Karie yang ingin menjadi Sikerei kesatria Maya demi mendapatkan kehidupan yang lebih baik semua halangan ia lewati, namun kakaknya selalu menghalangi jalannya dalam Menjadi Sikerei pilihan merelakan atau menggapainya akan memberikan bayaran yang berbeda, jalan mana yang ia pilih?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Io Ahmad, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Terra
"Kamu yakin ikut denganku mencari Kak Aileen? Kamu bisa pergi ke mana pun kamu mau," kata Karie dengan alis terangkat, sorot matanya memancarkan keraguan. Ia memandang Mishka yang berjalan tertatih-tatih, rasa khawatir terlukis jelas di wajahnya.
Mishka menghela napas, matanya menatap Karie dengan keteguhan yang tak tergoyahkan. "Yah, memang kamu telah menebusku, tapi dengan kaki terluka seperti ini," jawabnya sambil tersenyum samar, bibirnya sedikit menipis menahan rasa sakit. "Kamu tetap harus merawatku hingga sembuh. Ingat siapa yang menyelamatkanmu."
Karie menunduk, sejenak terdiam, mengenang saat-saat ketika Mishka menyelamatkan nyawanya. Ada beban rasa syukur dan tanggung jawab yang memenuhi hatinya. Mishka berpaling, memandang jalan setapak yang membentang di depan mereka.
"Ayo, sekarang kita ke mana," riangnya, seraya berbisik, suaranya lembut hampir tenggelam oleh desiran angin. "Sebenarnya aku tidak tahu harus ke mana."
"Kita pergi ke ujung Utara Tjimala, berbatasan dengan Ibukota Eden," jawab Karie dengan nada yang lebih mantap.
"Terra kah? Tempat yang bagus," ucap Mishka dengan nada harap, "Aku sudah bosan melihat pasir dan udara panas ini."
Di dalam kereta yang berguncang, Mishka terus-menerus menggeser posisi duduknya, mencari kenyamanan yang sulit didapat. "Sungguh tidak nyaman sekali," keluhnya, sambil mengusap-usap bokongnya yang terasa panas. Karie yang duduk di sebelahnya hanya bisa menggelengkan kepala.
"Sabarlah, Mishka," ucap Karie menenangkan, "Sebentar lagi kita akan sampai di tujuan."
Mishka mendesah. "Aku membutuhkan alas duduk yang lebih empuk. Bokongku terasa sakit."
Karie segera membuka ranselnya dan mengeluarkan sebuah selimut tipis. "Gunakanlah ini untuk sementara," tawarnya.
Mishka menerima selimut itu dengan ragu. "Bukankah ini selimut? Bukan alas duduk," protesnya pelan.
Karie tersenyum tipis. "Untuk saat ini, yang penting kamu merasa nyaman. Nanti, ketika kita tiba di Terra, kita akan mencari tempat yang lebih nyaman untuk beristirahat."
Karie kembali ke tempat duduknya, wajahnya sedikit memerah. Ia menghela napas panjang, matanya menerawang ke luar jendela. Mishka yang memperhatikan sahabatnya itu hanya tersenyum tipis. "Ada apa, Karie? Sepertinya ada yang mengganggu pikiranmu."
Karie menggeleng pelan. "Tadi aku mencoba membantu penumpang lansia itu, namun beliau menolak tawaran bantuan saya. Rasanya agak percuma saja."
Mishka mengangguk mengerti. Ia menyodorkan sepasang kartu remi. "Mari kita bermain kartu saja, agar pikiranmu menjadi lebih tenang."
Karie menerima kartu remi itu dengan ragu. Ia menatap sekilas kartu-kartu itu, lalu mulai menyusunnya. Namun, jari-jarinya terasa kaku, pikirannya masih tertuju pada penolakan yang baru saja diterimanya. “Aku menang lagi.” seru Mishka, mencoba menyemangati.
Ketika mereka sedang bermain kartu, suara pengumuman terdengar dari pengeras suara di dalam kereta. "Perhatian para penumpang, kita akan segera tiba di stasiun Terra. Mohon bersiap-siap dengan barang bawaan Anda."
Mishka mengamati brosur yang dipegangnya, pandangannya menerawang ke berbagai arah. “Kalau dari brosur ini dari stasiun blok kiri, lurus terus... Kamu dengan tidak, Karie?” Namun, sosok Karie tidak terlihat.
Karie, yang berada tidak jauh dari situ, merapatkan langkahnya mendekati Mishka. “Distrik Lampion, katanya satu stasiun lagi menurut penjaga.”
Mishka menghela napas panjang, memandang barang-barang yang mereka bawa. “Bukankah kita harus menyimpan semua barang ini? Lagi pula, biasanya mereka buka di malam hari. Aku butuh istirahat terlebih dahulu. Kamu juga lelah, bukan? Jangan tergesa-gesa.”
Karie tampak ragu sejenak, lalu mengangguk. “Baiklah, kita cari tempat untuk beristirahat dulu,” jawabnya sambil membawa barang-barangnya.
Mereka menemukan sebuah penginapan sederhana dekat stasiun. Saat mereka hendak memasuki penginapan itu, seorang pelayan berwajah keras muncul di depan pintu, menghalangi jalan mereka.
"Ada perlu apa kalian di sini?" tanyanya dengan nada ketus.
Karie, mencoba tetap tenang, menjawab, "Kami hanya mencari tempat untuk beristirahat sebelum melanjutkan perjalanan ke Distrik Lampion."
Wajah pelayan itu langsung berubah ketika mendengar kata "Distrik Lampion". Senyumnya mengembang dan nada suaranya menjadi lebih ramah. "Oh, kalian akan ke Distrik Lampion? Tempat itu memang terkenal untuk bersenang-senang dan menghabiskan waktu. Silakan, kami punya kamar yang nyaman untuk kalian beristirahat."
Mishka yang melihat perubahan sikap itu hanya bisa tersenyum kecil. "Sepertinya Distrik Lampion benar-benar menarik banyak perhatian," gumamnya.
Pelayan itu mengangguk sambil tersenyum lebar. "Tentu saja! Distrik Lampion adalah tempat terbaik untuk menikmati malam. Kalian pasti akan menyukainya. Mari, saya antar kalian ke kamar."
Setelah mendapatkan kunci kamar, Karie dan Mishka mengikuti pelayan itu menuju kamar mereka. Begitu pintu kamar tertutup, Karie duduk di tepi tempat tidur dan menatap Mishka dengan serius. "Ingat, Mishka, kita kesini untuk satu tujuan: membawa kembali Kak Aileen."
Mishka mengangguk. "Aku tahu, Karie. Aku tidak akan teralihkan oleh keramaian Distrik Lampion."
Karie menghela napas dalam, masih tampak khawatir. "Istirahatlah sebentar, kita akan butuh banyak energi untuk mencari informasi nanti."
Mishka merentangkan tubuhnya di atas ranjang, merasakan sedikit kelegaan. "Baiklah, kita istirahat sebentar. Setelah itu, kita fokus pada mencari Aileen."
Dengan pikiran yang lebih tenang dan tubuh yang mulai merasa nyaman, mereka berdua mulai beristirahat, mempersiapkan diri untuk malam yang panjang di Distrik Lampion.
Malam telah tiba saat kereta mereka akhirnya berhenti di stasiun Distrik Lampion. Lampu-lampu cerah berwarna-warni menyinari jalanan, menciptakan suasana yang penuh dengan kehidupan malam. Karie menatap Mishka dengan serius, mengingatkan tujuan mereka.
"Kita langsung ke tempat 'Surga di Atas Atap.' Itu yang aku lihat dalam ingatan Sintra," kata Karie dengan tegas.
Mishka mengangguk, mencoba tetap fokus meskipun tergoda oleh gemerlap lampu dan hiruk-pikuk keramaian di sekitar mereka. Namun, saat mereka berjalan menyusuri jalanan, Mishka tak bisa menahan diri untuk berhenti di beberapa kios makanan yang menarik perhatiannya.
"Aku hanya ingin mencoba ini sebentar," katanya sambil membeli camilan dari salah satu kios. Karie menghela napas, mencoba untuk bersabar.
"Jangan terlalu lama, Mishka. Kita ada misi penting," ucap Karie, suaranya mengandung rasa cemas.
Namun, Mishka tampaknya semakin terpesona dengan toko-toko di sepanjang jalan. Ia berhenti lagi untuk melihat-lihat barang-barang di sebuah toko souvenir. Karie semakin khawatir, tetapi mencoba untuk tidak terlalu menekan sahabatnya.
Akhirnya, setelah beberapa kali berhenti, mereka tiba di sebuah gedung dengan papan nama yang berbunyi "Surga di Atas Atap".
Lampu neon berwarna merah dan kuning menerangi malam di sekitar gedung itu. Suara riuh rendah terdengar dari dalam, menciptakan suasana yang penuh kehidupan dan misteri. Karie menatap papan nama itu dengan hati yang berdebar, sementara Mishka masih terpesona oleh kilauan lampion yang menggantung di sepanjang jalan.
"Kita sudah sampai," kata Karie, suaranya mengandung campuran antara harapan dan kekhawatiran.
Mishka mengangguk, matanya masih menelusuri setiap detail di sekitar mereka. "Ayo, kita masuk dan lihat apakah Kak Aileen ada di sini."
Mereka melangkah masuk ke dalam gedung, disambut oleh suasana hangat dan aroma makanan yang menggoda. Di dalam, orang-orang tampak menikmati malam mereka, tertawa dan bercengkerama dengan teman-teman. Namun, Karie segera menyadari bahwa tempat ini bukan sekadar tempat hiburan biasa.
Wanita-wanita dengan pakaian mencolok dan senyum menggoda berjalan hilir mudik, melayani tamu-tamu yang datang. Karie merasakan ketegangan di udara. Salah satu dari wanita tersebut menghampiri mereka, senyumnya memudar sedikit saat melihat Karie dan Mishka.
“Maaf, nona, kami tidak melayani untuk sesama jenis,” katanya dengan nada tegas.
Karie membuka mulutnya untuk menjelaskan, tetapi suaranya terpotong. “Kami hanya…”
Mishka segera mengambil alih, suaranya tenang namun tegas. “Biar aku tangani,” katanya kepada Karie sebelum beralih ke wanita itu. “Kami diminta mencarikan wanita untuk menemani malamnya. Kata mereka, di sini ada kupu-kupu baru, kalau tidak salah namanya Aileen.”
Wanita itu mengangkat alisnya, tampak sedikit terkejut namun segera menguasai dirinya. “Aileen, ya? Tunggu sebentar, saya akan cek dulu,” katanya sebelum berbalik dan berjalan cepat menuju bagian belakang gedung.
Wanita itu kembali dengan senyum tipis. "Ikuti saya," katanya, mengarahkan Karie dan Mishka ke sebuah tangga yang menuju lantai atas. Mereka mengikuti dengan hati berdebar, melewati lorong-lorong sempit yang diterangi lampu redup.
Setelah beberapa saat, mereka tiba di depan sebuah pintu kayu besar. Wanita itu mengetuk pintu dengan lembut, lalu membukanya. "Aileen ada di dalam," katanya sebelum berbalik dan pergi.
Karie dan Mishka melangkah masuk ke dalam kamar yang luas dan mewah. Di tengah ruangan, Aileen duduk di atas sofa dengan ekspresi wajah yang dingin, matanya tertutup oleh kain penutup mata berwarna putih. Karie bisa merasakan ketegangan di udara.
"Apa yang kalian lakukan di sini?" suara Aileen terdengar tajam, penuh ketidakpercayaan.
Karie mencoba tersenyum, meskipun hatinya berdebar kencang. "Kami datang untuk membawamu pulang, Kak Aileen."
Aileen menggelengkan kepala, nadanya penuh keputusasaan. "Percuma, kalian tidak akan bisa," katanya sebelum berbalik dan berjalan keluar ruangan.
Pelayan itu datang kembali, menatap mereka dengan pandangan dingin. "Kalian akan mengambil untuk berapa lama?" tanyanya tanpa basa-basi.
Mishka melirik Karie, lalu menjawab dengan tegas, "Berapa harga untuk menebusnya?"
Pelayan itu tertawa kecil, senyum liciknya terpampang jelas. "Menebus? Itu bukan hal yang mudah di tempat seperti ini. Aileen sudah menjadi bagian dari tempat ini."