NovelToon NovelToon
Tarian-tarian Wanita

Tarian-tarian Wanita

Status: tamat
Genre:Tamat / Mengubah Takdir / Fantasi Wanita / Slice of Life
Popularitas:1.8k
Nilai: 5
Nama Author: Made Budiarsa

Pada akhirnya dia terlihat menari dalam hidup ini. dia juga seperti kupu-kupu yang terbang mengepakkan sayapnya yang indah.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Made Budiarsa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 7.2

Monyet-monyet tergelantung di pohon-pohon pinggir bukit. Mereka memandangku dan orang-orang yang berkunjung. Para wisatawan mancanegara mengambil beberapa foto bersama mereka. Para monyet itu menyukai mereka. Ketika mereka di berikan pisang, mereka semakin jinak dan menempel di bahu orang-orang. Beberapa orang tidak menyukainya. Cakar-cakar monyet terlalu kuat dan keras, itu membuat luka pada bahu orang-orang.

Ketika aku memandang monyet-monyet itu, beberapa dari mereka mendekat dan beberapa menunjukkan gigi tajamnya dan mengeram. Mereka takut dan merasa terancam. Aku bertanya-tanya mengapa Ayu mengajakku bertemu di tempat seperti ini. Monyet-monyet itu tentu saja tidak akan selalu baik. Mereka pasti akan menyerang kapan pun dan di mana pun ketika mereka merasa tidak nyaman dan terancam.

Pohon-pohon di pinggir jalan tumbuh subur. Pohon-pohon ini bagian dari hutan. Dari sini akan terlihat pemandangan danau di balik daun-daun hijau. Ketenangan tidak akan di dapatkan di sini, karena mobil dan motor senang tiasa melintas.

Sejenak, aku tertarik melihat monyet besar membawa bayinya. Bayi mungil itu bergelantungan di dada ibunya. Dia sangat lucu. Orang-orang yang menyadarinya menunjuk-nunjuk dan mengeluarkan pisang agar ibu monyet itu mau turun dan mengambilnya. Tapi ibu monyet itu terlalu galak, dia tidak berani turun dan segera menjauh. Orang-orang tentu saja kesal dan menyayangkannya.

“Mbok, sudah datang.”

Aku berbalik memandangnya. Gadis kecil itu sudah tumbuh menjadi gadis cantik. Meski memiliki kulit sawo matang, kulitnya masih terlihat cerah. Matanya yang hitam terlihat sangat berani. Aku melihat kehitaman yang intens pada matanya. Ayu masih menari, tidak pernah melupakan kesukaannya hingga kecil.

“Ayu, kamu sudah besar.”

Ayu tertawa kemudian berjalan mendekati pembatas jalan. “Mbok semakin tua. Aku tidak menyangka bisa bertemu dengan Mbok sekarang. Rencananya aku ingin bertemu di danau Beratan, tapi tempat sebelumnya sudah di penuhi rumput dan tidak terlihat indah.”

“Mengapa tidak di pura ulun Danu?”

“Karena itu tempat yang ramai. Selain itu, kita harus membayar tiket untuk masuk. Jadi, kuputuskan untuk bertemu di sini. Kita bisa melihat danau, monyet-monyet dan pohon-pohon yang rindang.”

Ayu melanjutkan, “Mbok, kamu terlihat semakin cantik, apa kamu sudah menikah?”

“sudah, sudah lama sekali.”

Ekspresi kecewa muncul di wajahnya. “Sayang sekali, jika mbok tidak menikah, aku ingin mendekati kakakku dengan mbok. Dia sudah menginjak umur empat puluh tahun, tapi tidak juga menikah. Jika nanti Mbok tidak bahagia dan berpisah, tolong kabarkan itu kepadaku.”

Aku terdiam dan tidak tahu mengapa Ayu mengatakannya. Tentunya aku akan menjawab tidak dan tidak akan pernah berpisah darinya. Dia pria yang sangat unik dan hanya ada satu di dunia ini. Dia tidak tergantikan. Aku berkata pelan, “Ayu, aku menyukainya dan tidak akan pernah berpisah.”

Ayu diam sebentar kemudian tertawa terkekeh. “Maaf, aku tidak terlalu serius. Mbok adalah wanita yang baik, bagaimana mungkin Mbok mendapatkan pria yang jahat?”

“Ayu, kamu terlihat lebih dewasa. Apa kamu juga masih menari?”

“Ya, aku masih menari. Aku sekarang menjadi guru penari dan memimpin sanggar. Komunitas yang aku kembangkan dalam beberapa tahun lagi akan terwujud. Mbok, apa mbok mau membantuku?”

Aku terdiam sebentar.

“Dengan bergabungnya Mbok, aku yakin komunitas ini akan berkembang pesat dan sangat maju.”

Aku masih terdiam.

Aku tidak mau menari lagi ataupun bergabung dengan kelompok seperti itu. Bayangan-bayangan putri masih muncul dalam ingatanku. Putri adalah bayangan-bayangan hantu yang menghantuiku beberapa tahun dan menyebabkan aku berhenti menari. Aku tidak tahu mengapa dia muncul setiap malam dalam mimpiku, mengacaukan mimpi indah dan membuat malam semakin kelam.

Ayu berkata lagi, “Mbok, apa mbok mendengarku?”

Aku memandangnya. “iya. Aku sudah tua untuk melakukannya.”

“Tidak, Mbok masih kuat untuk melakukannya.”

“Aku punya banyak kesibukan.”

Ayu menghela nafas, ingin berkata lagi, tapi kemudian mengurungkannya. Dia terdiam menikmati monyet-monyet. Kemudian pergi membeli kacang. Tidak lama kembali dan mengulurkannya pada monyet-monyet itu.

Beberapa monyet-monyet itu tertarik. Mata mereka cerah, tapi hanya satu ekor yang berani turun. Dia bergerak cepat dan menyambar kacang Ayu, dan dalam sekejap kembali ke dahan-dahan pohon. Monyet itu membuka dengan giginya yang tajam.

Ayu melakukannya lagi dan ada banyak monyet-monyet turun.

“Ayu, monyet-monyet itu liar.”

“Tidak mbok, mereka sudah tahu bagaimana cara terbaik mendapatkan makanan.”

Aku tidak berkata lagi dan suara-suara kendaraan melintas terasa semakin keras dan monyet-monyet banyak turun mengambil kacang dari tangan Ayu. Aku memperhatikan monyet-monyet yang turun.

Ukuran mereka beragam dan ternyata ada ibu monyet yang turun mengambil.

Setelah mengambilnya, mengupasnya lalu menyerahkan pada anaknya. Aku menikmati momen itu.

Ayu tiba-tiba bertanya, “Mbok punya anak?”

“Aku punya satu anak.”

“Dia suka menari?”

Aku mengangguk.

“Aku ingin melihatnya nanti, apa boleh?”

“Tentu saja.”

Kami pun terdiam beberapa saat. Aku kembali memikirkan Putri. Wajahnya yang putih terbayang-bayang dalam ingatanku. Tangannya yang pernah memegang tanganku masih terasa begitu nyata. Tangan yang kasar dan hangat itu seperti memiliki kekuatan yang sangat kuat hingga mengguncangku hingga sekarang.

“Apa dia cantik?”

Aku mengangguk.

“Apa dia seperti Mbok?”

Aku masih mengangguk.

“Dia sepertinya akan menjadi penari yang ulung.”

“Benar, tapi aku melarangnya.”

“Kenapa seperti itu?” Ayu memandangku.

Aku menghela nafas. “Ayu, aku tidak ingin mengatakannya.”

“Mbok punya rahasia? Katakan saja, aku teman masa kecilmu.”

“tapi kamu bukan teman masa besarku.”

“Mbok tidak mempercayaiku?”

Aku tidak menjawab.

Ayu tidak berusaha mencari jawaban. Dia sibuk memberikan monyet makanan. Tangannya yang ramping seperti ranting yang lemah, tapi terlihat indah ketika menari. Di tangan itu ada gelang tridatu yang sudah kusam dan kotor.

Tidak beberapa lama aku memalingkan wajah menatap jalan.

Jalan masih di penuhi orang-orang lalu lalang. Beberapa wisatawan berdiri di sana. Aku ingin pergi ke sana, tapi tiba-tiba Ayu berteriak. Aku terkejut, memandangnya. Tangan Ayu berdarah. Aku segera menghampirinya.

“Ayu, kamu harus hati-hati! Sudah aku katakan, monyet-monyet itu liar!”

Aku melihat lukanya lalu membersihkannya dengan tisu.

Lukanya tidak dalam, tapi goresannya panjang hingga mencapai lengannya.

“Aku ceroboh,” katanya. Tersenyum. “Mbok, tidak harus seperti itu, ini hanya luka kecil.”

“Tapi ini bisa menyebabkan infeksi.”

Ayu tertawa memandangku. “Mbok, tidak apa-apa.”

********

Setelah berpisah dengan Ayu, aku mengunjungi kebun Raya bali. Duduk menatap pemandangan danau. Rasanya aku sudah lama tidak datang ke sini.

Hanya terlihat beberapa orang yang berkunjung.

Bagian timur kebun Raya memungkinkan kita untuk melihat pemandangan danau.

Di sini, pertama kalinya aku bertemu putri dan di sini juga terakhir kalinya aku bertemu dengannya. Dia masih teringat jelas dalam ingatanku. Ayu tidak tahu persahabatan kami ketika kecil. Putri Artila yang indah, datang menyapaku ketika tidak ada orang-orang menyadariku. Ketika aku datang sendiri, di umurku yang muda, ketika dunia yang nyata terasa menyebalkan dan tidak ada kenyamanan.

Ayah dan ibu sibuk berjalan-jalan bercakap dengan sanak keluarga.

Aku tidak ingin mengganggu mereka dan percakapan mereka terasa sangat membosankan.

“Perkenalkan, aku putri.” Dia mengulurkan tangannya, tersenyum lembut dan lekukan lesung pipinya terlihat.

Dia cantik dan berkulit putih.

Aku menatapnya beberapa saat.

Rambutnya di ikat satu dan ada bunga pucuk merah di belakangnya.

Aku ragu-ragu sebelum memperkenalkan diri.

Kami kemudian berjalan-jalan dan berpisah.

Ketika kami menginjak sekolah menengah, kami bertemu lagi dan memiliki hobi yang sama kemudian menjadi teman dekat. Dan selanjutnya di kenal pasangan penari kumala putri. Kami sering menari dan keintiman kami sangat dekat.

Tapi suatu ketika harus berpisah selamanya dan tidak pernah bertemu lagi. Aku membenci orang-orang yang membuatnya seperti itu dan membenci peristiwa seperti itu, walaupun putri mengatakan tidak boleh membenci orang-orang.

Ketika menginjak kelas tiga SMP, ada beberapa orang datang, mencari putri, mengatakan ingin membuat rekaman penari. Putri pada saat itu adalah penari terbaik yang ada di sekolah. Orang-orang iri dengannya dan laki-laki mengejarnya. Pada saat itu, putri di suruh menarikan tarian wanita, yang merupakan Tarian budaya terkenal.

Dia pun menyuruhku membantunya membeli pakaian. Di pasar, dia berkata, “Aku menyuka kamen batik dengan motif-motif pakis. Aku akan memakainya. Kelihatannya akan indah ketika di pakai.”

“aku menyukai warna kecoklatan Kamen itu, Ayo kita membelinya.”

Kami membelinya dan harganya lumayan tinggi, tapi kamen itu lembut dan memiliki warna yang kuat. Kemudian kami harus membeli kebaya. Putri mengajukan warna merah muda, tapi bagiku kurang cocok dan aku mengajukan warna putih bersih dengan ukiran-ukiran tanaman rambat.

“Aku menyukainya! Baik, kita memilih ini!”

Dia langsung suka ketika pertama kali melihatnya.

Kami kemudian membeli selendang.

“Aku menyukai warna merah muda dan selendang itu harus sangat panjang, bagaimana menurutmu?”

“baiklah, apa pun katamu.”

Setelah membelinya kami membeli beberapa perhiasan yang murah. Putri membeli gelang emas palsu dan beberapa jepit rambut bunga Jepun.

Ketika tiba waktunya, Putri datang dengan kecantikan yang sulit dikatakan, bahkan tidak ada kata-kata yang bisa menggambarkannya. Tubuhnya yang tinggi dan langsing dengan balutan Kamen batik lalu kebaya putih yang memesona. Tidak lupa juga rambutnya yang di sanggul. Bunga-bunga Jepun putih melingkar di sana dengan eloknya. Dia tersenyum, maka terlihat lesung pipinya dan gigi-giginya yang rapi.

“kumala, bagaimana penampilanku?”

Itu adalah kata-kata terakhirnya yang aku dengar dan ingat hingga sekarang.

********

“Kumala kau melamun.”

“Iya. Aku melamun.”

“Apa yang kau lamunkan?”

“tentang bagaimana kesalnya melihatmu bersama wanita lain.”

“Kumala, aku bertanya serius.”

“Aku juga menjawab serius.”

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!