"Bisakah kita segera menikah? Aku hamil." ucap Shea Marlove dengan kegugupan ia berusaha mengatakan hal itu.
Tak ada suara selain hembusan nafas, sampai akhirnya pria itu berani berucap.
"Jangan lahirkan bayinya, lagipula kita masih muda. Aku cukup mencintaimu tanpa perlu hadirnya bayi dalam kehidupan kita. Besok aku temani ke rumah sakit, lalu buang saja bayinya." balas pria dengan nama Aslan Maverick itu.
Seketika itu juga tangan Shea terkepal, bahkan jantungnya berdetak lebih cepat dari sebelum ia gugup mengatakan soal kehamilannya.
"Bajingan kau Aslan! Ini bayi kita, calon Anak kita!" tegas Shea.
"Ya, tapi aku hanya cukup kau dalam hidupku bukan bayi!" ucapnya. Shea melangkah mundur, ia menjauh dari Aslan.
Mungkin jika ia tak bertemu dengan Aslan maka ia akan baik-baik saja, sayangnya takdir hidupnya cukup jahat. ......
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nagita Putri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 17
Malam itu.
Aslan duduk di sebuah Markas besar miliknya, ia abaikan ponselnya yang sejak tadi bergetar tanda panggilan yang berasal dari Yumna.
Aron mendekati Aslan, ia menuangkan wine ke dalam gelas membuat Aslan membawa gelas itu ke arah bibirnya lalu menyesap minuman itu.
“Penyerangan kita berhasil tuntas Tuan.” Ucap Aron.
Aslan hanya mengangguk tanpa merespon dengan ucapan.
“Lalu Tuan, besok kita punya transaksi di malam hari. Apa Tuan mau ikut hadir?” Tanya Aron.
“Jam berapa?” Tanya Aslan.
“Sekitar tengah malam mungkin hampir jam 12 malam, Tuan.” Ucap Aron.
Aslan menganggukkan kepalanya lagi.
“Ya, aku akan datang untuk melakukan transaksi itu dengan tanganku sendiri. Namun ada hal yang perlu kau cari tahu lebih dulu, tepatnya tentang Shea. Aku tak ingin dia pergi dari kota ini.” Ucap Aslan.
Aron mengerti maksud Aslan.
“Baik Tuan, saya akan melakukan tugas dengan baik. Saya juga akan memantau segala sesuatu yang berkaitan dengan Nyonya Shea.” Ucap Aron.
Aslan memberi kode agar Aron pergi dari hadapannya, membuat Aron undur diri dengan sopan.
Seperginya Aron, tatapan Aslan jatuh pada bingkai foto milik Shea yang selalu jadi kenangan baik untuknya. Kembali Aslan teringat bagaimana Shea menamparnya dengan sorot mata yang dipenuhi oleh kebencian.
“Shea, apa kau sudah lupa bagaimana hubungan kita sangat baik di masa lalu hm? Apa semudah itu bagimu untuk melupakan tentangku hingga bisa menikah dengan pria lain?” Tanya Aslan.
Aslan berbicara dengan bingkai foto itu, seakan ada Shea di hadapannya.
Tadinya Aslan senang sekali bisa bertemu Shea setelah sekian lama, ia menantikan Shea membalas pelukannya dan berteriak bahagia karena juga merindukannya ternyata Aslan salah. Shea malah sangat membencinya.
Bukan hal sulit bagi Aslan bisa menerobos masuk ke Apartemen itu usai mengetahui keberadaan Shea, kini apapun bisa Aslan lakukan. Bahkan ia akan memiliki Shea kembali dan itulah tekad Aslan.
Jika Shea sudah tak lagi mencintai Aslan maka Aslan akan membuat Shea jatuh cinta kembali seperti awal mereka bertemu.
Tiba-tiba ponsel Aslan bergetar lagi, namun Aslan tak berniat mengangkatnya sama sekali. Ia terus mengabaikan panggilan yang berasal dari Mommy nya itu.
\*\*\*
Yumna mengepalkan tangannya setelah mendengar ucapan seorang pria yang ia minta untuk mencari tahu tentang Aslan, pria itu mengatakan kalau Aslan berkunjung ke sebuah Apartemen dan saat disana pria itu segera mencari tahu siapa nama pemilik Apartemen yang Aslan kunjungi.
Shea Marlove lah sosok yang ada disana.
Lihat sekarang saja panggilannya masih diabaikan oleh Aslan.
“Wanita sialan itu lagi yang kau utamakan, apa kau bodoh Aslan? Wanita seperti dia itu banyak, dia hanya wanita rendahan. Shea tidak pantas untukmu!” Ucap Yumna.
Yumna membenci Shea, ia sangat benci dengan Shea seolah kebenciannya sudah mendarah daging.
Tubuh Yumna berbalik, ia menatap pria yang masih berada di belakangnya.
“Apa yang membawa Shea datang kesini? Apa kau sudah mencari tahunya?” Tanya Yumna.
“Ya Nyonya, dia datang untuk menemui seseorang di panti asuhan. Tujuan perempuan itu memang panti asuhan, saya menemukan informasi ini dari ketua panti itu.” Ucapnya.
Yumna semakin emosi mendengarnya.
Sejenak ia diam bersama amarahnya sampai akhirnya Yumna berucap memberi perintah.
“Bakarlah panti asuhan itu malam ini, buat saja seolah semuanya terjadi karena keteledoran pihak panti. Aku tak akan mau Shea mendapatkan informasi apapun dari panti asuhan itu, biarkan sampai akhir ia tak menemukan siapa keluarganya. Tak pantas wanita rendahan itu memiliki keluarga, nyatanya ia hanya berhak punya kehidupan yang kacau.” Ucap Yumna.
Semakin mengingat wajah Shea maka semakin mendarah daging pula kebencian Yumna pada Shea.
“Baik Nyonya, saya akan langsung melakukan tugas yang Nyonya perintahkan pada saya.” Ucap pria itu lalu pergi.
\*\*\*
Ditempat lain.
Houston.
Sean berada dalam kamarnya, ia memeluk bingkai foto dimana ada ia dan Shea disana.
“Mom, tidak bisakah untuk tak membuatku cemas?” Tanya Sean.
Tatapan Sean hanya memandang langit-langit kamarnya, tampak Sean memejamkan matanya. Ia jadi teringat oleh ucapan orang tua dari temannya.
‘Sean itu tidak punya wajah yang mirip dengan Daddy nya kan? Dari warna rambutnya saja sudah sangat berbeda lalu dia terlalu mandiri untuk Anak seusianya.’
‘Benar, ditambah Mommy nya Sean tak mau bergaul dengan kita aku yakin kalau Sean hanya Anak yang dipungut.’
‘Hm, orang kaya memang begitu. Anak bukanlah hal yang penting.’
Hembusan nafas Sean terdengar, ia jadi tak bisa tidur.
Matanya terbuka lagi.
Ia menuruni ranjang tidurnya lalu melangkah menuju ke arah kamar milik Matthew dan Shea, Sean segera naik ke ranjang itu. Wangi rambut milik Shea masih ada di atas bantal milik Shea.
“Mom, aku Anaknya Mommy dan Daddy kan? Iyakan? Mommy dan Daddy begitu sayang denganku, artinya aku Anak kalian.” Ucap Sean bermonolog.
Menghirup wangi Shea akhirnya mampu membuat Sean memejamkan matanya dengan nyaman, bahkan nafasnya teratur hanya hitungan detik.
\_\_\_\_\_\_\_\_
Pagi itu.
Harum masakan masuk ke dalam kamar, Shea langsung membuka matanya yang terasa cukup berat. Ia menemukan Matthew meletakan nampan berisi makanan ke meja.
“Good morning, Love.” Sapa Matthew dengan nada yang lembut.
Shea tersenyum mendengar sapaan Matthew.
“Morning, Matthew.” Balas Shea.
Shea bangkit dari posisinya, ia duduk bersandar di ranjang itu.
“Maaf karena membuatmu menyiapkan sarapan, kau juga jangan lupa sarapan Matt. Setelah ini aku akan…”
“Tak perlu Love, aku sudah sarapan roti dan susu pagi ini. Sekarang kau yang sarapan, aku tak mau kau sakit.” Ucap Matthew penuh perhatian.
Lihat, bagaimana bisa Shea berbuat jahat dengan Matthew. Pria ini terlalu baik, tak sehat bagi Shea kalau terus berada di Los Angeles karena Aslan adalah pria pemaksa.
Shea yakin kalau Aslan tak akan mungkin menyerah setelah bertemu kembali dengan Shea, apalagi saat Shea mengingat soal kemarin.
Kemarin saja Aslan sudah mencium Shea dengan brutal lalu nanti apalagi? Shea tak mau kalau hidupnya terganggu dengan sikap Aslan, jadi ada baiknya Shea kembali lagi ke Houston. Itu sudah pilihan yang paling tepat.
Matthew bersiap menyuapkan makanan untuk Shea, dengan rasa senang Shea menyambutnya.
“Jangan sakit Love, aku benar-benar cemas kalau merasakan tubuhmu hangat seperti tadi malam.” Ucap Matthew.
“Hmm.” Balas Shea.
Tangan Shea terulur mengusap rahang tegas Matthew.
“Terima kasih ya Matt.” Ucap Shea.
Matthew mengangguk.
“Hmm, tapi Love tolong berhentilah untuk mengatakan terima kasih padaku. Aku ini suamimu jadi wajar kalau aku mencemaskanmu.” Ucap Matthew.
Shea memilih diam setelah mendengar ucapan Matthew, tampak Matthew mendekat ke wajah Shea lalu memberikan kecupan lembut di kening Shea.
“Kalau setelah minum obat masih sakit, maka kita tunda pergi ke pantinya ya Love.” ucap Matthew.
Shea menggeleng.
“Tidak Matt, aku mau tetap hari ini juga ke panti. Sekarang saja aku sudah merasa lebih baik, kau telah merawatku.” Ucap Shea.
Matthew hanya bisa menghela nafasnya.
“Ya, baiklah. Apapun maumu, aku hanya bisa menurut.” Ucap Matthew.
\*\*\*\*
Shea dan Matthew berada di lokasi itu, hanya ada puing-puing yang berjatuhan sisa kebakaran ditambah cukup banyak orang disana.
Matthew yang paham kondisi Shea segera menggenggam tangan Shea.
Salah satu petugas kebakaran ditahan oleh Matthew.
“Apa yang telah terjadi disini?” Tanya Matthew.
“Panti ini terbakar, dugaan mengatakan kalau penyebab kebakaran adalah bagian dapur yang masih menghidupkan kompor.” Ucapnya.
Shea ikut bertanya.
“Bagaimana dengan Anak-anak panti disini?” Tanya Shea.
“Untuk saat ini semuanya dinyatakan tewas, kejadiannya terjadi tadi malam. Kami belum menemukan satupun yang masih hidup, apalagi kalau dilihat dari kondisi kebakaran ini. Rasanya tak mungkin.” Ucap pria itu.
Tubuh Shea menjadi lemas, ia tak bisa membayangkan bagaimana sosok Anak-anak yang sedang terlelap tidur malah terbakar di api yang berkobar.
‘Ya Tuhan, kenapa ini bisa terjadi?’ Tanya Shea membatin.
Cukup pilu membayangkan betapa mengerikannya hal itu.
Matthew langsung memeluk Shea, ia merasakan kalau perempuan itu hampir saja terjatuh.
Pelukan itu terasa nyaman membuat Shea membalasnya.
“Matthew, bagaimana ini?” Tanya Shea cemas.
Air matanya luruh begitu saja, tangan Matthew mengusap puncak kepala Shea dengan lembut.
“Jangan sedih Love, apapun yang terjadi adalah takdir. Aku memahami perasaanmu.” Ucap Matthew.
Shea lebih dulu melepaskan pelukan itu, tiba-tiba matanya menatap sebuah mobil mahal yang baru saja berhenti disana juga.
Sosok pria turun, dia adalah Aslan.
Tatapan Shea menyorot pada Aslan yang juga langsung melihatnya. Tatapan mereka saling bertemu dengan sorot mata yang berbeda.
Jika Aslan tampak bahagia menatap ke arah Shea, maka tidak dengan Shea yang begitu dipenuhi amarah hanya karena melihat adanya Aslan disana.
Aslan bisa memperhatikan bagaimana Matthew mendekap pinggang Shea.
Jelas Aslan tak terima untuk itu.
‘Untuk apa dia datang kesini?’ Tanya Shea membatin.
Aslan melengkungkan senyum pada Shea, ia berusaha menahan rasa cemburu dihatinya.
‘Aku merindukanmu Shea.’ Ucap Aslan melalui gerakan mulutnya.
Hanya hitungan detik bagi Shea melepaskan tautan tatapan mata itu, ia kembali masuk dalam pelukan Matthew.
“Matt, ayo kita kembali ke Apartemen saja.” Ajak Shea.
“Hmm, okey Love.” Balas Matthew.
Matthew langsung menggendong Shea, ia tahu Shea tak akan mampu melangkah saat melihat keadaan panti itu tak lagi berbentuk bangunan.
Rahang Aslan seketika itu juga langsung mengeras, ia tatap punggung Matthew semakin jauh membawa Shea hingga masuk ke dalam sebuah mobil.
“Shea hanya milikku!” Gumam Aslan.
Bahkan tangan Aslan terkepal dengan kuat.
Bersambung…