Mencintai seseorang merupakan suatu fitrah yang berasal dari diri sendiri. Bentuk ungkapan kasih sayang terhadap lingkungan, benda maupun antar manusia. Tidak ada yang melarang jika kita mencintai orang lain, namun apa jadinya jika perasaan itu bersemi dan melabuhkan hati kepada seseorang yang sudah memiliki pasangan?
Ameera Chantika, seorang mahasiswa semester akhir berusia 21 tahun harus terjebak cinta segitiga dimana ia menjadi orang ketiga dalam sebuah hubungan rumah tangga. Ia mencintai seorang pria bernama Mark Pieter.
Akibat sebuah kecelakaan, memaksa gadis itu menerima pertanggung jawaban dari Mark seorang pria yang sudah merenggut kesuciannya. Hingga suatu hari Ameera mendapati sebuah kenyataan pahit yang membuatnya harus ikhlas menjadi istri kedua tanpa dicintai suami.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon senja_90, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
RUMAH SAKIT
|| RUMAH SAKIT UMUM PERSADA ||
Di sebuah kamar paviliun, di atas sebuah bed rumah sakit, seorang pria paruh baya tengah terbaring lemah. Tubuh lemah dan wajah pucat. Punggung tangan tertancap jarum infus dan terdapat selang oksigen berbentuk kanul pada lubang hidung.
Suasana ruangan sepi senyap hanya terdengar suara hembusan napas pria itu dibantu oleh tabung oksigen.
Pria itu di rawat di Paviliun Atlantis, suite room. Sebuah kamar khusus yang memiliki pelayanan istimewa. Di dalam kamar tersebut terdapat satu buah bed pasien, nakas, pelembab udara, mini pantry lengkap dengan satu set alat makan dan microwave, satu set sofa pengunjung, kamar mandi, televisi, brankas, wardrobe dan free parking selama 7×24 jam.
Tuan Ibrahim Pieter sudah dua hari dirawat di rumah sakit. Sebelum dibawa ke rumah sakit, dua orang pelayan menemukan tubuh pria itu tergeletak di lantai kamar utama. Saat kedua pelayan memasuki kamar majikannya, mereka melihat pria itu terlentang dengan kondisi fisik lemah disertai demam dan batuk. Tuan Ibrahim mengeluhkan sesak napas, tidak napsu makan dan batuk berdahak sekitar satu minggu.
Dokter pribadi keluarga Pieter segera meminta kepala pelayan membawa majikannya ke rumah sakit karena ia mencurigai bahwa saat ini tuan Ibrahim mengidap pneumonia jika dilihat dari gejala awal pemeriksaan. Untuk memastikan dengan jelas dokter tersebut perlu melakukan pemeriksaan rontgen dada, tes darah, tes dahak dan memeriksa kadar oksigen dalam darah dan itu semua hanya bisa dilakukan di rumah sakit.
Mark segera mengunjungi tuan Ibrahim setelah mendapatkan kabar dari kepala pelayan. Pria itu melajukan kendaraan dengan kecepatan tinggi dan meninggalkan lokasi proyek begitu saja, ia begitu khawatir dengan kondisi papanya. Sepanjang perjalanan dalam pikirannya hanya memikirkan sang papa, ia tak mau jika orang tuanya itu pergi meninggalkan dirinya selama-lamanya. Mark belum siap hidup sebatang kara di dunia ini, kehilangan mamanya saja sudah membuat pria itu hampir gila apalagi jika saat ini Tuhan memanggil papanya untuk menghadap Sang Pencipta.
"Eugh!" ucap Tuan Ibrahim lirih.
Pria itu nampak kesakitan saat merubah posisi tidur. Sesekali menyentuh dadanya yang terasa sesak.
Pihak rumah sakit sudah melakukan rangkaian pemeriksaan dan kini tinggal menunggu hasil.
"Pa!" panggil Mark.
Mark merubah posisinya dari berbaring ke posisi duduk. Matanya masih terpejam separuh dan nyawanya belum terkumpul semua membuat pria itu setengah sadar dan setengah lagi berada di alam bawah sadar.
Semalaman Mark tidak tidur menunggu tuan Ibrahim keluar dari ruangan pemeriksaan, disaat seperti ini ia membutuhkan bahu untuk bersandar tapi Stevanie malah pergi memilih karier daripada menemaninya di rumah sakit. Sebenarnya Mark kecewa dengan sikap egois istrinya namun apa boleh buat ia terlalu sayang pada wanita itu hingga perasaannya mengalahkan akal sehatnya.
"Mark!"
"Papa butuh sesuatu?"
Mark mendekati ranjang tempat tuan Ibrahim terbaring.
"Papa haus!"
Mark segera meletakan sedotan ke dalam gelas dan membantu papanya minum.
"Terima kasih."
"Stevanie kemana?"
"Apa dia tidak ikut denganmu?"
"Vanie akan segera menyusul jika pekerjaannya sudah selesai," jawab Mark singkat.
"Papa lebih baik istirahat lagi, Mark akan keluar sebentar mencari sarapan."
Mark merapikan selimut dan berjalan keluar kamar.
Pria itu berjalan menyusuri koridor rumah sakit lantai lima yang terlihat sepi dan tidak ada pengunjung lalu lalang. Berhubung keluarga Pieter merupakan donatur terbesar Rumah Sakit Persada, membuat direktur rumah sakit memberikan pelayanan privilage bagi seluruh keluarga Pieter.
***
Di rumah sakit yang sama namun lantai dan ruangan yang berbeda. Ameera dan teman-teman sudah berada di ruang rawat inap tempat Mama Barra dirawat. Mereka membawakan parsel berisi buah-buahan yang bisa dinikmati oleh Mama Barra maupun Barra sendiri.
Saat ini mereka tengah berkumpul di kamar. Ameera dan Donny terlibat perbincangan dengan Mama Barra. Naomi, Emon dan Barra terlibat perkelahian kecil akibat salah satu dari mereka berbuat curang dalam sebuah permainan monopoli.
"Woi, Em! Kamu jangan main curang!" Naomi sedikit berteriak namun masih bisa ditolerir oleh indera pendengaran.
"Eleh, siapa yang curang!" bentak Emon tak mau kalah.
"Kalian berdua main curang. Kamu seharusnya masuk penjara karena tiga kali melempar mendapatkan angka tiga terus!" timpal Barra.
Begitulah suara teriakan kecil bersumber dari teman-teman Barra memecah kesunyian ruang rawat inap kelas VIP. Untung saja hanya tersedia satu bed pasien disana sehingga tidak mengganggu ketenangan pasien lain.
"Tante, maaf kami baru bisa membesuk," Ameera memijat pelan kaki Mama Barra.
Gadis itu telaten memijat inci demi inci tubuh Mama Barra. Ia memijat mulai dari pangkal paha hingga ujung kaki.
Donnypun melakukan gerakan yang sama, ia memijat bagian lengan Mama Barra. Memijat wanita itu dengat hati-hati.
"Tidak apa-apa Nak Meera, kalian sibuk magang di perusahaan jadi waktu luang sedikit. Tante bisa memakluminya."
"Oh iya tante, kata dokter sakit apa?" tanya Donny tanpa melepaskan tangannya dari lengan Mama Barra.
"Kata dokter tante kena tipes. Pantas saja belakangan ini tubuh tante demam, sering sakit kepala dan otot-otot ini terasa nyeri sekali."
Mama Barra menyentuh bagian-bagian otot yang terasa nyeri.
"Malam hari sebelum dibawa kesini, suhu badan sampai 40°C. Barra dan papanya segera membawa tante ke rumah sakit."
"Wah, untung saja segera dilarikan ke rumah sakit ya tante."
"Benar Nak Meera, bahkan Papa Barra sangat cemas dengan kondisi tante," Mama Barra mengingat kejadian saat ia dilarikan ke rumah sakit diantar anak dan suaminya.
"Untung saja jalanan sepi dan bisa tiba di rumah sakit hanya dalam waktu setengah jam saja," timpal wanita itu.
Drt
Drt
Suara telfon Ameera berbunyi.
Gadis itu melihat layar ponsel dan di layar tertera nama Bunda Meta.
"Bunda, tumben telfon," gumam Ameera.
"Tante, Ameera keluar sebentar mau angkat telfon dari bunda."
"Silakan nak."
Ameera meninggalkan kamar Mama Barra dan mencari tempat sepi di ujung koridor rumah sakit. Ia menghadap ke luar kaca, memandangi pemandangan di bawah sana untuk menjawab panggilan telfon.
Ameera
📱 Assalamu a'laikum."
Sapa Ameera lembut.
Bunda Meta
📱 Wa'alaikum salam. Kamu di mana?
Ameera
📱 Meera masih di rumah sakit bun, membesuk Mamanya Barra. Bunda butuh sesuatu?
Bunda Meta
📱 Tidak ada, hanya saja bunda minta jangan pulang malam. Setelah selesai secepatnya pulang ke rumah.
Ucap Bunda Meta penuh penekanan.
Ameera
📱 Baik bun, Ameera akan segera pulang jika semua urusan telah selesai.
Bunda Meta
📱 Ya sudah, bunda tutup dulu telfonnya. Assalamu a'laikum.
Bunda Meta mengakhiri sambungan telfon.
Ameera
📱 Wa'alaikum salam.
"Bunda kenapa jadi over protective padaku?" gumam gadis itu.
"Apa mungkin ada hubungannya dengan Donny? Apakah mungkin telah terjadi sesuatu di rumah." Ameera menerka-nerka.
Ameera bergulat dengan pikirannya sendiri sambil melangkahkan kaki ke ruang kamar namun ia berhenti sejenak saat suara seorang pria memanggil namanya.
"Ameera!"
to be continued....
.
.
.
.
.
Part selanjutnya kita lanjutkan nanti malam ya kak. Jangan lupa tinggalkan jejak cinta kalian untuk karyaku. ❤
"Selamat Menikmati"