NovelToon NovelToon
[1] 5th Avenue Brotherhood

[1] 5th Avenue Brotherhood

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Kehidupan di Sekolah/Kampus
Popularitas:4.1k
Nilai: 5
Nama Author: BellaBiyah

5 anggota geng pembuli baru saja lulus SMP dan kini mereka berulah lagi di SMK!

Novel ini merupakan serial pertama dari "5th Avenue Brotherhood". 5th Avenue Brotherhood atau yang sering dikenal dengan FAB adalah geng motor yang terdiri dari 5 orang remaja dengan latar belakang yang berbeda-beda.

Jesika. Seorang gadis yang merupakan anak kandung dari kepala sekolah dan adik dari pendiri FAB itu sendiri. Sayangnya, Jesika tidak suka berteman sehingga tidak ada yang mengetahui latar belakang gadis ini, sampai-sampai para member FAB menjadikannya target bulian di sekolah.

Gimana keseruan ceritanya? Silakan baca sampai bab terakhir 🙆🏻‍♀️ update setiap hari Minggu

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon BellaBiyah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

17 Kayak Bapak Gue

Jauh sebelum Wandra lahir ke dunia, William merupakan anak angkat yang diadopsi dari panti asuhan oleh kedua orang tua Wandra. Sebab dipernikahan mereka yang sudah menginjak 10 tahun, tak kunjung memiliki keturunan. Hidup di tengah-tengah kondisi orang tua yang sibuk bekerja di luar negeri demi bisnis-bisnis mereka, membuat Wandra merasa hanya William yang ia miliki.

Namun, semuanya berubah saat William beranjak dewasa, dan mulai sibuk dengan kehidupan pribadinya. Meninggalkan Wandra sendirian di rumah. Uang, bukan lagi hal yang Wandra sukai. Sebab mencari uang, semua orang yang ia butuhkan malah terasa jauh.

***

Wandra masih berdiam diri menatap Cia yang menyelimuti diri dengan selimut sambil bermain ponsel.

"Lo nggak ngantuk?" tanya Wandra dan membuat gadis itu terkejut.

"Sejak kapan lo di situ?" Cia malah balik bertanya.

"Abang gue kasih izin malam ini aja," ucap Wandra.

"Tapi kalo besok gue belum disuruh pulang, gimana?" tanya Cia.

"Ya jadi gembel lo di jalan," balas Wandra berlalu dan menutup pintu kamar. Meninggalkan Cia sendirian di sana.

Cia berlari membuka pintu dan melihat Wandra masih berdiri di situ. Mata mereka bertemu.

"Wan! Gue nggak mau ada yang tau soal keluarga gue. Kalo gue minta lo buat nggak cerita ke siapa-siapa soal tadi siang, kira-kira lo bakalan lakuin nggak?" tanya Cia.

Wandra masih berdiam diri sembari menelusuri setiap luka yang ada di wajah dan tubuh gadis itu.

"Menurut lo?" balas Wandra.

"Gue janji, gue nggak bakalan ceritain rahasia lo sama siapa-siapa!" Cia mengangkat jari kelingkingnya.

"Gue nggak punya rahasia."

"Kata siapa? Gue bisa aja sih bilang ke orang tua lo soal kelakuan lo di sekolah. Gue juga udah punya nomer hp abang lo, tadi gue liat di atas meja ada ditempelin pake kertas ... Aaarrrghhh!" teriak Cia begitu melihat Wandra membanting ponsel miliknya. "Lo gila ya?! Gue tau lo orang kaya! Gue nabung setaun buat beli hp itu!"

"Lo harus tau batasan. Lo di sini karena gue kesian ngeliat lo. Keluarga lo nggak bener. Bapak lo tukang judi, emak lo jual diri, dan sekarang lo jadi tuna wisma. Harusnya lo bersyukur kalo gue bolehin nginep di sini. Jangan kebanyakan tingkah!" Wandra benar-benar meninggalkan gadis yang terduduk lemas menatap bongkahan ponselnya di lantai.

Cia merenung sejenak dan mengambil ponselnya yang sudah ronsok tersebut. Ia kembali ke kamar William dan mengganti pakaiannya yang sempat Wandra pinjamkan. Kembali mengenakan seragam sekolah yang sudah lusuh dan menyandang ransel sekolah. Bersiap untuk pergi dari rumah orang kaya tersebut.

Baru saja Wandra duduk di kamarnya dan menyalakan CCTV, smart TV miliknya itu sudah memperlihatkan Cia yang berjalan dari depan pintu kamar menuju dapur. Wandra masih melihat tanpa respons. Cia terus berjalan dan nampak bingung setelah ia sampai di dapur. Mencoba membuka salah satu pintu, ternyata itu ruangan inventory makanan. Ia kembali menutupnya dan beralih ke ruangan lain.

Wandra mengambil ponsel dan berkutat di sana.

"Ini yang mana pintu ke luar sih?!" teriak Cia begitu mendapati toilet pembantu.

Kembali berjalan menelusuri rumah mewah dan megah tersebut. Hingga akhirnya dia sampai di depan tangga menuju lantai atas. Cia duduk di anak tangga terbawah sambil memeluk tralis pegangan. Tertunduk dan berganti posisi menjadi memeluk lututnya sendiri. Air mata itu kembali tak tertahankan.

"Hidup gue kenapa sih?! Gue juga nggak mau punya bapak tukang judi! Gue juga nggak mau ibu gue jual diri! Gue nggak mau! Gue juga nggak mau berurusan sama anak-anak FAB! HIDUP GUE KENAPA?!" racaunya sembari menangis.

"Gue nggak pernah minta buat dilahirin di keluarga yang kayak gitu! Ayaaaahhh heeegh!" bisiknya sembari memanggil mendiang sang ayah.

"Apa gue bunuh diri di sini aja? Biar Wandra dituduh bunuh gue dan menculik gue ke sini? Nggak apa-apa deh gue mati, yang penting dia masuk penjara! Gue capek!" bisiknya lagi.

"Lo agak nggak tau diri ya rupanya." Kalimat itu membuat Cia terkejut dan dengan cepat menghapus air mata.

Wandra berdiri di hadapan gadis itu sembari membawa makanan yang dibungkus kantong plastik.

"Gue mau pulang! Pintu ke luar yang mana?" tanya Cia sembari menahan tangis.

"Pulang ke mana?" tanya Wandra datar.

"Ya pulang ke rumah nyokap gue!"

"Kan nyokap lo nggak ada di rumah. Bokap lo bawa temen-temennya mabok di sana."

"Nggak apa-apa. Gue udah pasrah. Mau dipukulin kek, mau dibun*h, mau diperk*sa kek. Yang penting gue nggak di sini!"

Wandra mengeluarkan makanan dan menaruhnya di sebelah Cia. "Makan," ucapnya yang bersiap ikut menyantap.

"Gue mau pulang!" tegas Cia.

"Makan!" Wandra itu mempertegas kalimatnya.

"Gue mau pulang," bisik gadis itu yang kini terasa ingin menangis.

Wandra tak lagi berkata-kata. Tatapannya menancap tajam pada wajah Cia. Mata Cia kembali meneteskan air yang kali ini ia biarkan mengalir begitu saja.

"Kenapa lo nggak mau di sini?" tanya Wandra.

"Gue nggak mau punya hutang budi sama lo! HP gue aja lo banting kayak gitu! Lo nggak pernah tau rasanya nabung setaun buat bisa beli HP!" jerit Cia sambil menangis.

"Ya elah, hp doang," balas Wandra. "Merek apa sih hp lo?" Ia merampas rongsokan elektronik itu dari tangan Cia.

"Hp China kayak gini, pantesan langsung hancur," lanjut Wandra.

"Lo nggak ngerti, Wan. Heeeegh!" Cia berusaha menahan tangisnya namun tetap tak bisa.

"Gue ganti!" tegas Wandra.

"Bukan masalah HP-nya!" teriak Cia dengan kesal.

"Apa? Data dalam hp lo? Gue backup ke hp baru!"

Dengan sangat kesal akan sikap Wandra, Cia menatap kedua bola mata pria itu. "Gue capek berurusan sama cowok yang mirip sama bapak gue. Habis HP gue lo banting, nanti lo bakalan mukulin gue? Kayak bapak gue?! Lo bisa bebas mukulin gue karena gue ada hutang budi sama lo? Itu kan yang lo mau?"

Wandra terdiam sejenak dan ikut duduk di sebelahnya. "Gue nggak bakalan banting hp lo kalo lo nggak save nomer abang gue. Dan gue nggak suka lo ngancem gue! Soal keluarga lo, bukan urusan gue, buat apa juga gue cerita ke orang-orang."

"Tapi, kata-kata lo itu nyakitin gue banget, Wan! Heegh! Siapa sih di dunia ini yang mau hidup hancur kayak gini?! Ayah gue meninggal, gue punya bapak tukang judi, ibu gue ngelacur! Lo kira gue mau?! Nggak lo sebut pun, gue tau itu semua! Heeeegh! Gimana caranya gue bisa keluar dari keluarga gue?! Di rumah gue dipukulin, di sekolah gue harus berurusan sama temen-temen lo! Mau bunuh diri, gue takut! Ga mati, gue tersiksa! Heeegh." Cia benar-benar lepas kendali akan tangisan dan ocehannya. Bahkan ia lupa bagaimana kejamnya Wandra jika bersikap untuk menyiksa.

"Iya maaf kalo lo nggak suka gue save nomer abang lo, tapi kan lo bisa bilang baik-baik! Nggak mesti sampe hancurin hp gue! Heeegh!" lanjutnya.

"Sama Jesika bisa tuh lo ngomong baik-baik! Lo bisa minta maaf sampe kayak ngemis-ngemis sama dia! Kenapa sama gue kayak yang susah banget?! Bahkan buat semua perbuatan di SMP, lo sama temen-temen lo nggak pernah ngerasa bersalah dan minta maaf sama gue! Apa karena gue bukan anak kepala sekolah?! Apa karena gue bukan adeknya pendiri FAB?!" teriak Cia sembari menangis lebih kencang.

Cia terus menangis, sementara Wandra yang duduk di sebelahnya malah merebahkan diri dengan tiduran di anak tangga. Hampir saja ia tertidur, namun tersadar akibat bunyi plastik kresek di dekatnya. Ia melirik sekejap, Cia tak lagi menangis. Gadis itu menyantap makanan yang tadi Wandra beri.

Cia yang sedang mengunyah, mendadak mematung karena melihat Wandra yang sudah terbangun dan sedang memerhatikannya. Dengan wajah kesal gadis itu memalingkan wajah dan kembali makan.

Wandra hendak tersenyum lucu. "Laper juga kan lo abis nangis-nangis?" ucap Wandra dalam benaknya.

1
Iam-aam
Haris pawang ngadem
Iam-aam
tolol lo yg tolol bjir
Iam-aam
Berapa bang* kasar bjir le
Ciret
next kak
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!