NovelToon NovelToon
KARMAPHALA: SAHEN PANGERTOS

KARMAPHALA: SAHEN PANGERTOS

Status: sedang berlangsung
Genre:Action / Fantasi / Fantasi Timur / Budidaya dan Peningkatan / Perperangan / Pusaka Ajaib
Popularitas:27.2k
Nilai: 5
Nama Author: Altairael

Bumirang Tunggak Jagad terlahir dengan menanggung kutukan karmaphala yang turun temurun diwariskan oleh leluhurnya. Di sisi lain, dia juga dianugerahi keistimewaan untuk bisa menghapus karmaphala tersebut karena terlahir dari satu-satunya keturunan perempuan. Dia juga dianugerahi wahyu agung oleh semesta karena pengorbanan kedua orang tuanya.

Dia harus mengembara sambil menjalani berbagai macam tirakad serta melakukan banyak kebajikan sebagai upaya untuk menghapus karmaphala bawaan tersebut. Pemuda itu pun disinyalir sebagai utusan semesta yang akan meruntuhkan sang penguasa lalim.

Akan tetapi, musuh yang harus dia hadapi tidak hanya sang raja lalim beserta para pengikutnya, tetapi juga dirinya sendiri. Dirinya yang penuh amarah, Baskara Pati

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Altairael, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

DESA NGALUN DALU

Malam sudah menjelang. Di awang-awang kelam, ditemani satu dua bintang, bulan sabit terlukis melengkung tipis. Karena kehadiran sang bulan sabit, di setapak belantara Bumirang harus berjalan mundur sebanyak seratus langkah sesuai arahan Eyang Pamekas.

Kamandaka yang mengira Bumirang sedang main-main, mengikuti sambil mengomel, "Malah main-main. Jalan mundur kapan sampainya? Di depan situ sudah perkampungan, kalau begini kan jadinya malah menunda." Setelah itu dia merengek, "Aku lapar, Bumirang. Lapar sampek kakiku lemes." Dia sengaja membuat langkahnya loyo supaya Bumirang percaya.

Tabiat Kamandaka sudah dihafal Bumirang. Untuk urusan yang lain, pemuda itu bisa sabar, tetapi untuk urusan perut akan terus merengek dan menjengkelkan. Bumirang tertawa ringan, lalu berkata, "Kamu tidak perlu ikut jalan mundur. Maju dan tunggu di luar hutan."

"Hah! Kenapa tidak bilang dari tadi?! Dasar aneh!" Kamandaka mendelik tajam, lalu membuang muka dan berjalan maju dengan langkah-langkah lebar.

"Tunggu di luar hutan, jangan ke mana-mana. Dengar itu, Kamandaka."

"Aku tau! Sudah sana lanjutkan main-mainnya! Dasar aneh!"

Menyaksikan Kamandaka berjalan cepat tanpa mengalami kesulitan bahkan di dalam pekat, Bumirang hanya menyungging senyum tipis penuh arti, sedangkan perkara yang cukup rumit disimpannya di dalam hati.

Bumirang sendiri cukup sulit untuk mendeskripsikan situasinya. Sejak pertama kali bertemu, dia sudah kesulitan menembus hati dan pikiran pemuda itu karena terhalang kabut. Namun, ketika dia menggunakan rambut untuk membungkusnya, kenangan masa lalu yang tersimpan dalam ingatan Kamandaka, menampakkan diri tanpa diminta.

Bumirang pikir setelah peristiwa itu kabut dalam diri Kamandaka akan menghilang bersama dengan perginya Kidung Tilar, tetapi nyatanya tidak. Sekarang, kabut itu justru semakin tebal dan sangat kukuh membentengi. Pola tidurnya pun telah berubah, sekarang dia bisa tidur nyenyak di malam hari. Dan yang barusan, saat dia berjalan sendirian dalam gelap tanpa kesulitan. Itu jelas tidak mungkin terjadi bila Kamandaka hanya manusia biasa.

Dia baru saja menyadari hal itu karena selama ini selalu bersama-sama dengan Kamandaka. Selama ini Bumirang mengira berkat bantuannyalah Kamandaka bisa melihat dalam gelap. Namun dengan kejadian barusan, dia menjadi ragu bahwa Kamandaka butuh bantuannya untuk melihat dalam gelap .

Terus berjalan mundur sambil mengingat dan mereka-reka, tanpa terasa hitungan langkah sudah mencapai seratus. Bumirang menoleh ke kiri dan ke kanan, memilih dan memilah jalan mana yang akan dia lalui untuk melanjutkan perjalanan.

Di saat Bumirang baru saja memutuskan untuk mengayun langkah ke sebelah kanan, Kamandaka yang tadi berjalan tergesa-gesa sekarang sudah sampai di tepi hutan. Dia celangak-celinguk mencari tempat duduk untuk menunggu Bumirang, ada sebuah angkringan dari anyaman bambu di tepi jalan masuk desa. Sepertinya itu pos ronda karena ada beberapa orang pria sedang duduk-duduk di sana. Ada obor di digantung di tiang sehingga Kamandaka bisa melihat mereka dengan jelas.

Merasa tidak memiliki niat jahat, Kamandaka pun berjalan menghampiri mereka tanpa takut. Namun, begitu orang-orang yang berjumlah empat itu melihat Kamandaka, mereka langsung serempak mendekat, lalu meringkusnya.

"Eh, eh, ada apa ini? Aku mau diapakan?" Kamandaka tidak bisa berontak karena keempat orang itu mengangkatnya masing-masing di kaki dan tangan, seperti menggotong binatang buruan yang mau dipanggang.

"Diam!"

"Tidak peduli kamu siapa. Kalau mau masuk atau melewati desa kami harus menghadap Raden Sono Baur dulu."

"Tapi aku harus menunggu temanku! Dia masih di dalam hutan! Lagi pula, aku bisa jelan sendiri, kalian tidak perlu repot-repot menggotongku!"

Keempat orang itu melempar Kamandaka ke atas angkringan dan langsung saja pemuda itu bangun, lalu duduk bersila sambil menatap tajam orang-orang bertampang kasar yang juga menatapnya.

"Kalian berani sekali kasar padaku." Kamandaka melipat tangan di depan dada, matanya memyipit dan menatap semakin tajam.

Keempat laki-laki itu serempak tergelak-gelak, lalu salah seorang mencemooh, "Kenapa kami harus tidak berani? Memangnya kamu siapa, huh?"

"Aku, aku ...." Kamandaka sepertinya tidak tahu harus mengatakan apa, tetapi ketika teringat Bumirang, dia langsung menceletuk dengan nada bangga, "Aku teman baiknya Bumirang."

Keempat laki-laki itu pun kembali terbahak-bahak. Seseorang menghampiri Kamandaka, mencubit dagunya, lalu menaikan sedikit supaya bisa memperhatikan wajahnya dengan saksama.

"Kulit yang bagus, wajah juga tampan. Aku rasa Nyai Basingah akan menyukaimu.

Mendengar nama Nyai Basingah, tubuh Kamandaka membeku dengan sensasi pecah pada persendian. Namun wajahnya tetap terlihat bodoh dan lugu.

"Aku rasa juga begitu." Salah seorang menimpali. "Kulitnya terlalu bersih untuk seorang pengembara. Penampilannya juga lebih mirip aden-aden."

"Ketampananku masih belum seberapa. Bumirang jauh lebih tampan. Percayalah. Tunggu sebentar lagi kalian akan bisa membuktikan ucapanku."

Kamandaka berhasil membuat mereka sibuk meladeni omong kosongnya, sampai-sampai tidak menyadari Bumirang sedang melangkah menghampiri.

"Astu dalu, Kisanak sekalian."

Keempat laki-laki itu serta-merta menoleh dan langsung terpaku menatap Bumirang, pun tanpa berkedip. Satu hal yang sama melintas dalam benak mereka, Nyai Basingah pasti sangat menyukai pemuda itu.

"Bumirang. Mereka menangkapku." Kamandaka mengadu dan merengek seperti anak kecil, lalu tiba-tiba meloncat dari angkringan. Mendarat di samping Bumirang dan memeluk lengannya erat-erat.

Pergerakan Kamandaka yang mirip angin topan pun mengagetkan keempat laki-laki tersebut. Namun, mereka tidak melakukan apa-apa selain menatap lekat-lekat dua pemuda itu.

"Apakah temanku sudah membuat masalah, Kisanak? Kalau iya, aku minta ma---"

Kamandaka tiba-tiba menutup mulut Bumirang. "Jangan minta maaf. Aku tidak membuat masalah. Merekalah yang mencari gara-gara, tiba-tiba menangkapku padahal aku hanya ingin numpang duduk."

Senyum tipis menghiasi wajah Bumirang. "Mungkin kamu tanpa sengaja sudah membuat mereka merasa terusik. " Setelah itu, dia kembali berbicara kepada orang-orang tersebut, "Apakah orang asing dilarang memasuki desa ini? Kalau iya, sebaiknya kami lewat jalan lain saja."

"Tunggu dulu!" Orang yang paling tinggi dan berotot berseru. "Sudah sampai di sini, lebih baik kami antar kalian ke kediaman Raden Sono Baur."

Nama itu disebut, cuping telinga Bumirang langsung berkedut. Dia belum lupa di mana dan kapan pernah mendengar nama itu. Sudah nyaris genap satu putaran bulan yang lalu di Desa Janur. Itu berarti, desa ini adalah Desa Ngalun Dalu.

(satu putaran bulan maksudnya siklus peralihan fase, dari bulan mati, sabit, purnama, pudar)

Bagus. Bumirang membatin. Di saat yang sama Kamandaka berbisik, "Aku lapar."

Suara Kamandaka terlalu kencang untuk sebuah bisikan. Keempat laki-laki itu bisa mendengarnya dan salah seorang langsung mengambil kesempatan dengan berkata, "Di kediaman Raden Sono Baur banyak makanan enak. Kamu bisa makan sepuasnya.

Mata Kamandaka langsung berbinar. Dia pun segera menghampiri keempat laki-laki itu. "Aku ikut kalian." Kemudian menoleh ke Bumirang dan menatap mengiba. "Aku sangat lapar."

Bumirang tersenyum maklum, lalu mengangguk. Setelah itu, berjalan di belakang mereka tanpa mengatakan apa pun. Sementara Kamandaka, berjalan di depan dan terus mengajak salah satu dari mereka berceloteh. Melihat raut wajah orang itu tampak bosan, Bumirang hanya bisa merasa kasihan.

Mereka berjalan menyusuri jalan desa yang sangat sunyi dan gelap. Api obor hanya menerangi di sekitar mereka saja, sedangkan rumah-rumah penduduk yang lebih mirip gubuk reyot, tampak seperti tidak berpenghuni karena tidak ada cahaya sedikit pun. Padahal sekarang belum larut malam. Apakah mereka sudah pada tidur?

Sepanjang perjalanan Bumirang tidak menemukan kehidupan lain, selain mereka. Namun, ketika sudah hampir sampai tujuan, sebuah bangunan mewah dengan pendopo luas diterangi banyak obor, semarak dengan suara gamelan dan para penari yang sedang melanggak-lenggok. Para pria terhormat dengan tidak tahu malu mengiringi sambil tangannya bergentayangan di tubuh molek sang penari.

Pemandangan ini sungguh sangat kontras dengan yang Bumirang saksikan di sepanjang perjalanan. Hanya kehidupan malam saja sudah seperti ini perbedaannya, Bumirang jadi tidak berani memikirkan atau membayangkan kehidupan mereka di siang hari.

"Lewat sini." Salah satu dari mereka mengarahkan, sekaligus menyadarkan Bumirang dari pergumulan hati.

Mereka dibawa masuk ke sebuah rumah kecil melewati samping rumah utama yang sedang digunakan untuk berpesta. Di rumah kecil itu Bumirang dan Kamandaka ditinggalkan.

"Raden Sono Baur mungkin belum bisa menemui kalian malam ini. Jadi kalian harus menginap. Setelah makan, pelayanan akan menunjukkan kamar tidur kalian." Begitulah salah seorang dari mereka menyampaikan sebelum akhirnya pergi.

Dua pelayan perempuan menghidangkan makanan untuk mereka, setelah itu lagi-lagi mereka ditinggal hanya berdua saja. Sementara Kamandaka makan sangat lahap, Bumirang justru hanya duduk diam dan tidak menyentuh apa pun. Bukan karena khawatir makanan itu diracun atau apa, melainkan karena dia tahu pasti dari mana bahan makanan itu diperoleh.

Melihat Kamandaka yang sudah makan sangat banyak masih hendak tambah lagi, Bumirang segera menegurnya, "Makan secukupnya saja."

"Tapi aku masih lapar." Kamandaka membalas dengan mulut penuh, sampai ada yang tersembur. Setelah itu, dia pun mulai pasang wajah memelas. "Biasanya juga aku yang makan jatahmu kalau kamu tidak mau makan," ujarnya dengan bibir mencembik.

Bumirang tidak mengatakan apa-apa. Hanya terus menatap dengan sorot mata sendu hingga akhirnya Kamandaka menyerah. Berhenti makan dan mencuci tangan di wadah air kobokan dengan bersungut-sungut, sampai airnya muncrat membasahi meja.

Prang ....

Terdengar suara benda pecah belah jatuh. Entah di mana. Kejadian itu sangat ampuh menghentikan aksi merajuk Kamandaka. Pemuda itu langsung menghampiri Bumirang dan bersembunyi di belakang punggungnya.

"Bumirang, suara apa itu?"

"Paling ada yang tidak sengaja menjatuhkan sesuatu. Abaikan saja. Ayo, rapikan mejanya."

Sebelum Kamandaka sempat menuruti perintah Bumirang, tiba-tiba terdengar suara perempuan menangis dan memohon-mohon.

"Jangan, Raden. Tolong kasihani rakyat jelata ini."

Plak ....

"Aaa!"

"Diam dan menurut saja!"

Suara tamparan disusul jerit kesakitan, lalu diikuti bentakan laki-laki. Tubuh Bumirang menegang, sedangkan Kamandaka semakin rapat bersembunyi di punggungnya.

"Bumirang, aku takut."

"Aden-aden sudah selesai makan."

Seorang pelayan perempuan tiba-tiba muncul, membuat Kamandaka terlonjak kaget dan hampir saja memekik, untung Bumirang sigap membungkam mulutnya.

Pelayan itu tersenyum tipis. "Mari saya antar ke kamar untuk beristirahat," ujarnya kemudian.

Bumirang segera menggandeng tangan Kamandaka yang gemetaran. Selagi mereka berjalan meninggalkan ruangan, suara perempuan menjerit-jerit terdengar lantang. Namun, sepertinya mereka yang ada di rumah ini sengaja menulikan telinga.

Kali ini, Bumirang dan Kamandaka dibawa ke sebuah rumah yang cukup besar dan bagus. "Silakan. Aden-aden bebas ingin mengunakan kamar yang mana pun. Saya permisi dulu."

Bumirang menatap kepergian perempuan itu dengan perasaan mengganjal. Ada sesuatu yang tidak benar karena pelayan itu hanya mengantar sampai di pintu saja, lalu caranya berjalan pergi seperti sedang ketakutan.

"Wah, rumahnya bagus." Kamandaka yang sudah berada di dalam berujar kagum. Mudah sekali dia melupakan ketakutannya barusan.

Bumirang yang baru hendak melangkahi ambang pintu tiba-tiba mematung saat ada suara perempuan berbisik, tetapi suara itu terdengar seperti mengalir di udara dan merambat pada dinding dan lantai.

"Simrah .... Pardi netih simrah .... Simraaah .... Simraaah .... Netih. Pardi netih ...."

[Simrah: darah | Pardi: aku | Netih: haus]

1
Mata Peña_✒️
penataan tulisannya menunjukkan bukan author kaleng2, luar biasa..
Alta [WP: Yui_2701]: Hanya penulis yang sedang mencoba peruntungan Kak. Pengen ceritanya dibaca banyak orang sekaligus bisa ngasilin duit 😁😁😁😁 Maksih udah mampir dan kasih dukungan🥰
total 1 replies
Andini Andana
jangan berharap terlalu tinggi Tilar, tak mudah mengelabui Bumirang 😋😜
Andini Andana: /Facepalm//Facepalm//Facepalm//Facepalm/
Alta [WP: Yui_2701]: 🙈🙈🙈🙈🙈🙈🙈🙈🙈 kayaknya iya
total 8 replies
Andini Andana
wkwkwk.. tuh demit kena mental /Facepalm//Facepalm//Joyful//Joyful//Joyful/
Alta [WP: Yui_2701]
Aku aja meleyot ke kakek Jati👍🤭🤭🤭🤭
Alta [WP: Yui_2701]
Kwkwkwkwkwkw 🤣🤣🤣🤣🤣🤣🤣
Andini Andana
kaleeemmm egen...stay cool /Casual//Casual//Casual/
Andini Andana
hahaha... gimana kalau gada nya di hantam ke kepala Raden Sarji, kebayang kaannn... 😜😜
Alta [WP: Yui_2701]: Mauku gitu, tapi Ki Jati gak mau🥲🥲🥲🥲
total 1 replies
Andini Andana
eciiiyyeeee... ini yg disebut gurih2 kelapa, makin tua makin banyak santan nya, ahaayyyyy... 😋😋😋
Andini Andana
ini gambaran bukan di dunia gaib aja tapi di kehidupan nyata juga kok 🏃🏃🏃🏃
AFighter
Sudah kuduga. Btw, selamat berurusan dengan Kamandaka yang sekarang, ya, Tilar/Facepalm//Facepalm//Facepalm//Facepalm//Facepalm//Facepalm/
Alta [WP: Yui_2701]: 🤣🤣🤣🤣🤣
total 1 replies
Anny
Semangat lanjut Thor kesayangan /Tongue//Tongue//Tongue//Tongue//Tongue/
Alta [WP: Yui_2701]: Makasih Kak An🥰🥰🥰🥰🥰
total 1 replies
AFighter
Langsung jadi demit geprek 🤣🤣🤣🤣🤣
Alta [WP: Yui_2701]: Ya Allah ngakak🤣🤣🤣🤣🤣
total 1 replies
Anny
Keren Pak Jati 👏👏👏👏
AFighter
Karakternya kuat sekali/Good/
AFighter
Yah gitu aja lemes, mulutnya doang besar
AFighter
Waduh😱😱😱 tapi masih masuk akal sih. Dia kan di alam gaib nempa batu 20 tahun lebih. Dasarnya dia juga punya ilmu karunagan. Jadi kayak Gatot Kaca, otot kawat tulang besi💪💪💪💪
Alta [WP: Yui_2701]: Yups. 😁
total 1 replies
Windy Veriyanti
Ki Jati menunjukkan kekuatannya ✊👊
Windy Veriyanti: benerrrrr 👍
Alta [WP: Yui_2701]: Biar kapok 😁😁😁
total 2 replies
AFighter
Kapok, berharap kena kepalanya biar mampos
Alta [WP: Yui_2701]: 🤣🤣🤣🤣🤣🤣🤣🤣
total 1 replies
AFighter
Dasar keparat pembohong besar🤜🤜🤜🤜🤜
Andini Andana: wah..ada yg esmosi 🤣🤣🤣
AFighter: /Facepalm//Facepalm//Facepalm//Facepalm//Facepalm//Facepalm//Facepalm//Facepalm//Facepalm//Facepalm//Facepalm/
total 3 replies
Windy Veriyanti
berkah Gusti senantiasa menaungimu, Ki Jati 🌹
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!