Di pertengahan tahun 1980, Dewi merasakan pedihnya dijadikan tulang punggung layaknya sapi perah, tapi tetap dianggap sebagai benalu. Bahkan, KDRT kerap Dewi maupun anaknya dapatkan dari suami dan juga keluarga suami, yang selama 5 tahun terakhir Dewi nafkahi. Karenanya, Dewi nekat menjadikan perceraian sebagai akhir dari rumah tangganya.
Dewi bertekad bahagia bahkan sukses bersama kedua anaknya. Segala cara Dewi lakukan, termasuk menjadi ART, sebelum akhirnya menjadi warung keliling. Namun pada kenyataannya, menjadi sukses bukanlah hal mudah. Terlebih, Dewi masih saja diganggu orang-orang dari masa lalunya. Dewi sampai berurusan dengan hukum akibat fitnah keji, sebelum akhirnya mengikuti program transmigrasi di era Orde Baru yang tengah berlangsung.
Akan tetapi karena sederet cobaan itu juga, Dewi menemukan cinta sejati sekaligus kesuksesan yang selama ini Dewi perjuangkan. Kesuksesan yang membuat Prasetyo sekeluarga sangat menyesal!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rositi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
17 : Menerima Tawaran
“Ya Allah ... sudah sejauh ini aku melangkah. Ini sudah sampai kecamatan mas Pras bekerja. Eh bener, ini kawasan rumahnya ibu Retno. Terus sekarang sudah subuh?” batin Dewi yang juga bary menyadari, darah nifasnya sampai mengalir hingga kedua sisi kaki bagian dalam. Dewi terpejam pasrah menyaksikan semua itu seiring air matanya yang berlinang secara bersamaan.
Dewi memilih istirahat di teras masjid tanpa benar-benar menyentuh terasnya. Sebab Dewi sadar, dirinya wajib membersihkan diri. Dewi sengaja membangunkan Alif agar menjaga sang adik.
“Mama ke WC sebentar,” ucap Dewi kepada Alif yang langsung mengangguk paham.
“Celaka bagimu yang sudah membuat kedua bocah tak berdosa ini harus merasakan pedihnya kehidupan terlalu dini, Mas!” batin Dewi benar-benar dendam kepada Prasetyo. Apalagi jika Dewi ingat apa yang sedang Prasetyo lakukan dengan ibu Retno. Keduanya sedang bulan madu, padahal sekadar ingat anak saja, Prasetyo tidak melakukannya!
Saat Dewi akhirnya kembali, Alif sedang duduk bersama seorang pemuda. Alif yang awalnya masih memakai kain jarit sebagai selimut, sampai memakai peci putih. Setelah Dewi awasi sambil melangkah mendekati Dewi mengenali siapa sosok pemuda yang bersama putranya. Itu mas Abdul. Keduanya tengah asyik menyantap jagung rebus. Namun selain jagung rebus, di kantong yang ada di hadapan keduanya, juga ada kedelai edamame khusus.
“Mas ...? Sampean(kamu), mengikuti saya?” tanya Dewi khawatir menatap mas Abdul.
Dengan santainya, mas Abdul menatap Dewi yang menenteng kantong keresek warna hitam berukuran kecil. Selain itu, Dewi juga sudah ganti pakaian. Wanita berhijab cokelat tua itu sudah ganti jarit dan kebaya panjangnya.
“Gimana saya enggak khawatir. Kamu wanita, baru lahiran. Kamu masih masa nifas dan ini ada dua anak kecil. Taruhannya ngeri loh, Mbak. Bukan penjahat, ya demit yang bakalan ganggu kalian!” ucap mas Abdul. “Zaman makin ngeri. Manusia hidup diculik. Enggak dijadikan pengemi.s seumur hidup, ya organnya dijual!”
“Mbak mau seperti itu?” lanjut mas Abdul yang kemudian berkata. “Tentu tidak. Saya yakin, Mbak juga selalu ingin memberikan yang terbaik untuk anak-anak Mbak, di tengah keterbatasan Mbak.”
“Namun ketimbang lontang-lantung tanpa tujuan seperti sekarang, mending Mbak kerja sekaligus jaga rumah. Boleh bawa anak, asal kerjaan tetap beres. Kerjanya beneran cuma beres-beres gitu. Ya ada masak, tapi enggak sering. Namun ya itu, rumahnya memang gede, Mbak!” lanjut mas Abdul lagi.
“Mas jangan bohong!” galak Dewi.
“Gini Mbak. Duh, makanya ayo kenalan dulu. Tak kenal memang sulit percaya, Mbak!” sergah mas Abdul yang kemudian berdiri. Ia mengulurkan tangan kanannya kepada Dewi.
Mas Abdul mengenalkan dirinya sebagai anak dari istri pertama suami ibu Retno. “Kemarin, saat digerebek dan akhirnya dinikahkan paksa. Itu jadi detik-detik terakhir si mbak Retno menjadi istri alm. bapak saya. Yang dengan kata lain, sekarang mbak Retno juga sudah enggak kaya lagi. Karena kekayaannya selama ini, ya karena dia menjadi istri kesayangan bapak saya. Sebelumnya, mbak Retno memang merebut bapak dari mama.”
“Jadi, dulunya mbak Retno hanya pembantu di rumah kami,” ucap mas Abdul yang menanyakan keseriusan Dewi untuk bekerja kepadanya.
“Saya merasa bertanggung jawab kepada kalian. Karena biar bagaimanapun, saya yang menggerebek suami Mbak dan mbak Retno. Meski tentu saja, tanpa digerebek pun, apa yang mereka lakukan sangat tidak adil untuk Mbak. Sementara sekarang, harusnya mereka memetik kemiskinan sekaligus kesengsaraan dari ulah mereka.”
Setelah menyimak penjelasan panjang lebar mas Abdul, Dewi menyimpulkan, bahwa Prasetyo maupun ibu Retno, sebenarnya ambang kehancu.ran. “Tapi kata ibunya mas Pras, mas Pras dan ibu Retno sedang bulan madu loh, Mas!” lirih Dewi.
“Mau mereka sedang bulan madu, atau malah loncat ke neraka, itu hak mereka, Mbak. Yang jelas saya ingin menegaskan kepada Mbak. Sebagai wanita yang suaminya direbut oleh nenek lampir sekelas mbak Retno, Mbak patut berbahagia karena harta dan warisan yang selama ini mbak Retno bangga-banggakan, beneran sudah bukan haknya!” tegas mas Abdul.
Tak bisa Dewi pungkiri, kabar mengenai ibu Retno yang langsung jatuh mis.kin setelah menikahi Prasetyo, memang menjadi kebahagiaan tersendiri. “Memang sudah waktunya kalian belajar untuk lebih menghargai. Apalagi mas Prasetyo sekeluarga yang innalilahi banget!” batin Dewi.
Setelah menunggu mas Abdul shalat subuh, bahkan Alif sampai diajak masuk ikut shalat berjamaah oleh pemuda itu, Dewi mau bekerja ke mas Abdul. Dewi mau diboyong oleh mas Abdul.
“Padahal kami enggak bersekongkol. Padahal, kami enggak ada niatan balas dendam. Namun, rasanya ada greget tersendiri buat lihat mas Pras sekeluarga menyesal. Iya, rasanya ingin melihat mereka hanc.ur karena telah tega membuang kami, demi ibu Retno yang mereka gadang-gadang kaya. Orang kaya yang jauh lebih bisa membuat mereka bahagia!” batin Dewi masih dibonceng mas Abdul.
Dewi dibonceng di belakang sambil mendekap Utari. Sementara kantong bawaannya ada di depan bersama Alif yang sibuk cekikikan. Alif berdalih, naik motornya mas Abdul yang meski berisik, tetap sangat seru. Apalagi, mas Abdul tipikal yang sayang ke anak kecil.
saat itu jamannya.....
semuanya pada sakit......