Diceritakan seorang pemulung bernama Jengkok bersama istrinya bernama Slumbat, dan anak mereka yang masih kecil bernama Gobed. Keluarga itu sudah bertahun-tahun hidup miskin dan menderita, mereka ingin hidup bahagia dengan memiliki uang banyak dan menjadi orang kaya serta seolah-olah dunia ini ingin mereka miliki, dengan apapun caranya yang penting bisa mereka wujudkan.
Yuk simak ceritanya..
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Esa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Si Udin Pembawa Berkah
Keesokan harinya, suasana di warung kecil keluarga Jengkok tampak lebih sibuk dari biasanya. Sejak pagi, Slumbat sudah sibuk di dapur, menggoreng mendoan dan membuat bumbu rendang dengan penuh semangat. Jengkok, seperti biasa, menata meja dan kursi di teras rumah. Mereka tahu bahwa warung mereka sedang naik daun, tapi pagi itu terasa ada sesuatu yang berbeda—semacam firasat bahwa hari ini akan lebih ramai dari biasanya.
Tak lama setelah itu, dari kejauhan terlihat rombongan besar mendekat. Jengkok mengernyitkan mata, mencoba mengenali siapa yang datang. Begitu mereka semakin dekat, Jengkok langsung tersenyum. Ternyata, itu adalah keluarga Udin!
Udin datang bersama bapak, ibu, dan adiknya yang masih kecil. Dengan gaya khasnya yang percaya diri, Udin melambaikan tangan dari kejauhan. "Pak Jengkok! Bu Slumbat! Ini gue datang bawa keluarga gue nih, mau nyobain warung terenak di kampung!"
Jengkok yang mendengar itu langsung tertawa kecil. "Ayo, ayo masuk, Din! Bawa keluargamu sini, duduk yang nyaman!"
Slumbat keluar dari dapur dengan tangan masih penuh dengan tepung mendoan. “Wah, rame amat! Ini pasti pada mau coba rendang lagi, ya?”
Ibu Udin, yang kelihatannya paling semangat, langsung menjawab, “Katanya rendangnya enak banget, Bu! Jadi penasaran. Saya penggemar rendang, lho!”
Udin, dengan gayanya yang sok serius, ikut menambahkan. “Bener, Ma. Ini rendang setara restoran bintang lima! Kemarin aja kita sampai berebutan sama teman-teman di sekolah. Warungnya kecil, tapi rasa makanannya gede!”
Jengkok dan Slumbat saling pandang dan tertawa. “Wah, bisa aja si Udin nih, seperti salesman dadakan!” canda Jengkok.
Mereka semua pun duduk di meja panjang. Bapak Udin, yang biasanya pendiam, kali ini terlihat penasaran. "Saya dengar rendang di sini bukan cuma enak, tapi juga murah. Itu benar?"
Jengkok mengangguk mantap. “Betul sekali, Pak. Kami memang nggak ambil untung banyak. Yang penting bisa jualan dan semua orang bisa makan enak tanpa mikirin harga.”
Tak lama kemudian, Slumbat menghidangkan sepiring besar rendang, ayam goreng, dan beberapa mendoan hangat. "Silakan dicoba, ya. Semoga cocok di lidah."
Tanpa basa-basi, keluarga Udin langsung menyendok makanan ke piring mereka. Ibu Udin mencicipi rendang pertama kali, dan begitu suapan pertama masuk ke mulutnya, matanya langsung melebar. “Astaga, ini enak banget! Pak, kamu mesti coba!”
Bapak Udin yang biasanya kalem, segera mencoba suapan kecil, lalu mengangguk pelan. "Hmm, ini luar biasa. Saya nggak bohong, Pak Jengkok. Rasa rendangnya mantap."
Udin, yang dari tadi sudah tak sabar, mengangguk-angguk dengan mulut penuh makanan. “Gue bilang apa! Bener kan, Ma? Ini warung terbaik se-kampung!”
Sambil makan, mereka terus bercanda. Si adik Udin yang kecil, yang bernama Nia, tiba-tiba bertanya dengan polos, “Bu, kalau kita beli semua rendangnya, boleh nggak?”
Semua orang tertawa mendengar pertanyaan polos Nia. Jengkok menjawab sambil tertawa, “Wah, boleh aja, Nia. Tapi nanti orang lain nggak kebagian lho!”
Udin tertawa terbahak-bahak, “Nia, lo mau jadi sultan rendang apa gimana?”
Ibu Udin pun tersenyum dan berkata, “Yah, kalau bisa beli semua, kenapa nggak? Tapi jangan lupa sisain buat orang lain, ya, Nia.”
Sementara itu, Bapak Udin terus menikmati makanannya dalam diam. Setelah beberapa saat, ia mendongak dan berkata, “Bu Slumbat, Pak Jengkok, saya kagum sama kalian. Masakannya bukan cuma enak, tapi juga bikin nyaman. Saya rasa, warung ini punya potensi besar. Kalau kalian terus kayak gini, saya yakin nggak lama lagi kalian bisa buka cabang di tempat lain.”
Jengkok yang mendengar itu hanya tersenyum lebar. “Amin, Pak. Doain aja ya, kita masih belajar. Baru mulai juga.”
Namun, Udin yang tak bisa diam, tiba-tiba menyeletuk, “Eh, gimana kalau kita bikin franchise warung ini? Warung Jengkok Internasional!”
Semua orang tertawa mendengar ide konyol Udin, termasuk bapaknya. “Udahlah, Din. Belum apa-apa udah mikirin internasional. Yang penting warung ini bisa rame terus, itu udah cukup.”
Setelah makan, keluarga Udin tampak sangat puas. Ibu Udin bahkan membungkus beberapa rendang untuk dibawa pulang. Sebelum pergi, Udin berbisik pada Gobed, “Eh, Gobed. Lo keren banget. Gue nggak nyangka lo bisa punya warung seenak ini. Lo kayak anak sultan yang nyamar jadi anak kampung, nih!”
Gobed hanya tersenyum malu. “Ah, lo ada-ada aja, Din.”
Udin mengedipkan mata dan berkata, “Besok-besok gue balik lagi, ya. Tapi kali ini gue bawa geng motor gue biar makin rame!” katanya sambil tertawa keras.
Saat keluarga Udin pulang, Jengkok dan Slumbat saling pandang sambil tertawa kecil. “Lihat tuh, Pak. Keluarga Udin sampai bungkus segala. Kalau begini terus, kita bisa buka warung lebih besar dari yang kita bayangin.”
Jengkok mengangguk, masih dengan senyum lebar. “Bener, Mah. Tapi yang paling penting, kita bisa bikin orang senang. Itu yang bikin kita merasa kaya beneran.”
Slumbat mengangguk setuju. “Ya, betul. Lagian, sekarang kita nggak perlu lagi keliling kampung cari barang bekas. Kita udah punya warung, udah punya masa depan yang lebih cerah.”
Jengkok menepuk bahu istrinya sambil berkata, “Dan nggak ada lagi pocong iseng yang nongol pas kita lagi mulung. Alhamdulillah!”
Mereka tertawa terbahak-bahak, mengingat kejadian-kejadian aneh yang pernah mereka alami saat masih hidup susah. Hari itu berakhir dengan penuh tawa dan harapan baru, karena mereka tahu bahwa warung kecil mereka kini membawa kebahagiaan, bukan hanya bagi mereka, tapi juga bagi semua orang yang datang mencicipi masakan mereka.
Keesokan harinya, suasana di warung kecil Jengkok dan Slumbat mulai ramai sejak pagi. Gobed sudah berangkat ke sekolah, dan seperti biasa, warung mereka mulai dipadati pelanggan yang ingin mencicipi rendang dan mendoan buatan Slumbat. Namun, hari ini ada sesuatu yang terasa agak aneh. Suara motor yang berderu-deru terdengar mendekat dari kejauhan.
Jengkok yang sedang menyapu halaman berhenti sejenak dan memasang telinga. "Eh, suara apaan itu ya, Mah?" tanyanya pada Slumbat yang sedang meracik sambal di dapur.
Slumbat keluar dari dapur, melongok ke arah jalan. "Wah, bener tuh Pak, kayaknya rame banget. Ada konvoi motor?"
Tak lama, rombongan motor benar-benar muncul di depan rumah mereka. Ternyata, itu adalah geng motor yang dipimpin oleh... Udin! Gobed baru kelas 3 SD, tapi Udin? Dia juga masih SD, tapi entah bagaimana caranya, bocah itu sudah bisa ngumpulin geng motor!
Udin, dengan helm yang kebesaran untuk kepalanya, berhenti tepat di depan warung sambil mengangkat tangan seperti bos besar. "Yo, stop di sini, kita mau jajan di warung Pak Jengkok!" teriak Udin dengan penuh percaya diri. Di belakangnya, beberapa bocah lain juga ikut berhenti dengan motor-motor yang entah milik siapa—semuanya tampak pinjaman, bahkan ada yang masih pakai roda bantu!
Jengkok yang melihat itu langsung menggeleng-gelengkan kepala. "Astagfirullah, Din. Baru kelas 3 SD udah ikut geng motor. Ini motor dari mana, Din? Kalian minjem dari siapa?"
Udin turun dari motornya dengan gaya sok jagoan. “Ah, Pak Jengkok, ini kan buat seru-seruan aja! Biar kelihatan keren di depan anak-anak lain. Lagian, kita cuma keliling kampung doang, nggak balap liar kok!”
Slumbat yang ikut mendengar itu hanya tertawa kecil sambil membawa keluar piring-piring berisi makanan. “Din, Din... Belum ada kumis udah kayak preman aja gaya lo. Nanti dimarahin sama guru-guru sekolah baru tau rasa!”
Salah satu anak dalam geng Udin, yang tampaknya lebih kecil dari Udin, dengan berani ikut nimbrung. “Bu Slumbat, kita kan nggak balapan beneran, cuma main-main aja. Yang penting habis ini kita makan rendang, kan?”
Slumbat hanya tersenyum sambil menaruh piring-piring di meja. "Ya udah, kalau gitu duduk dulu. Tapi jangan bikin keributan di sini ya, kalau sampai ada yang jatuh dari motor, nanti saya nggak tanggung jawab!"
Anak-anak itu langsung duduk dengan penuh semangat, bercanda satu sama lain tentang siapa yang paling jago naik motor. Salah satu anak, yang duduk di pojokan, tiba-tiba nyeletuk, "Eh, tadi gue hampir nabrak kambing, lho!"
Udin yang duduk di sebelahnya tertawa keras. “Masa kambing aja nggak bisa lo hindarin, sih? Makanya, belajar dulu naik sepeda sebelum nyoba motor!”
Suasana semakin ramai dengan obrolan mereka yang konyol. Jengkok dan Slumbat hanya bisa menggelengkan kepala sambil tersenyum melihat ulah bocah-bocah kecil yang sudah bergaya seperti geng motor profesional.
Sementara itu, salah satu anak di geng Udin tiba-tiba angkat tangan, “Pak Jengkok, Bu Slumbat, ini warungnya enak banget, bisa nggak nanti gue sama keluarga gue sering makan di sini juga?”
Jengkok tertawa mendengar itu, “Ya boleh aja, Nak. Asal jangan bawa motor ke sini tiap kali makan, nanti tetangga pada komplain, bilang warung kita jadi tempat balapan liar!”
Anak-anak itu tertawa terbahak-bahak mendengar guyonan Jengkok. Mereka makan dengan lahap, terutama rendang buatan Slumbat yang sudah terkenal di kampung itu. Setiap suapan diiringi dengan pujian dari geng motor cilik ini. “Wah, rendangnya kaya rasa, tapi harganya nggak kaya!” kata salah satu anak sambil terbahak.
Setelah makan, Udin berdiri sambil menepuk perutnya yang kenyang. “Pak Jengkok, Bu Slumbat, terima kasih ya! Nanti kita datang lagi, tapi bawa motor yang lebih keren!”
Slumbat hanya bisa menggelengkan kepala sambil tersenyum, “Hadeh, Din. Yang penting jangan bikin keributan, ya. Kalian ini masih kecil, fokus dulu sama sekolah. Nggak usah ikut-ikutan jadi geng motor!”
Namun, Udin dengan wajah sok serius berkata, “Tenang, Bu. Kita ini geng motor yang beretika. Kita nggak bikin rusuh, cuma bikin kenyang!” Setelah berkata begitu, Udin dan geng motornya mulai beranjak pulang, tapi sebelum mereka benar-benar pergi, tiba-tiba terdengar suara motor yang nggak mau nyala.
Salah satu anak terlihat panik karena motornya mogok. “Eh, motor gue nggak mau nyala, gimana nih?”
Udin yang merasa jadi pemimpin geng langsung beraksi. “Sini, biar gue yang urus.” Dia mencoba menyalakan motor temannya itu, tapi tetap saja nggak mau menyala. Akhirnya Udin menyerah dan berkata, “Yah, kayaknya lo harus dorong nih, motor lo mogok.”
Anak itu terlihat kecewa, tapi akhirnya dia dan temannya benar-benar mendorong motor sambil diiringi tawa yang meledak dari anggota geng lainnya. “Hahaha! Geng motor yang harus dorong motor sendiri, lucu banget!”
Semua orang yang melihat pemandangan itu, termasuk Jengkok dan Slumbat, tak bisa menahan tawa. “Aduh, Din, Din... Katanya geng motor keren, tapi ujung-ujungnya dorong motor juga!” ujar Jengkok sambil tertawa keras.
Mereka semua tertawa bersama, dan meskipun anak itu harus mendorong motornya, suasana tetap penuh keceriaan. Geng motor cilik Udin memang bukan geng motor biasa—mereka adalah geng motor yang membawa tawa dan kebahagiaan ke mana pun mereka pergi, termasuk di warung sederhana keluarga Jengkok.