Agnes tak pernah menyangka, sebuah foto yang disalahartikan memaksanya menikah dengan Fajar—dosen pembimbing terkenal galak dan tak kenal kompromi. Pernikahan dadakan itu menjadi mimpi buruk bagi Agnes yang masih muda dan tak siap menghadapi label "ibu rumah tangga."
Berbekal rasa takut dan ketidaksukaan, Agnes sengaja mencari masalah demi mendengar kata "talak" dari suaminya. Namun, rencananya tak berjalan mulus. Fajar, yang ia kira akan keras, justru perlahan menunjukkan sisi lembut dan penuh perhatian.
Bagaimana kelanjutan hubungan mereka? Apakah cinta bisa tumbuh di tengah pernikahan yang diawali paksaan? Temukan jawabannya di cerita ini!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Puji170, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 13
"Wah, ini sih gila, Nes. Amal apa coba yang dilakukan Bu Fatwa sampai bisa dapat menantu kayak Pak Fajar?" celetuk Berta setengah bercanda, tapi matanya jelas-jelas penuh rasa kagum.
Agnes hanya mendesah pelan. Mereka sedang duduk di kantin setelah mata kuliah tambahan. Suasana ramai di sekeliling tak membuat Agnes merasa lebih baik. Sambil mengaduk jusnya tanpa semangat, dia menunduk, mencoba menghindari tatapan Berta.
"Udah deh, gak usah lebay," balas Agnes lemah. Senyumnya terlihat dipaksakan. "Jadi sekarang aku harus gimana?" tanyanya lirih, ia harus segera menemukan cara untuk bisa segera berpisah dari Fajar.
Berta meletakkan gelasnya, menatap Agnes dengan serius. "Kalau aku jadi kamu, mending gak ngelakuin hal-hal yang malah bikin kamu tambah rugi. Lagian ya, Pak Fajar kurang apa? Ganteng, iya. Kaya, udah pasti. Jadi suami idaman, jelas banget. Soal cinta, Nes, cinta itu bisa datang diwaktu yang tepat. Percaya deh."
Agnes mendesah panjang, menatap Berta dengan sorot mata tajam. "Ih, kamu ini, Ta. Udah aku bilang, aku mau bebas." Nada suaranya terdengar getir. "Nikah itu cuma N-nya yang enak. H-nya itu loh... bikin gak enak. HANCUR!"
Berta mendelik, nyaris tak percaya. "Dodol! Aku gak tahu setan mana yang udah nyuci otakmu kayak gini. Kalau nikah beneran sesusah itu, ayah sama ibumu gak bakal sampai sekarang masih bertahan."
Agnes terdiam. Matanya menerawang jauh, menghindari tatapan sahabatnya. Suaranya terdengar lirih, seperti berbicara pada dirinya sendiri. "Ya... itu kan mereka. Mereka nikah udah siap, Ta. Mereka udah puas ngerasain kebebasan. Lah aku? Dari kecil apa-apa dilarang. Baru juga mau mulai hidup, tiba-tiba udah harus jadi istri." Tangannya gemetar saat memegang gelas, suara terakhirnya pecah penuh penyesalan.
Berta menghela napas panjang, bersandar di kursi sambil mengamati sahabatnya dengan tatapan prihatin. "Oke, gini aja. Buat kamu, bebas itu kayak gimana, sih?"
Agnes tersenyum kecil. Senyum yang lebih mirip ironi. Dia menarik napas dalam sebelum menjawab, seakan-akan pertanyaan itu membuka pintu ke semua mimpi yang selama ini terkubur. "Jalan-jalan ke mana aja yang aku mau. Naik gunung berdua sama pacar. Kerja di perusahaan gede dengan gaji tinggi. Bisa keluar malam, pulang pagi, tanpa ada yang ngomelin. Pokoknya, aku pengin ngerasain hidup, Ta."
Mendengar itu, Berta terdiam sejenak. Tatapannya melembut, seperti mencoba memahami apa yang sebenarnya dirasakan Agnes. "Nes, aku ngerti kok kamu pengin bebas. Tapi kamu juga harus ingat, bebas itu gak selalu bikin bahagia. Kadang apa yang kelihatan indah di mata, gak bikin hati tenang."
Agnes mengangkat alis, mencoba menutupi emosinya dengan sarkasme. "Banyak omong kamu. Kalau emang nikah seenak itu, kenapa kamu gak nikah muda?"
Berta terkekeh kecil, nada bicaranya berusaha santai. "Karena aku belum nemu jodohku. Kalau ketemu, aku pasti langsung sat set..."
Kata-katanya terhenti. Pandangannya tiba-tiba terpaku pada seseorang di kejauhan. Seorang pria tinggi dengan langkah tegap sedang berjalan menuju kantin. Wajahnya serius tapi karismatik, membuat siapa pun yang melihat sulit mengalihkan pandangan. Di sisinya, seorang wanita cantik dengan gaun elegan berjalan bersamanya, menambah kesan sempurna.
Berta tercekat, telunjuknya terangkat, membuat Agnes bingung. "Ada apa?"
"Itu, Nes, cowok idamanku," sahut Berta.
Agnes mengikuti arah telunjuk Berta, tapi lelaki itu sudah tak ada. Sebagai gantinya, pandangannya jatuh pada teman sekelas mereka—Abdul—yang punya gigi tonggos dan jerawat di mana-mana.
"Kamu lihat jin kali? Apa matamu udah mulai rabun? Cowok kayak Abdul kamu bilang ganteng?" Agnes terkekeh.
"Serius, Nes. Tadi ada cowok ganteng," protes Berta.
"Ah, sudahlah. Ayo, kita balik ke kelas. Sebentar lagi suamiku masuk kelas," kata Agnes sambil berdiri.
"Hah? Suami? Jadi sekarang kamu ngakuin?" goda Berta.
Agnes menggigit bibir, menyesali perkataannya tadi. "Kepleset lidahku." Ia segera beranjak dari tempat itu sebelum Berta meledeknya lebih jauh.
***
Fajar menatap tajam ke arah Rega, sahabatnya, dan Sherly, adik Rega, yang kini berdiri tepat di hadapannya. Sorot matanya dingin, seperti menahan sesuatu yang tak ingin diucapkan.
"Fajar, ini semua idenya," Rega membuka percakapan dengan nada setengah memohon. "Dia mau pindah ke sini dan ingin jadi mahasiswi bimbinganmu. Kamu tahu kan, nilai-nilainya itu... benar-benar ancur."
"Kenapa harus aku?" Suara Fajar terdengar datar, nyaris tanpa intonasi, seperti tak mau terlibat lebih jauh.
Sherly segera menyela, matanya memohon. "Aku rasa... aku akan lebih paham kalau Kak Fajar yang membimbingku. Kak, aku benar-benar mau lulus kuliah tepat waktu. Tolonglah..."
Namun, Fajar tetap pada sikapnya. "Aku tidak punya waktu untuk itu," jawabnya tegas, ekspresi dingin khasnya semakin menutup celah. Ia jelas-jelas tak menyukai permintaan itu.
Rega melirik adiknya dan memberi isyarat halus. "Sher, keluar dulu. Aku mau bicara sama Fajar."
"Tapi, Kak..." Sherly mencoba membantah, suaranya terdengar gemetar, seperti anak kecil yang merasa ditolak.
"Ikut kata Kakak, kalau kamu masih mau kuliah di sini," sela Rega tegas.
Dengan berat hati, Sherly meninggalkan ruangan, menutup pintu perlahan di belakangnya. Suasana di dalam ruangan mendadak hening, hanya tersisa dua pria dengan ketegangan yang jelas terasa di udara.
"Fajar, ayolah bantu aku." Rega membuka pembicaraan lagi, kali ini nadanya lebih serius. "Kamu tahu kan, adikku itu cuma nurut sama kamu. Bahkan Ayah sampai angkat tangan bilangin dia. Kepala batu banget."
Fajar menarik napas panjang, menahan sesuatu yang tampaknya berat di dadanya. "Tapi aku tidak bisa," ujarnya akhirnya, suaranya terdengar lebih tajam. "Kamu tahu kan bagaimana perasaan adikmu ke aku? Aku tidak mau dia terus-terusan membuang waktunya untuk sesuatu yang sia-sia."
Rega menatap sahabatnya, mencoba membaca apa yang sebenarnya dirasakan Fajar. "Kamu masih lajang, kan? Siapa tahu... kamu memang jodohnya."
Fajar tiba-tiba menarik sudut bibirnya, memberikan senyum yang lebih mirip ejekan daripada keramahan. "Siapa bilang aku lajang?" katanya, seraya mengangkat tangan kirinya. Sebuah cincin platinum berkilauan melingkar di jari manisnya.
Rega menatap cincin itu dengan mata membelalak. "Hah? Tunggu sebentar." Wajahnya berubah dari kaget menjadi bingung. "Selain adikku, yang udah ngejar kamu sampai lupa harga dirinya, wanita mana yang mau sama balok es kayak kamu?"
Fajar hanya menatap sahabatnya dengan tenang, namun matanya menyiratkan sesuatu yang sulit diuraikan. "Ada, Ga." Suara Fajar terdengar seperti tidak yakin, tapi ia tidak ingin sahabatnya mengolok-oloknya, biasanya ia yang menolak wanita, tapi ini istrinya sendiri justru ingin segera berpisah dengannya, ia pun segera melanjutkan, "Kadang, balok es bisa mencair... kalau ketemu api yang cukup hangat."
Rega mendengus, lalu mengacak rambutnya sendiri dengan frustrasi. "Gila! Kamu pasti bercanda, aku saja gak tahu kamu nikah. Sudah jangan main misteri kayak gini kalau cuma bikin adikku menyerah kamu tau dia kan, percuma!"
"Apa aku begitu menganggur untuk bermain-main dengan hidupku?"
"Ta-tapi kan..."
Belum selesai Rega berbicara suara Sherly di depan terdengar nyaring, "Kamu wanita ganjen, ngapain kesini?"