Byan, seorang pria yang memiliki mimpi, mimpi tentang sebuah keadaan ideal dimana dia membahagiakan semua orang terkasihnya. terjebak diantara cinta dan sayang, hingga terjawab oleh deburan laut biru muda.
tentang asa, waktu, pertemuan, rasa, takdir, perpisahan.
tentang mimpi.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Arief Jayadi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
untukku sendiri, aku masih ingin mencurinya
Sudah hampir satu bulan, aku masih belum bertemu muka dengan Asih, sementara acara pernikahan kami semakin dekat. Kami memang masih berkomunikasi, namun semua secara seluler. Aku ingin menunjukkan keseriusanku menikahinya, sudah ku katakan bahwa Ony bukanlah alasan bagiku untuk tidak mencintai Asih sepenuhnya. Tapi Asih masih tampak berusaha meminimalisir pertemuan langsung denganku, walau persiapan pernikahan masih berjalan tapi Asih memilih untuk membatasi pertemuan.
tampaknya Asih masih enggan beradu argumen dan meningkatkan tensi jika bertemu denganku. Ia menghindari segala kemungkinan kita akan semakin bertengkar. dan aku tau, tentu saja ini agar kami tidak terjerumus lebih dalam ke dalam jurang perpisahan yang saat ini bisa saja kami sudah berdiri di tepi jurang yang menganga tersebut.
Aku menerima ini sebagai konsekuensi yang harus aku terima, walau jujur aku masih tidak menganggap bahwa aku telah membagi hatiku. dengan amat tegas aku berani menyatakan bahwa aku tidak sedang membagi hatiku. Tapi Wanita tidak akan pernah mau mengalah urusan seperti ini, dan sebagai lelaki saat berada di posisi seperti ini, tak perlu berkeras bahwa kau tidak bersalah, bertekuk lutut sajalah, tundukkan kepalamu, kuncilah mulutmu dalam diam, lalu terima hukumanmu.
berbicara mengenai lutut, belakangan aku mulai merasa ada yang tidak nyaman di bagian kakiku ini, seperti ada sesuatu yang membuat aku tidak bebas bergerak seperti normalnya. terkadang ada rasa nyeri yang teramat hingga terasa menarik narik batang otakku.
"Ah...mungkin aku hanya sedang lelah atau stress" ujarku pada diri sendiri.
Untuk meyakinkan diriku sendiri aku menanamkan sugesti itu pada diriku sendiri, aku tidak ingin semakin khawatir pada hal hal yang seharusnya belum atau tidak menjadi beban pikiranku saat ini, fokusku sekarang hanya pekerjaan dan persiapan pernikahanku dengan Asih. ya, saat ini pernikahan ku dengan Asih adalah prioritas tertinggi, aku mencintainya, dan aku lelaki yang takkan menarik ucapanku.
Sementara Ony, saat ini ia mengajukan diri untuk pindah kantor ke cabang perwakilan Perusahaan, kami pun sudah tidak bekerja dalam satu Gedung, walau masih dalam satu area kerja, bahkan kadang ini justru menjadi kesempatanku untuk dapat menghabiskan waktu lebih banyak dengannya. Bagaimana tidak, jabatanku saat ini mewajibkan aku mengunjungi semua kantor perwakilan perusahan di area yang aku pimpin, bergiliran, mengontrol dan mereview kinerja pimpinan kantor cabang secara berkala. Sementara itu, Ony kini menjadi salah satu pimpinan dari kantor perwakilan areaku. maka akan semakin sering waktu yang kita akan habiskan bersama, untuk urusan pekerjaan tentunya.
Hubunganku dengan Ony perlahan mulai membaik, aku seringkali memanfaat kan waktu kunjungan kantor ku ke outlet yang dipimpinnya sebagai kesempatan untuk memperbaiki hubungan kami, dan memang akhirnya kami mulai sering mengobrol lagi, walau sekarang batasan yang kami buat semakin besar, namun kami mulai menyamankan diri akan keadaan ini.
kami sama sama sadar bahwasanya kami harus saling menyamankan situasi hubungan kami, tidak mungkin koordinasi struktural perusahaan akan berjalan baik jika kami bertindak tidak profesional dan mengedepankan emosi kami, dan komunikasi terputus. Hanya saja sudah tentu, saat ini tidak ada lagi telpon rutin setiap hari, terutama membahas urusan diluar pekerjaan, memang masih terkadang ada selipan hubungan seluler santai, tapi kami memang membatasinya dengan ketat. Yang pasti sekarang, semua pesan seluler dari ku tidak pernah lagi dibalas olehnya, itu syarat darinya, dan sifatnya sampai saat ini adalah mutlak.
*****
Suatu pagi ada jadwal kunjungan ke kantor perwakilan yang dipimpin Ony, aku entah mengapa menghubunginya pagi pagi sekali.
"Ony, sudah berangkat?" tulisku
"aku pagi ini absen di kantormu, kalau belum berangkat, aku 5menit lagi didepan rumahmu, kita bareng aja, aku males dimobil sendirian." Lanjutku tanpa meminta persetujuannya.
Karena toh tidak mungkin ada balasan pesan darinya. Aku tidak banyak berpikir saat melakukan ini, aku hanya akan meluncur ke rumahnya, memarkirkan mobilku di depan rumahnya, menunggunya, kalau ia bersedia ia akan naik ke mobilku, kalau tidak bersedia atau dia sudah berangkat, ya berarti kita ketemu saja di kantor nanti. Seperti orang iseng saja, mau syukur, tidak ya udah.
Sesampainya di ujung jalan menuju rumahnya, aku melihat dia sudah menanti di depan rumahnya. Ada rasa senang membuncah dalam diriku saat menyaksikan sosok gadis itu diujung jalan, entah apa itu, tapi kenyataan bahwa dia mau berangkat denganku seperti memunculkan secercah sinar pagi lagi di jendela kehidupanku.
Tidak banyak yang kita bicarakan di dalam perjalanan, hanya perihal perihal kecil yang akan berhenti di sahutan ke 2 atau ke 3, kemudian senyap sesaat untuk kemudian muncul topik pembicaraan baru. Aku hanya sesekali melirik pantulan bayangan wajah Ony di kaca samping, dimana Ony lebih sering memandang keluar lewat sisi sebelahnya. Lalu aku menyodorkan kertas berpita biru muda kepadanya. Ya aku ingin memberikan undangan pernikahan ku kepadanya.
"aku ingin kamu menjadi orang pertama yang aku undang secara langsung."
"terlepas bagaimana kejadian kejadian sebelumnya, aku tetap menganggap kamu orang yang spesial buatku On." Timpalku langsung.
Di ambilnya undangan itu dari tanganku, tapi tangannya turut menarik pergelangan tanganku, menyelipkan jari jarinya di sela jariku, menggenggamnya kuat kuat, namun masih tidak ingin memalingkan wajah dan matanya dari jendela samping mobilku. Kubiarkan saja tanganku di genggamnya, aku tau, sangat tau apa yang sedang dia lakukan, karena inipun berat buatku, karena bagaimanapun malam tak bisa menggantikan pagi, dan pagi tak bisa meruntuhkan malam. Tapi aku memilih pulang ke haribaan malam.
*****
Hari ini suasana kantor perwakilan yang sedang dalam kunjunganku terasa sangat mendung, ada aura gelap diantara meja ku dengannya, seperti ada kumpulan awan Comulus nimbus diantaranya yang sudah menjadi pekat, diikuti loncatan loncatan ion yang menghasilkan petir yang bersahutan. Kami tidak banyak berbicara, hanya sering bertukar pandang, tak berani bertukar senyum. Hanya dipenuhi diam dan kakunya urusan kantor, laporan harian, dan berbagai tetek bengeknya.
Tiba tiba keheningan dan kesunyian kantor ini sedikit pecah karena ada notifikasi pesan dari ponselku, notifikasi khusus yang sudah lama tidak berbunyi deringnya, dan aku yakin si empu pesan akan mengenal nada dering ini kalau ia mendengarnya.
"malam nanti ada waktu, aku mau minta diantar kesesuatu tempat!" tulis pesan tersebut.
"Ok, pulang kantor dan setelah mandi n beberes aku jemput ya" Balasku.
*****
"aku masih ingin mencuri sedikit Cahaya pagi, untukku sendiri"
*****