Dania adalah wanita yang lemah lembut dan keibuan. Rasa cintanya pada keluarganya begitu besar.
Begitupun rasa cintanya pada sang suami, sampai pada akhirnya, kemelut rumah tangganya datang. Dengan kedua matanya sendiri Dania menyaksikan penghianatan yang di lakukan oleh suami dan kakaknya sendiri.
Penghianatan yang telah di lakukan orang-orang yang di kasihinya, telah merubah segalanya dalam hidup Dania.
Hingga akhirnya dia menemukan cinta kedua setelah kehancurannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ara julyana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
17. Keraguan
"Bik, kenapa bengong?" Dania menggerakkan telapak tangannya naik turun di depan wajah bik Titin yang sedang berpikir.
Bik Titin tampak gelagapan. Ia menatap Dania dengan serius.
"Bik, kenapa menatapku seperti itu?" Dania penasaran.
"Enggak non, bibik lagi ber- berpikir," jawab bik Titin gugup.
"Mikirin apa sih bik?"
"Non, bibik mau bicara," ucap bik Titin pelan dan ragu.
"Bicara apa bik, bicara aja aku akan dengarin," jawab Dania lembut, sambil menyisir rambut panjangnya.
Bik Titin menoleh ke samping kiri kanan, padahal yang dia tahu saat ini tidak ada orang lain di rumah itu selain mereka.
Bik Titin tidak tahu jika Sinta ada di rumah. Semalam saat Sinta pulang, bik Titin sudah tidur. Bahkan Sinta juga tidak tahu jika bik Titin tidur di rumah ini.
Sekarang yang di rasakan bik Titin bukan merasa takut ada orang tapi ia sedang merasa grogi dan takut untuk bicara.
Bik Titin takut Dania tidak akan mempercayainya. Dia juga bingung mau memulai pembicaraan itu dari mana. Dan ada rasa tidak tega jika harus merusak kebahagiaan Dania pagi ini.
Akhirnya dengan segenap keberaniannya bik Titin menatap Dania. Di tariknya nafas dalam-dalam, lalu di hembuskannya secara perlahan.
"Non, malam itu bibik melihat tuan Bobby..."
"Papa pulang....papa pulang....," belum selesai bik Titin menyelesaikan kalimatnya tiba-tiba Bobby telah muncul di balik pintu.
"Mas, kok cepat banget pulangnya, bukannya tempat itu jauh?" tanya Dania, seraya ia menyalami suaminya dan mencium punggung tangan sang suami dengan takjim.
Hal yang sudah lama tidak pernah Dania lakukan, karena biasanya sang suami selalu menghindar dan acuh padanya.
Bobby mengelus pucuk kepala Dania. Dania merasakan darahnya seakan berdesir saat itu. Sungguh ia sangat mendamba selama ini.
Si kecil Marteen dan Marleen pun berhambur memeluk sang papa. Bocah-bocah itu kini tidak merasa takut lagi pada sang papa. Setelah melihat perlakuan sang papa pada mamnya.
"Papa, papa, papa," teriak bocah kembar itu.
Mereka berhambur ke pelukan papanya. Begitupun Dania, ia begitu erat memeluk suami dan anak-anaknya.
Posisi mereka saat itu, Bobby tampak memeluk anak dan istrinya. Mengurung mereka dalam dekapannya.
Untuk sekilas mereka terlihat seperti keluarga kecil yang bahagia.
"Mas makasih ya," lirih Dania
"Makasih untuk apa sayang, ini sudah seharusnya," ucap Bobby, ia mengecup kening sang istri.
Bik Titin yang tadi sempat mundur keluar dari kamar, tapi ia masih bisa menyaksikan pemandangan indah itu, karena pintu kamar Dania yang masih terbuka lebar.
Rasanya bik Titin tidak akan mampu untuk mengatakan tentang apa yang di lihatnya malam itu.
Ada keraguan di wajahnya.
"Apa ku simpan saja rahasia ini rapat-rapat? kasihan non Dania, kalau sampai aku mengatakan apa yang ku lihat, mungkin saat ini tuan Bobby sudah sadar dan ingin menjadi lebih baik, sebaiknya aku memberinya kesempatan, mungkin inilah awal kebahagiaan untuk non Dania, toh juga aku tidak melihat mereka melakukan apa-apa malam itu, aku hanya melihat tuan Bobby keluar dari kamar non Sinta saja, ah sudahlah sebaiknya aku diam saja!" batin bik Titin.
Tak bisa di pungkiri kalau bik Titin pun ikut senang melihat sinar kebahagian di wajah Dania dan si kembar.
"Bik, bibik sakit?" Dania melepaskan pelukan suaminya dan menghampiri bik Titin yang masih melamun.
"Eh, maaf non, bibik sedikit pusing ya sudah bibik ke bawah dulu ya," izin nya pada Dania.
Bik Titin pun membalikkan badannya dan berlalu meninggalkan mereka.
Dania kembali bertanya pada suaminya.
"Mas belum jawab tadi pertanyaanku, kok cepat banget sampai rumahnya, bukannya pondok pesantren itu jauh dari sini."
"Apa yang enggak buat kamu dan anak-anak, ribuan kilometer pun akan mas tempuh demi kalian."
Dania tersipu mendengar jawaban suaminya.
"Kamu tahu, subuh-subuh mas udah bergerak dari sana ke mari, rasanya mas udah nggak sabar untuk ketemu kalian, rasanya mas sangat merindukan kalian seperti kita telah berpisah bertahun-tahun," ucap Bobby lagi. Yang pastinya Dania yang mendengar pun meleleh di buatnya.
Kita tinggalkan dulu suami istri yang sedang berkumpul itu.
Kini bik Titin sudah ada di lantai bawah. Ia pun menyibukkan dirinya di dapur. Lalu seseorang menghampirinya.
"Bik mana sarapanku?" tanya Sinta yang udah duduk di ruang makan.
"Itu non, ada roti tawar non Sinta bikin aja sendiri pake selai," jawab bik Titin, karena biasanya Dania juga akan bikin sendiri roti selainya untuk nya dan anak-anaknya.
Sinta terlihat marah mendengar jawaban bik Titin.
Brakk!!
Di gebraknya meja makan dengan kuat hingga menimbulkan suara.
"Bik!! bibik sadar enggak sih dengan yang barusan bibik ucapkan?"
"Apa salah bibik non?"
"Bibik itu harusnya sadar diri, masa aku nanya sarapan malah bibik suruh bikin sendiri! gak sopan itu bik! aku ini majikan bibik!!" bentak Sinta.
"Tapi non, bibik kan nggak nyuruh non Sinta masak, ini kan cuma ngoles roti pake selai non, biasanya non Dania juga bikin sendiri non," balas bik Titin yang nggak suka dengan sikap Sinta dan perlakuan Sinta padanya.
"Berani ya bibik melawan aku!!" Sinta mendorong roti dan selai yang ada di atas meja hingga benda-benda itu jatuh berserakan di lantai.
"Maafkan bibik non kalau bibik salah," bik Titin berucap sambil membereskan roti-roti yang berantakan di atas lantai.
Sementara itu Dania dan Bobby yang mendengar keributan pun segera turun.
Bobby terlihat menggendong dua jagoan kecil nya, yaitu Marleen dan Marteen. Di gendongnya dua bocah itu di sisi kanan dan kiri tubuhnya.
Sedangkan Dania berjalan di sampingnya. Sesekali ia terlihat menggoda putranya. Hingga kedua bocah kecil itu tertawa cekikikan.
"Mama geli ma," ucap Marteen.
"Mama angan ma deli," kata Marleen menimpali.
Lalu kedua bocah itu tertawa cekikikan.
Dan Dania pun ikut tertawa.
Dari meja makan tempatnya duduk Sinta menatap sinis ke arah mereka.
Jantungnya berdebar-debar tidak karuan.
"Oh, inikah peran yang sedang di mainkan Bobby? sungguh walaupun dia hanya bersandiwara tapi ini benar-benar membuatku cemburu.
"Ada apa sih ribu-ribut?" tanya Dania begitu tiba di ruang makan.
"Enggak ada apa-apa kok Nia, ini tadi rotinya jatuh saat kakak mau oles selai, iya kan bik?" bohong Sinta, ia menatap tajam pada bik Titin.
Bik Titin menundukkan wajahnya.
"Iya non," jawab bik Titin pelan.
Bobby mendudukkan dua jagoannya ke kursi masing-masing. Lalu ia pun mengambil tempat di hadapan Sinta.
Mata Sinta membulat sempurna menatap Bobby.
Bobby yang tahu sedang di pelototi Sinta pun, memanyunkan bibirnya hingga menimbulkan suara, ''huffs". yang sangat pelan seolah ia sedang memberi kode pada Sinta untuk diam saja.
Bersambung