus wanita itu lagi.
"Pekerjaanku terlalu banyak, jadi tidak terlalu memperhatikan makan." Jawab Ardi dengan wajah sedikit ceria.
"Maaf," ucap wanita tersebut seraya tertunduk karena merasa begitu malu dan sama sekali tidak berguna.
"Kenapa meminta maaf?" ujar Ardi.
"Ketidakadilan yang kamu rasakan sudah bertahun-tahun, sedang di sini ada seseorang yang tidak berguna."
Ardi pun tersenyum, merasa jika semua itu bukanlah masalah besar. Kenyataannya tanpa mereka pun dia bisa menjalani sisa hidupnya sampai sekarang. "Jangan meminta maaf, karena ini semua bukan salah siapa pun."
Wanita itu pun mengangguk, lalu pandangannya menyusuri ruangan seakan ada sesuatu yang dicarinya. "Kenzie ada di ruang tengah dan sekarang sedang demam."
"Apa! Kenapa kamu tidak memanggil dokter dan segera memeriksakannya!" cerocos seseorang dengan perasaan penuh kekhawatiran.
"Aku juga baru bangun—,"
"Sudahlah, kamu memang tidak berguna." Seraya menyingkirkan tubuh Ardi, wanita paruh baya itu segera mencari keberadaan Kenzie.
Ardi mengikuti langkah wanita di depannya dan melihat jika Kenzie tidur kembali.
"Ar, kenapa dia bisa demam?" tanya seseorang itu dengan tatapan penuh.
"Kehujanan," jawab Ardi.
"Kenapa bisa? Memangnya apa yang terjadi dengannya?"
Ardi pun tidak menjawab, melainkan mencoba memeriksa kening Kenzie. "Syukurlah sedikit turun," gumam Ardi.
Merasa jika ada sesuatu yang menyentuhnya. Kenzie pun mengerjapkan mata dan melihat jika tangan tersebut milik Ardi.
"Kenapa kamu di sini? Bukankah wanita itu sudah datang," ujar Kenzie dengan suara serak.
"Sayang, wanita siapa yang kamu maksud?"
Suara yang tak asing bagi Kenzie, membuatnya seketika melihat dari rasa penasaran itu sendiri dan ....
"Bu! I-ibu dari semenjak kapan datang? Maaf karena aku tidak tahu."
Perempuan paruh baya itu pun tersenyum. Melihat tingkah sang menantu membuatnya menggelengkan kepalanya karena gemas.
"Baru saja," ujar bu Lidya.
"Dasar bodoh, kenapa juga dia tidak mengatakan kalau ibunya datang." Di hatinya, Kenzie terus menggerutu karena kesal pada Ardi, yang mana tidak memberi tahu kalau bu Lidya berkunjung.
"Kalau begitu aku akan bangun untuk mengambil minuman." Kata Kenzie yang mana bersikeras untuk bangun. Namun, dengan segera Ardi pun menahannya.
"Kamu tetap tidurlah, aku yang akan mengambilkannya." Ucapan Ardi pun dibalas dengan anggukan.
"Ar, tidak perlu. Aku hanya perlu memastikan kalau kalian baik-baik saja," ujar bu Lidya, menolak Ardi yang hendak mengambilkan minum.
"Baiklah." Jawab Ardi.
"Kalau begitu di mana dapurnya?" tanya bu Lidya seraya mengangkat sebuah tas.
"Belok kiri." Jawab Ardi lagi.
Setelah kepergian bu Lidya ke dapur. Kenzie menatap sinis kepada Ardi, kali ini tingkahnya membuatnya begitu malu. "Kenapa kamu tidak bilang jika ibumu datang," ujar Kenzie dengan wajah serius.
"Maaf, kemarin aku ingin memberitahumu, tetapi setelah mengangkat telepon kamu tidak ada di tempat." Jawab Ardi sejujur-jujurnya tanpa ada yang ditutupinya.
"Jadi ... argh sudahlah!" Dengan wajah sedikit kesal karena sudah salah paham, lantaran malu Kenzie pun memasukkan kepalanya ke dalam selimut.
Untuk Ardi sendiri, ini untuk kali pertamanya ia melihat wajah lucu istrinya yang begitu menggemaskan.
"Dasar, lelaki menyebalkan!" teriak Kenzie dari dalam selimut.
Pada saat Ardi hendak pergi ke dapur, menyusul ibunya yang tak kunjung keluar. Dering telepon milik Kenzie bunyi. Sekilas lelaki itu pun melirik dan terpampang jelas nama seseorang yang tak asing baginya.
semangatt..
jgn lamalama Up nyaa...