KESEMPATAN KEDUA

Mata keduanya memandang sengit. Meskipun dengan satu kedipan mata Adila bisa saja langsung menangis tapi dia sama sekali tidak takut sedikitpun.

Penyakit gagal ginjal stadium lima saja sudah ia rasakan bahkan di ambang kematian pun telah ia coba, tidak akan ada yang membuat dia takut lagi.

"Aku bukan barang!! aku tidak butuh pemilik, aku bisa tegak sendiri tanpa kamu." Ucap Adila yang tentu saja menyentil harga diri Joan sebagai tempat sandaran Adila selama ini.

"Begini ya kalau sudah merasa tinggi, kamu lupa siapa yang membantu kamu berdiri saat kamu jatuh. Siapa yang menolong kamu saat kamu depresi dulu? Siapa yang membelikan mu makanan saat kamu sakit sendirian di apartemen? Jika bukan karena aku, kamu sudah mati dari dulu." Joan mulai mengungkit ungkit hal hal yang ia lakukan untuk Adila.

Tangan Adila yang mencoba melepaskan cengkraman Joan pun berubah menjadi cengkraman balik pada tangan Joan, bahkan kuku Adila yang baru di warnain pun masuk menembus kulit Joan hingga mengeluarkan darah.

"Lebih baik aku mati saat itu dari pada harus bertemu dengan kamu." Adila berkata dengan intonasi yang rendah penuh penekanan, matanya menatap semakin tajam pada Joan.

Joan melepaskan tangan Adila yang ia cengkram, lalu ia menepis tangan Adila yang mencengkram tangannya.

"Jika kamu merasa aku selama ini bergantung padamu maka hari ini aku katakan, bukan aku yang bergantung padamu tapi kamu yang menjadi parasit dalam hidupku. Kamu mengatakan bahwa kamu menolongku saat aku depresi, apakah kamu melihat aku sembuh dari depresi? apakah kamu lihat aku menjadi lebih baik? Aku semakin stres Joan, aku jadi ketergantungan denganmu, aku menjadi takut kehilanganmu dan karena itu aku selalu memberikan apa yang kamu mau."

"Apakah kamu pikir aku tidak menyadari bahwa selama ini kamu hanya memerasku? kamu memilih tempat yang mahal karena gengsi lalu mengatakan bahwa lupa membawa dompet, ah Bulshit!!!"

Joan benar benar terdiam mendengar ucapan Adila. Sebenarnya apa yang dikatakan Adila memang benar adanya tapi entah kenapa Joan masih terus menyangkal hal itu.

"Lalu kamu pergi dengan sahabatku dengan mobil yang aku beli?! kamu pikir aku bodoh! aku tau hubungan kalian selama ini, aku tau kalian selalu berkencan di belakangku. Aku bertahan terus bertahan dengan hubungan toxic ini, berpikir suatu hari pacar dan sahabatku sadar bahwa selama ini mereka menyakitiku." Nafas Adila tersengal sengal setelah mengeluarkan unek uneknya.

"Sekarang aku sudah sadar ternyata percuma saja bertahan, selamanya aku hanya akan menjadi pohon yang menampung benalu, sampai pohon itu mati benalu itu tetap akan tinggal disana."

"Kita putus, ini keputusanku dan aku tidak memerlukan izinmu sama sekali."

Setelah itu Adila masuk dalam mobil dan menghidupkan mobilnya. Adila menekan tombol klakson berulang kali untuk mengusir Joan yang masih terdiam di depan mobilnya.

Joan minggir sedikit dan Adila langsung menancap gas lalu pergi meninggalkan Joan di parkiran.

Adila memukul mukul setir melampiaskan perasaan yang ia rasakan. Meskipun dia sudah mengeluarkan semuanya tapi rasa sakit itu tetap ada.

Perasaan kesepian itu masih teringat jelas, bagaimana selama berpuluh puluh tahun dia habiskan untuk melawan penyakitnya sendiri sedangkan suami dan sahabatnya malas bersenang senang berdua.

.

.

bersambung

jangan lupa like and vote ya

salam hangat dari author