800 setelah perang nuklir dahsyat yang melibatkan Amerika Serikat, Rusia, dan Tiongkok, dunia telah berubah menjadi bayangan suram dari masa lalunya. Peradaban runtuh, teknologi menjadi mitos yang terlupakan, dan umat manusia kembali ke era primitif di mana kekerasan dan kelangkaan menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari.
Di tengah reruntuhan ini, legenda tentang The Mockingbird menyebar seperti bisikan di antara para penyintas. Simbol harapan ini diyakini menyimpan rahasia untuk membangun kembali dunia, namun tak seorang pun tahu apakah legenda itu nyata. Athena, seorang wanita muda yang keras hati dan yatim piatu, menemukan dirinya berada di tengah takdir besar ini. Membawa warisan rahasia dari dunia lama yang tersimpan dalam dirinya, Athena memulai perjalanan berbahaya untuk mengungkap kebenaran di balik simbol legendaris itu.
Dalam perjalanan ini, Athena bergabung dengan kelompok pejuang yang memiliki latar belakang & keyakinan berbeda, menghadapi ancaman mematikan dari sisa-s
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Doni arda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 24: Serangan Pertama
Malam turun dengan cepat di lembah tempat kamp revolusi Athena berada. Udara dingin menusuk tulang, namun semangat para pejuang baru tak tergoyahkan. Di tenda pusat, Athena dan para pemimpin kelompok sedang menyelesaikan rencana serangan pertama mereka.
Peta lusuh tergelar di atas meja kayu, diterangi cahaya lentera yang bergoyang lembut. Athena menunjuk sebuah tanda di peta—sebuah gudang senjata milik Atlantis di kota kecil bernama Tarsen.
“Ini target kita,” kata Athena, suaranya tegas. “Gudang ini penuh dengan senjata yang bisa memberi kita keunggulan. Jika kita berhasil merebutnya, ini bukan hanya kemenangan bagi kita, tetapi juga simbol bahwa Atlantis bisa dilawan.”
Kaiden mengangguk. “Tapi kita harus cepat. Atlantis punya patroli rutin di daerah itu, dan begitu mereka tahu kita menyerang, bala bantuan akan datang dalam hitungan jam.”
Athena memandang sekeliling ruangan. Wajah-wajah yang menatapnya adalah wajah-wajah orang yang siap mempertaruhkan segalanya. “Kita tidak punya banyak waktu untuk bersiap, tapi ini adalah langkah pertama yang harus kita ambil. Kita bergerak malam ini.”
Pasukan Athena yang berjumlah kecil—sekitar 30 orang—bergerak dalam bayang-bayang malam. Elora, meskipun masih muda, bersikeras ikut. Dengan busur kecil di punggungnya, ia berjalan di samping Athena, menolak untuk mundur meski tubuhnya tampak rapuh.
“Apa kau yakin kau siap untuk ini?” tanya Athena ketika mereka mendekati hutan lebat yang mengelilingi Tarsen.
Elora mengangguk. “Aku tidak bisa hanya duduk diam. Aku harus melakukan bagianku.”
Kaiden berjalan di belakang mereka, memeriksa senjata satu per satu. “Kita semua punya bagian untuk dimainkan malam ini. Dan ingat, serangan ini bukan hanya tentang senjata. Ini tentang menunjukkan pada dunia bahwa Atlantis bukan dewa.”
Mereka tiba di pinggiran Tarsen beberapa jam sebelum fajar. Kota kecil itu sepi, tetapi gudang senjata di bagian timur dijaga ketat oleh tentara Atlantis.
Athena memimpin kelompoknya dengan tenang. Ia membagi mereka menjadi tiga tim: satu untuk menyusup ke dalam gudang, satu untuk mengalihkan perhatian penjaga, dan satu lagi untuk mengawasi dari kejauhan, siap memberikan bantuan jika diperlukan.
Ketika fajar mulai merekah di ufuk timur, serangan dimulai.
Tim pengalih perhatian yang dipimpin oleh Kaiden melemparkan bahan peledak buatan sendiri ke sisi barat gudang, menciptakan ledakan kecil yang mengguncang udara. Para penjaga bergegas menuju suara ledakan, meninggalkan pintu utama gudang hampir tak terjaga.
Athena dan timnya memanfaatkan momen itu untuk menyelinap masuk. Dengan hati-hati, mereka bergerak di antara deretan senjata, mulai dari senapan hingga granat yang tersusun rapi.
“Cepat! Kita tidak punya banyak waktu,” bisik Athena sambil memeriksa pintu belakang gudang.
Namun, kesunyian itu tidak berlangsung lama. Salah satu penjaga yang tersisa melihat pergerakan mereka dan membunyikan alarm. Sirene melengking memecah pagi yang hening, dan tentara Atlantis mulai berdatangan dari segala arah.
Suasana berubah menjadi kekacauan. Peluru beterbangan, dan suara dentuman senjata memenuhi udara.
Kaiden, yang berada di luar gudang, berteriak ke arah timnya. “Pertahankan posisi! Jangan biarkan mereka masuk!”
Athena memimpin pasukannya dengan keberanian luar biasa. Ia menggunakan setiap senjata yang bisa ia temukan di gudang untuk melawan tentara Atlantis. Elora, meskipun kecil, menunjukkan keberanian yang tak terduga dengan memanah musuh dari balik peti kayu.
Namun, pasukan Atlantis terus berdatangan, jumlah mereka jauh lebih besar daripada pasukan Athena.
“Kita harus mundur!” teriak Kaiden, darah mengalir dari luka di lengannya.
Athena menggertakkan giginya. Ia tahu Kaiden benar. Mereka tidak bisa memenangkan pertempuran ini, tetapi mereka harus membawa sebanyak mungkin senjata keluar.
“Mundurkan pasukan ke titik pertemuan!” perintahnya. “Bawa senjata sebanyak mungkin!”
Dalam kekacauan itu, beberapa pejuang Athena tertangkap atau gugur. Salah satu dari mereka, seorang pria muda bernama Arel, rela tetap tinggal di dalam gudang, menyalakan bahan peledak terakhir untuk menghancurkan sisa senjata agar tidak jatuh kembali ke tangan Atlantis.
“Arel, jangan!” teriak Athena ketika ia menyadari apa yang akan dilakukan Arel.
“Tidak ada pilihan lain!” balas Arel, tersenyum pahit. “Kita harus membuat ini berarti.”
Athena dipaksa mundur oleh Kaiden, air matanya mengalir saat ia melihat gudang itu meledak, menghancurkan segalanya bersama Arel yang berada di dalamnya.
Pasukan Athena yang tersisa berhasil kembali ke kamp dengan hanya setengah dari jumlah mereka. Wajah-wajah yang dulu penuh harapan kini dipenuhi kelelahan dan kesedihan.
Athena berdiri di tengah mereka, hatinya berat oleh rasa bersalah. “Kita kehilangan banyak hari ini,” katanya dengan suara serak. “Tapi kita juga telah menunjukkan pada Atlantis bahwa kita tidak akan diam saja. Ini baru permulaan.”
Kaiden, meskipun terluka, berjalan mendekat dan meletakkan tangannya di bahu Athena. “Kita berhasil merebut senjata. Kita berhasil menunjukkan bahwa mereka tidak tak terkalahkan. Itu adalah kemenangan, Athena.”
Elora, meskipun wajahnya penuh debu dan air mata, menggenggam tangan Athena. “Kita akan terus berjuang, bukan?”
Athena menatap gadis itu, tekadnya kembali menyala. “Ya. Kita akan terus berjuang. Untuk setiap orang yang telah kita kehilangan. Untuk setiap orang yang masih percaya.”
Malam itu, api unggun di kamp mereka menyala lebih terang dari sebelumnya. Nyala api revolusi telah dinyalakan, dan meskipun jalannya sulit dan penuh pengorbanan, Athena tahu bahwa mereka telah mengambil langkah pertama menuju kebebasan.