Medina panik ketika tiba-tiba dia dipanggil oleh pengurus pondok agar segera ke ndalem sang kyai karena keluarganya datang ke pesantren. Dia yang pernah mengatakan pada sang mama jika di pesantren sudah menemukan calon suami seperti kriteria yang ditentukan oleh papanya, kalang kabut sendiri karena kebohongan yang telanjur Medina buat.
Akankah Medina berkata jujur dan mengatakan yang sebenarnya pada orang tua, jika dia belum menemukan orang yang tepat?
Ataukah, Medina akan melakukan berbagai cara untuk melanjutkan kebohongan dengan memanfaatkan seorang pemuda yang diam-diam telah mencuri perhatiannya?
🌹🌹🌹
Ikuti terus kisah Medina, yah ...
Terima kasih buat kalian yang masih setia menantikan karyaku.
Jangan lupa subscribe dan tinggalkan jejak dengan memberi like dan komen terbaik 🥰🙏
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Merpati_Manis, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tujuh Belas
Medina yang tengah kesal setengah mati mengabaikan begitu saja ketika pintu kamarnya diketuk oleh seseorang dari luar. Gadis itu masih manyun dengan netra yang terus menatap layar ponselnya yang menampilkan foto diri Hamam. Sepertinya, Medina masih mengharapkan kelanjutan chat dari pemuda yang telah berhasil membuat gadis itu menjadi gelisah setengah mati.
Barulah ketika pintu kamarnya dibuka oleh seseorang, Medina memutar leher, dan menoleh ke arah pintu yang kembali ditutup.
"Lagi ngapain, sih, Kak? Melamun, ya? Kasihan tahu, Kak Hamam sedari tadi di depan pintu ketok-ketok, tapi enggak Kakak bukain!"
"Hah! Jadi, yang tadi ketuk pintu Kang Hamam?"
"Heem."
"Yang benar, Lea?"
"Bener, Kak. Ish, Kak Dina, nih. Masak sama putrinya ayah Iqbal yang paling cantik ini enggak percaya!" protes gadis remaja itu dengan bibir mengerucut.
"Iya-iya. Kakak percaya, Dik."
"Nih, Kak Hamam nitipin ini sama Lea." Azalea lalu menyodorkan amplop tipis berwarna putih yang tadi dititipkan Hamam padanya.
"Apa ini, Dik?"
"Uang mahar kali," jawab gadis remaja itu dengan asal lalu terkekeh geli sendiri.
"Buka aja, Kak. Palingan juga surat cinta. Tadi, sih, Kak Hamam bilangnya gini; nitip ini buat calon bidadari syurga kakak, ya."
"Halah, pasti itu karangan kamu belaka!" Medina mencibir, tetapi sesungguhnya hati gadis itu berbunga-bunga.
"Beneran, Kak. Lea aja meleleh dengernya."
"Eh, apa kamu bilang? Meleleh? Jangan genit-genit, ya, sama Kang Hamam!'
"Kalau dianya mau digenitin, kenapa enggak?" Azalea semakin terkekeh melihat kecemburuan sang kakak sepupu.
"Awas aja, ya, kamu, kalau sampai berani godain Kang Hamam!" ancam Medina. "Udah-udah, sana pergi!" usirnya kemudian karena sudah tidak sabar ingin membuka surat dari pemuda misterius itu.
Ya, bagi Medina, sikap Hamam itu sangat misterius. Medina yang sudah banyak mengenal karakter laki-laki, sampai tak bisa membaca sikap Hamam padanya. Hal itu membuat Medina uring-uringan sendiri karena terkadang Hamam seperti serius dan memberikan harapan, tetapi terkadang juga cuek seolah tidak membutuhkan.
"Yey ... Kak Dina udah bucin, nih, ternyata. Katanya enggak mau, tapi ternyata malu-malu meong," ledek Azalea sebelum membuka pintu kamar Medina.
"Oh, ya, Kak. Kenapa, sih, Kak Dina ndekem mulu di kamar? Dicariin, tuh, sama saudara-saudara yang lain," lanjut gadis remaja itu sebelum menutup pintu kamar sang kakak sepupu.
"Nanti kakak keluar kalau mood kakak udah baik," balas Medina.
Setelah kepergian sang adik sepupu yang super centil itu, Medina buru-buru membuka amplop tersebut. Berdebar jantung Medina membuka lembar putih yang terlipat rapi itu.
"Isinya apa, ya? Kenapa enggak chat langsung aja?" gumamnya bertanya-tanya.
Medina segera membaca deretan huruf yang tertulis dengan sangat rapi dengan seksama. Gadis itu pun tersenyum kemudian, setelah membaca surat dari Hamam. Entah apa yang ditulis oleh pemuda itu.
Medina lalu meraih ponselnya yang tadi digeletakkan begitu saja, ketika Azalea masuk. Lincah, jemari lentiknya mengetikkan sesuatu lalu dia kirim ke nomor Hamam. Setelah mengirim pesan, Medina bergegas ke kamar mandi untuk membersihkan diri sembari bersiul riang.
Tak butuh waktu lama, Medina telah siap untuk keluar. Gadis itu terlihat semakin cantik dengan gaun panjang yang dia kenakan. Tak seperti biasanya, di mana Medina lebih menyukai memakai celana jeans yang dipadukan dengan kaos lengan panjang.
Ketika Medina keluar, saudara-saudaranya yang semalam menginap di kediaman Papa Mirza tersebut, menatap gadis itu penuh selidik.
"Mau ke mana, Dik?" tanya Tiara. "Tumben-tumbenan pakai gaun."
"Mau ke KUA, lah, Kak. Memangnya, mau ke mana lagi?" sahut Aksa dengan kedua alis naik turun, menggoda sang adik.
"Wah, beneran Kak Dina mau nikah sama Kak Hamam?" tanya Azalea dengan hebohnya.
"Minggir-minggir! Kakak mau lewat."
Medina melewati sang adik sepupu begitu saja, tanpa memberikan jawaban apa pun atas pertanyaan Tiara. Kakak sepupu Medina itu pun hanya bisa mengedikan bahu.
"Bang Angsa! Kak Dina beneran mau nikah sama Kak Hamam sekarang?" tanya Azalea, setelah Medina tak lagi terlihat.
"Angsa-Angsa! Abang bukan soang, Dik!" protes Aksa.
"Lah ... kata ayah, Abang suka nyosor kayak soang."
"Ayah kamu, Dik, yang suka nyosor. Kalau enggak percaya, tanya aja sama bunda kamu."
Aksa kemudian berlalu dari sana untuk turun, menyusul sang adik. Meninggalkan Azalea, Tiara, dan saudara sepupu lainnya dengan rasa penasaran yang bercokol di dada. Mereka semua kemudian ikut menyusul turun untuk sarapan bersama.
Sementara di ruang keluarga, para orang tua sudah berkumpul. Mereka lalu sarapan bareng, sebelum melanjutkan obrolan yang kemarin sempat terjeda. Sepanjang makan pagi itu, Medina seringkali mencuri-curi pandang pada Hamam. Sementara pemuda yang diperhatikan, nampak makan dengan sangat tenang.
"Dina, Sayang. Kamu pasti sudah memiliki jawaban untuk Nak Hamam, 'kan?" tanya sang eyang kakung, setelah mereka semua berkumpul di ruang keluarga.
"InsyaAllah sudah, Eyang."
"Apa jawaban kamu, Sayang?" tanya sang papa dengan tidak sabar.
"Em, Dina ...."
"Maaf, semua. Di luar ada tamu untuk Gus Hamam," kata Ayah Iqbal yang baru saja datang, menjeda perkataan Medina.
bersambung ...