Santi sigadis kecil yang tidak menyangka akan menjadi PSK di masa remajanya. Menjadi seorang wanita yang dipandang hina. Semua itu ia lakukan demi ego dan keluarganya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lianali, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 17_Demi Bahagia yang Tertunda
Mental Santi benar-benar rusak, ia tidak tahu lagi bagaimana caranya bahagia. Ia juga bingung bagaimana caranya ia menjelaskan mengenai keputusannya untuk putus sekolah. Terlebih, satu juta uang yang seharusnya untuk membayar tunggakannya sudah ia gunakan untuk menyenangkan hati adik-adiknya.
Sumi memang belum tahu akan hal itu, sebab Santi meminta adik-adiknya untuk tutup mulut mengenai mainan itu. Makanya, mainan-mainan yang tadi siang ia beli sudah ia masukkan ke dalam karung goni, dan menyimpannya di bawah kolong tempat tidurnya. Ia berencana memberitahu semua itu kepada ibunya saat ia punya kesempatan mengobrol berdua dengan ibunya. Tapi sayangnya, sepertinya hari ini bukanlah waktu yang tepat.
Sumi menatap Santi yang hanya berdiri di bibir pintu. Sumi menggerakkan tangannya agar Santi pun turut memeluknya sama seperti kelima adiknya. Tapi Santi malah meninggalkan ruangan itu, dan memilih untuk diam di dalam kamarnya.
“Santi, kamu tidak apa-apa, Nak?” Sumi datang seraya membelai rambut Santi.
Santi menggelengkan kepalanya. “Santi baik-baik saja, Bu.”
“Besok sekolah, ya, Nak. Sekolah yang rajin,” ucap Sumi masih membelai rambut Santi.
Santi mulai menitikkan air mata.
“Kenapa menangis, Nak? Percayalah, Ibu baik-baik saja. Ayahmu hanya terbawa emosi. Lagipula tamparannya tidaklah sakit,” sahut Sumi yang membuat Santi rasanya ingin teriak, agar seluruh dunia tahu bahwa bukan kehidupan seperti ini yang Santi inginkan. Ia ingin punya keluarga harmonis, dan uang yang banyak. Tidak bisakah ia memilikinya sama seperti anak-anak di luar sana? Setidaknya salah satunya. Jika bukan uang berlimpah, minimal keluarga yang harmonis.
“Kenapa harus kita, Bu? Kenapa tidak orang lain saja yang diuji begini, Bu? Kenapa harus kita?” tanya Santi, kini tangisnya sudah pecah.
“Yang sabar, Nak. Nanti kalau kamu sudah tamat sekolah, nasibmu pasti akan berubah.”
“Santi enggak akan tamat sekolah, Bu,” Santi berontak.
“Apa maksudmu, Nak? Kamu pasti tamat, asal kamu rajin sekolah.”
“Rajin aja tanpa uang enggak cukup, Bu. Santi sudah kenyang dihina-hina di sekolah karena miskin, jadi Santi enggak mau sekolah lagi. Santi mau berhenti sekolah.”
“Jangan bicara begitu, Nak. Hargai usaha Ibu untuk mencarikan pinjaman untuk bayar tunggakan mu.”
“Uang yang mana, Bu? Uang ini maksud Ibu?” ucap Santi seraya mengambil karung goni yang berisi mainan dari kolong tempat tidurnya, kemudian mengeluarkan seluruh isinya.
“Ya Allah, apa ini, Nak?” tanya Sumi.
“Ini uang yang Ibu pinjam, sudah Santi belikan mainan untuk adik-adik. Santi enggak mau adik-adik Santi merasai masa kecil yang suram seperti yang dulu Santi rasakan. Santi ingin adik-adik Santi memiliki mainan, bukan seperti Santi waktu kecil yang hanya jadi korban ejekan dan hinaan teman-teman sebab tidak pernah punya sebiji pun mainan. Maafkan Santi, Bu. Santi terpaksa. Santi harus putus sekolah, biarlah adik-adik Santi yang melanjutkan cita-cita Santi jadi sarjana,” ujar Santi, terduduk lemah di lantai.
Di rumah ini hanya ada mereka berdua. Kelima adik Santi sebelumnya sudah disuruh oleh Sumi untuk pergi ke warung membeli jajanan, menggunakan sisa uang yang tadi Pak Jiwo berikan dengan pesan agar itu untuk anak-anak Bu Sumi.
Sebagai seorang ibu, Sumi tahu ada yang tidak beres dengan Santi. Jadilah ia menyuruh anak-anaknya yang lain untuk pergi.
“Maafkan Ibu, Nak. Maafkan Ibu. Itu bukan salahmu, ini semua salah Ibu,” Sumi mendekap Santi ke dalam pelukannya. Ia merasa semua keputusan Santi adalah akibat dari kesalahannya. Ia terlalu miskin untuk disebut sebagai seorang ibu. Ia tidak mampu memberikan kebahagiaan bagi anak-anaknya.
“Maafkan Santi, Bu. Maafkan Santi.”
“Tidak, Nak. Jangan meminta maaf pada Ibu. Ibu yang salah. Ibu yang seharusnya meminta maaf kepada Santi.”
Riski turut menangis dari balik dinding kamar. Ternyata ia tidak ikut pergi ke warung. Ia hanya meminta keempat adiknya saja yang pergi, sedangkan ia memilih untuk tinggal di rumah dan menguping pembicaraan Mbak Santi dan ibunya.
Riski merasa tidak berguna. Ia merasa waktu terlalu lama bergulir. Ia ingin cepat-cepat dewasa agar bisa menafkahi seluruh keluarganya. Ia merasa berkorban untuk keluarga adalah tugas laki-laki, bukan perempuan seperti Mbak dan ibunya.