"Jangan harap aku akan tunduk kepada siapapun! Apalagi seorang wanita sepertimu!" Alaska Dirgantara.
"Sekeras apapun hatimu menolakku, aku tidak peduli! Akan aku pastikan hati sekeras batu itu luluh dengan caraku!" ucap Arumi Nadya Karima.
Alaska Dirgantara, merupakan pewaris tunggal Dirgantara. Pria keras dan kasar yang terpaksa harus menerima perjodohan dengan wanita pilihan Papa Farhan---ayah kandungnya, sebagai syarat untuk mendapatkan aset keluarganya.
***
Terbangun dari koma selama tiga bulan, Arumi Nadya Karima dikagetkan dengan status barunya yang tiba-tiba sudah menjadi istri dari pria kejam yang bahkan tidak dikenalinya sama sekali. Dan lebih parahnya lagi, ia hanya dijadikan alat untuk mempermudah jalannya mendapatkan aset Dirgantara dari ayah mertuanya.
Akankah Arumi mampu menjalini hari-harinya berganti status seorang istri dari pria keras dan kejam? Atau memilih pergi dari suaminya? Yuk ikuti kisah selanjutnya!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lina Handayani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 28 : Kembali Sekamar
..."Seatap tapi tidak bersama, itulah awal dari kehancuran rumah tangga. Berusahalah memperbaiki yang salah, karena itu akan mempermudah jalan menyelesaikan masalah."...
...~~~...
Setalah Arumi berganti pakaian dengan piyama tidur dan juga hijab instan di kepalanya, ia pun mendekati Alaska yang sudah berada di atas tempat tidur dengan memainkan ponselnya.
Menyadari kehadiran Arumi, Alaska pun melirik ke samping dan tenyata benar, istrinya hanya berdiri di pinggiran tempat tidur dengan menunduk.
"Kenapa berdiri di sana? Cepatlah tidur di sofa sana!" ujar Alaska sembari menunjuk ke arah sofa yang cukup panjang dan tidak jauh dari tempat tidurnya.
"Iya Mas, tapi kenapa Mas memintaku untuk tidur di kamar ini, tetapi kita tetap tidur di tempat yang terpisah? Kalau begitu, lebih baik aku balik lagi saja Mas," ucap Arumi kini mencoba mencari tahu sebab Alaska memintanya untuk tidur di kamarnya.
"Tetaplah di sini! Kamu tidak perlu tahu apa alasannya. Sekarang kamu tidur saja! Aku tidak ingin berdebat lagi!" ketus Alaska yang kini kembali memainkan ponselnya.
"Iya Mas," jawab Arumi, ia tidak mendapatkan jawaban yang pasti.
Kakinya melangkah ke arah sofa yang menurutnya cukup untuk dirinya. Namun, tidak nyaman dan sempit untuk bergerak. Arumi pun merebahkan tubuhnya di atas sofa itu, setidaknya ini cukup nyaman dan empuk daripada di kamar sebelumnya yang kasurnya itu sudah lusuh dan keras, ranjangnya pun sudah tidak layak dipakai lagi.
Tanpa disadari oleh Arumi, Alaska memperhatikan gerakannya dari tadi. Dilihat istrinya itu sangat tidak nyaman tidur di sofa sempit seperti itu, terlihat jelas tubuhnya yang bolak balik mencari kenyamanan.
"Kenapa aku jadi tidak tega ya melihatnya tidur seperti itu?" gumam Alaska yang hanya dikatakan di dalam hati.
"Sudahlah, aku tidur saja. Itu tidak penting," ucapnya pelan dan tidak terdenger oleh Arumi.
Namun, setelah Alaska merebahkan tubuhnya di atas kasur king size yang empuk itu, tenyata malah ia juga tidak bisa tidur dengan nyaman layaknya Arumi. Alaska terus saja berpindah tempat dan membolak-balikan tubuhnya ke samping kanan dan kiri. Akan tetapi, tidak mendapatkan hasil apapun, ia tetap sama masih belum bisa tidur sampai pukul satu malam, Alaska masih terjaga.
"Cek! Sekarang malah aku yang susah tidur. Harusnya dia, ini dia malah enak aja tidur di sana dengan nyenyak, sedangkan aku susah tidur seperti ini. Aku tidak bisa membiarkan itu," ucap Alaska yang kesal menatap Arumi tertidur pulas di atas sofa.
Perlahan Alaska menurunkan kakinya dan melangkah menghampiri Arumi, seketika ia tertegun melihat wajah istrinya yang tetap cantik walupun terpejam, seperti katanya dulu sewaktu Arumi masih koma.
"Sudahlah Alaska! Jangan berpikir aneh-aneh! Kamu harus fokus sama tujuanmu," gumam Alaska tentu tidak didenger oleh Arumi karena sudah tertidur pulas.
Mengingat kata tujuan, seketika pikiran Alaska kembali ke waktu di saat dirinya berbicara bersama Papa Farhan di kantor soal persyaratan itu.
"Kenapa aku baru kepikiran sekarang ya? Harusnya dari tadi. Bagaimana mungkin dia hamil kalau kita tidur terpisah seperti ini? Aku harus membawanya tidur bersamaku untuk sementara ini, walupun aku sangat jijik dengan tubuhnya yang pasti penuh luka bakar," cibir Alaska muak. Meskipun Arumi masih tengah tertidur, ia tetap berbicara tidak baik di hadapannya.
Alaska sangat yakin bahwa tubuh istrinya itu jelek walupun wajahnya cantik, karena yang dirinya tahu istrinya itu mengalami luka bakar yang cukup banyak yang disebabkan oleh insiden kapal terbang terjatuh itu, sehingga ia menyakini tubuh istrinya itu penuh dengan luka bakar pasti kalau dilihat sangat menyeramkan. Untuk itulah, Alaska tidak ingin menyentuhnya, selain itu kebenciannya juga yang mendominasi.
Dengan tangan besarnya, Alaska menggendong tubuh Arumi dengan sangat hati-hati, karena takutnya membangunkan istrinya. Setelah berada di pinggir tempat tidur, Alaska merebahkan tubuh Arumi di sana dengan sangat hati-hati sekali. Selanjutnya, Alaska kembali merebahkan tubuhnya di samping Arumi.
Rasanya masih belum bisa tertidur juga, sampai Alaska pun mencoba untuk memeluk tubuh Arumi yang ternyata kini sedang berbaring menghadap kepadanya, sehingga dengan mudah ia bisa memeluk pinggang ramping istrinya itu.
"Hem tidak terlalu buruk. Ini sangat nyaman sekali," ucap Alaska semakin erat mendekap tubuh Arumi.
Sampai kemudian, Alaska pun bisa tertidur pulas dengan tangannya yang melingkar di tubuh Arumi. Sang istri tidak menyadari itu, karena ia sudah lebih dulu tertidur dengan sangat pulas.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Pukul lima pagi, waktunya untuk melaksanakan shalat subuh. Kini kedua mata Arumi yang awalnya terpejam perlahan terbuka karena mendengar suara alarm dari ponselnya yang berada tidak jauh dari tempat tidurnya sekarang. Lebih tepatnya di atas meja depan sofa kamar, karena asalnya Arumi tidur di sofa.
"Eemmm ... sudah subuh," ucapnya sebelum kedua mata itu terbuka dengan sempurna.
"Kok nyaman sekali ya? Tapi aku tidak bisa bergerak seperti ada yang memelukku," kata Arumi selanjutnya yang belum sadar sepenuhnya ia berada di mana.
"Tempatnya nyaman sekali kayak bukan di sofa, tetapi di kasur," lanjutnya kembali, masih belum menyadari kalau ia berada di atas kasur bersama dengan Alaska.
Seperkian detik, Arumi mulai mencerna setiap kata yang sempat ia lontarkan.
Deg!
Jantungnya tiba-tiba berdegup begitu kencang, ia merasakan dirinya dipeluk oleh seseorang dan ini memang nyata.
"Dipeluk, aku tidur di kasur? Apa mungkin? Ah sudahlah, ini mungkin cuma mimpi?" ucap Arumi dan ingin memastikan dengan menggerakan tubuhnya.
Namun, setelah ia melihat sekeliling dengan sempurna. Dirinya memang berada di atas kasur, lantas ia pun melirik ke samping dan ternyata Arumi sangat terkejut.
"Aaaa! Astaghfirullah! Ini Mas Alaska?" teriak Arumi cukup membuat Alaska terganggu, karena posisinya yang sangat dekat dengan Arumi.
"Apa-apaan si? Teriak-teriak, ini masih jam lima. Diamlah berisik!" ucap Alaska dengan masih memejamkan matanya dan semakin erat memeluk pinggang Arumi.
Deg! Deg! Deg!
Detak jantung Arumi berdetak dengan sangat kencang dan tidak menentu, ia begitu canggung berada sedekat itu dengan suaminya, walupun itu bukan kali pertama ia berpelukan seperti ini dengan Alaska. Namun, kali ini rasanya sangat berbeda sekali. Ada rasa canggung, cemas, dan malu bersatu menjadi satu.
"Mas, ini beneran Mas kan bukan hantu?" tanya Arumi pelan karena tidak karuan dengan perasaannya sekarang.
"Iyalah, sembarangan saja hantu. Mana ada hantu tampan kayak aku," sahut Alaska dengan pedenya, sembari menatap sekilas wanita cantik yang berada di dalam dekapannya itu.
"Tapi Mas, kenapa Arumi bisa berada di sini? Kan Mas bilang, aku harus tidur di sofa. Semalam seingatku, Arumi tidur di sofa deh Mas," ujar Arumi yang kini mengingat kembali kejadian semalam.
Alaska terdiam, ia malah sengaja memeluk erat tubuh Arumi sembari mencari cara untuk menjawab pertanyaan istrinya itu.