"Untukmu Haikal Mahendra, lelaki hebat yang tertawa tanpa harus merasa bahagia." - Rumah Tanpa Jendela.
"Gue nggak boleh nyerah sebelum denger kata sayang dari mama papa." - Haikal Mahendra.
Instagram : @wp.definasyafa
@haikal.mhdr
TikTok : @wp.definasyafa
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon definasyafa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
⋆˚𝜗 The first day of work 𝜚˚⋆
“Terlalu sibuk ngertiin orang lain, sampai lupa buat ngertiin diri sendiri.” - Haikal Mahendra.
“Jadi, apa yang ingin kau bicarakan son?” seorang pria yang masih terbalut pakaian kantornya itu bertanya kepada putra tunggalnya.
Setelah makan siang bersama tadi, saat ini mereka semua tengah berkumpul di ruang keluarga tak lupa Haikal juga ikut serta. Lelaki itu sudah berganti pakaian menggunakan kaos oblong hitam yang Haikal tebak harganya sesuai dengan biaya makannya selama beberapa tahun.
Haikal duduk tepat di samping Cakra dengan wajah canggungnya. Aura Daddy Cakra sangat berbanding terbalik dengan Mommy-nya, jika tadi Mommy Cakra terlihat begitu cerita dan menghangatkan tapi kini Daddy Cakra terlihat begitu dominan dan tegas, mampu membuat nyali Haikal cukup menciut.
“Haikal mau kerja di cafe punya Cakra, nanti malem dia udah mulai bisa kerja, Dad.” tanya Cakra, oh ralat bukan pertanyaan lebih tepatnya ke sebuah pernyataan.
Dahi pria keturunan Amerika itu menyerngit, lalu untuk apa dirinya di paksa pulang jika putranya sendiri sudah memutuskan semuanya. “lalu kenapa kau menyuruhku pulang son, jika kau sendiri sudah memutuskan nya.”
Cakra mendengus, “biar Daddy tau.”
Cakra kembali menyandarkan punggungnya dengan nyaman, sekan apa yang baru saja dia lakukan itu adalah hal yang begitu sepele. Tidak tau kah dia, jika perusahaan Daddy-nya harus rugi ratusan juta sebab menunda meeting secara sepihak.
Ebenezer hanya mampu menggeleng pelan, kemudian dia beralih menatap Haikal yang sedari tadi menunduk memainkan kakinya. “Haikal, kau yakin ingin bekerja di usiamu yang sekarang? bukannya lebih baik fokus pada pelajaran sekolah mu dulu?”
Haikal sontak mendongakkan kepalanya, “gapapa kok om saya yakin, saya juga janji sekolah saya tidak akan menganggu pekerjaan saya nantinya.”
Haikal yakin sangat yakin, demi dia bisa makan dan bertahan hidup setidaknya hingga dia benar-benar dapat mendengar kata sayang yang begitu tulus dari kedua orang tuanya.
Ebenezer melepas jas yang melekat pada tubuh tegapnya menyisakan kemeja putih miliknya, “kalau boleh saya tau, apa alasan kamu bekerja di saat status mu masih seorang pelajar?”
Haikal diam, dia bingung harus menjelaskannya mulai dari mana. Tidak mungkin dia menceritakan tentang kedua orang tuanya yang berpisah dan menelantarkannya begitu saja, itu sama halnya dengan mengotori nama baik Papa dan Mama nya kan?
Karena Haikal hanya diam, Cakra yang menyatu pertanyaan Daddy-nya. “orang tua Haikal udah cerai Dad, mereka idah punya keluarga baru dan buang Haikal gitu aja.”
Haikal sontak menoleh ke arah Cakra, kedua matanya melotot seakan memperingati Cakra untuk tidak mengatakan apapun pada Daddy-nya.
Leen yang sedari tadi diam di samping suaminya itu seketika menegakkan tubuhnya, “Haikal, benar yang di bilang Cakra?”
Haikal menunduk sebentar menghembuskan nafasnya gusar, harusnya orang tua Cakra tidak perlu tau ini semua tapi mau bagaiman lagi Cakra terlalu ember untuk menceritakan semua itu kepada orang tuanya.
Perlahan Haikal kembali mendongakkan kepalanya dengan anggukan samar, “iya mom.”
Leen langsung berdiri dari duduknya, raut wajah yang semula cerita dan penuh akan senyuman kini berubah menjadi dingin dan tegas. “kita laporkan orang tua kamu ke kantor polisi, ini sudah termasuk tindak kejahatan, keterlaluan!”
Haikal panik, tidak Mama dan Papa-nya tidak boleh di laporkan ke kantor polisi. Mereka pasti akan sangat membenci Haikal nanti, dan Haikal tidak akan pernah bisa mendengar kata sayang dari mereka nantinya.
“Jangan mom, Haikal mohon jangan laporin Mama sama Papa. Haikal gapapa, lagian semua ini keinginan Haikal sendiri mom.” Haikal menatap Mommy Cakra memelas berharap di mempercayai ucapannya dan menguntungkan niatnya untuk melaporkan Mama dan Papanya. Orang tua Cakra bukan orang sembarang jadi pasti sangat mudah bagi mereka membuat Mama Papa-nya mendekat di penjara.
“Tapi Haikal, ini sudah-“
“Gapapa mom, Haikal beneran gapapa. Haikal makasih banget karena Mommy sama Om udah baik banget mau nolong Haikal, tapi Haikal mohon kangan pernah laporin Mama Papa ke kantor polisi.” ujar Haikal begitu berusaha menyakinkan.
Leen menghembuskan nafas beratnya, dia kembali duduk dengan suaminya yang mengusap pundaknya naik turun agar emosi istrinya itu dapat mereda. “tapi kamu janji ya kalau butuh apapun itu bilang sama Mommy, Daddy atau Cakra, kita bakal selalu bantu kamu Haikal.”
Haikal tersenyum dengan kepala mengangguk pelan, “iya mom, terimakasih karena udah selalu mau bantu Haikal.”
Leen dan Ebenezer sama-sama tersenyum tipis, “panggil saya Daddy sama seperti Cakra.”
Senyum di dua sudut bibir Haikal semakin melebar, “iya Daddy.”
Cakra ikut tersenyum kemudian dia merangkul bahu Haikal akrab, “sekarang lo bukan cuma punya sahabat baru tapi juga keluarga baru, jadi lo nggak perlu ngerasa sendiri kal masih ada gue dan orang tua gue yang bakal selalu ada buat lo.”
“Thanks ya cak, andai gue nggak ketemu lo gue bakal ngerasain lagi gimana rasanya punya keluarga.”
Haikal memeluk Cakra ala laki-laki, ingin rasanya dia menangis sekarang. Bukan menangis karena lelah seperti biasanya, tapi menangis karena kebahagiaan. Kebahagiaan saat Tuhan mempertemukannya dengan Cakra dan keluarganya.
...᭝ ᨳ☀ଓ ՟
...
Matahari tenggelam tergantikan dengan bulan yang bersinar terang dikelilingi bintang-bintang yang tergantung di langit malam. Indahnya malam ini seindah senyuman seorang laki-laki berusia 13 tahun yang tengah menatap dirinya di pantulan cermin yang ada di dalam kamarnya. Senyuman seindah bunga matahari itu mengembang sempurna saat pantulan cermin itu menampilkan dirinya yang sudah rapi dengan setelan pakaian barista nya.
“Semangat kerjanya Haikal, demi bisa bertahan hidup sampek bisa denger kata sayang dari Mama Papa.” kata semangat itu terlontar dari mulutnya sendiri.
Kedua mata berbinarnya menata bantuan dirinya dari cermin lemari itu. Senyumnya tak pernah luntur sedikitpun, seakan hari ini adalah hari paling bahagia baginya.
Malam ini adalah hari yang paling dia nantikan, di mana saat dia sedang mendapat pekerjaan dan dapat bekerja agar dia memiliki uang untuk kebutuhan dirinya sehari-hari. Meskipun dia belum tahu berapa gaji yang akan dia dapatkan, tapi Haikal sudah sangat amat bersyukur setidaknya dia bisa dapat uang. Dia tidak butuh gaji banyak, berapapun akan dia terima dengan senang hati.
Kakinya melangkah keluar rumah sederhana itu dengan semangat, tak lupa sebelum pergi dia mengunci pintu rumah itu terlebih dahulu. Karena dia hanya tinggal seorang diri dan akan pulang larut malam nantinya. Saat hendak menuju ke tempat pangkalan ojek, dia dikejutkan dengan suara klakson mobil yang ada di belakangnya.
Tin!
Tin!
Haikal menoleh ke belakang dimana mobil itu berada, dahinya sedikit menyerngit mobil yang begitu asing baginya. Sepertinya mobil itu juga bukan milik Cakra sebab berbeda dari mobil tadi siang yang dia tumpangi.
Seorang lelaki dengan hoodie army-nya keluar dari dalam mobil itu dengan gaya cool-nya, “masuk kal, lo bareng gue aja sekalian gue juga mau ke cafe.”
Haikal menatap mobil itu lekat kemudian beralih menatap Cakra, “mobil lo ganti lagi, ya?”
Cakra meraih pergelangan tangan Haikal, menyeretnya pelan agar masuk ke dalam mobilnya. Haikal hanya menurut, dia duduk di samping Cakra masih dengan raut wajah bingungnya.
“Jalan.” perintah Cakra tanpa menatap supir pribadinya, dia masih menunduk fokus pada ponselnya membalas rentetan pesan bawel dari Mommy-nya.
Pria berpakaian hitam itu menatap tanda dari spion mobil dengan anggukan patuh, “baik tuan muda.”
Dalam perjalanan menuju cafe, Haikal maupun Cakra tidak henti-hentinya mengobrol hal-hal random. Bahkan mereka juga sesekali tertawa kencang, entah apa yang mereka tertawakan, yang jelas suara mereka berhasil memenuhi mobil itu.
Setibanya di cafe, mereka berjalan beriringan memasuki cafe yang terlihat jauh seperti halnya cafe pada umumnya, lebih pantas jika disebut sebagai restaurant. Take a bit cafe, cafe yang baru buka beberapa hari lalu namun tidak pernah terlihat sepi akan pengunjung. Mungkin karena tempatnya yang sangat strategis.
Take a bit cafe memiliki dua lantai, lantai pertama terdapat outdoor yang biasa di tempati oleh para anak muda untuk nongkrong di malam hari di lengkapi dengan pertunjukan band dan privat room no smoking area. Sementara lantai dua indoor, yang biasa dijadikan tempat meeting oleh para pengusaha-pengusaha besar, sebab ruangan disana termasuk kedap suara.
“Selamat malam tuan muda, maaf tadi tuan Ebenezer bilang –"
Belum sempat orang kepala barista itu menyelesaikan ucapannya, Cakra sudah lebih dulu menyela. “dia Haikal sahabat gue, pegawai baru disini dan lo harus ajari dia sampai bisa lebih pinter dari lo.”
Haikal menatap Cakra bingung, dia baru tahu kalau sahabat barunya ini memiliki dua kepribadian. Contohnya sekarang laki-laki itu terlihat sangat tegas dan menyeramkan sama seperti Daddy-nya, padahal tadi di dalam mobil dia sempat menjadi orang setengah waras sepertinya.
Lelaki berusia 20 tahun itu mengangguk patuh, “baik tuan muda.”
Setelahnya dia mengajak Haikal menuju bar cafe itu, dia akan mengajarkan Haikal bagaimana cara menjadi barista yang baik dan benar., sesuai apa yang dibilang Cakra tadi, Sementara Cakra, dia menatap semua gerak-gerik pegawainya di salah satu tempat duduk yang ada di cafe itu tentu ditemani dengan cemilan dan juga minuman yang sudah disediakan di mejanya.
Haikal mendengarkan semua yang dikatakan oleh remaja di depannya itu, matanya juga fokus memperhatikan bagaimana cara membuat coffee dengan benar mengunakan alat-alat canggih di depannya.
“Gimana, paham?” tanya remaja itu setelah selesai menjelaskan tanpa ada yang terlupakan.
Haikal mengangguk mantap, “paham bang.”
Remaja itu tersenyum puas, bocah lelaki ini ternyata sangat cepat tanggap. “yaudah sekarang lo anterin pesenan ini ke meja no 20, selalu senyum ramah karena itu termasuk salah satu prioritas di cafe ini.”
Haikal menerima nampan itu sambil menganggukkan kepalanya semangat, “siap bang.”
Kakinya berjalan menuju meja no 20 sesuai apa yang di perintahkan padanya tadi dengan penuh semangat, senyuman di kedua sudut bibirnya tak pernah luntur sedikitpun.
“Selamat menikmati.”
Suara lembut nan sopan itu terdengar sangat indah di sepasang suami istri muda itu, mereka sontak mendongak menatap Haikal dengan senyumannya. “terima kasih."
“Sama-sama.”
Haikal kembali berjalan menuju bar cafe, mengambil satu nampan lagi untuk dia antar ke meja pelanggan lainnya. Begitu seterusnya, hingga tak terasa sudah begitu banyak pesanan yang dia antar, tersisa 10 nampan lagi.
Kedua tangan Haikal menjinjing nampan ke pertama dari ke sepuluh itu sambil menghembuskan nafasnya gusar, “hufttt capek juga ya ternyata, tapi gapapa gue harus semangat biar nggak makan roti mulu buat ganjel perut.”
Sedangkan Cakra, pemilik cafe itu sudah masuk ke dalam alam mimpinya. Lelaki itu bahkan tertidur di tempat yang dari tadi dia tempati, kepalanya dengan nyaman dia tenggelam kan diantara lipatan kedua tangannya. Tidak salah jika Cakra sudah tertidur pulas, sebab saat ini jarum jam menunjuk pada pukul 12 malam.
Haikal sudah menyuruh cara untuk pulang agar dia bisa tidur dengan nyaman di mansion-nya. Tapi lelaki itu menolak keras, dia bilang ingin menunggu Haikal selesai bekerja agar mereka bisa pulang bersama nanti. Cakra khawatir, tengah malam seperti ini tidak mungkin ada ojek itu sebabnya dia memutuskan untuk menunggu sahabatnya.
Kembali lagi pada Haikal, lelaki itu berjalan ke bar untuk kembali mengambil pesanan pengunjung, sesekali dia menguap pelan. Jujur saja dia sangat mengantuk dan lelah sekarang, mungkin karena ini adalah hari pertamanya bekerja makanya dia terlihat begitu kelelahan.
“Capek dan ngantuk banget, pasti karena belum terbiasa. Sabar kal, 2 jam lagi lo pulang kok.”