Jangan lupa mampir di Fb otor (Mima Rahyudi)
**
**
**
“Dad! Aku ingin kita akhiri hubungan kita!” seru Renaya tiba-tiba.
“Kenapa, baby?” tanya Mario.
“Aku nggak nyaman sama semua sikap Daddy,” jawab Renaya
“Kita tidak akan pernah berpisah, baby. Karena aku tidak akan melepaskan kamu.”
Hidup Renaya seketika berubah sejak menjalin hubungan dengan Mario, pria matang berusia 35 tahun, sementara usia Renaya sendiri baru 20 tahun. Renaya begitu terkekang sejak menjadi kekasih Mario, meski mungkin selama menjadi kekasihnya, Mario selalu memenuhi keinginan gadis cantik itu, namun rupanya Mario terlalu posesif selama ini. Renaya dilarang ini dan itu, bahkan jika ada teman pria Renaya yang dekat dengan sang kekasih akan langsung di habisi, dan yang paling membuat Renaya jengkel adalah Mario melarang Renaya untuk bertemu keluarganya sendiri. Sanggupkan Renaya menjalani hidup bersama Mario? Kenapa Mario begitu posesif pada Renaya? Ada rahasia apa di balik sikap posesif Mario?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mima Rahyudi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 7
“Kenapa, Dad? Kenapa aku tidak boleh menemui keluarga aku?” tanya Renaya sambal menggerakkan tubuhnya penuh irama diatas tubuh Mario, sehingga air di dalam bathup bergolak kesana kemari karena gerakan tubuh Renaya yang begitu gemulai.
“Karena Daddy tidak suka!” jawab Mario, yang kemudian secara tiba-tiba menghujamkan kepemilikannya dari bawah dengan hentakan yang cukup keras sehingga membuat Renaya seketika mendesah Panjang.
“Daddy ingin kamu hanya bersama Daddy saja, tidak perlu keluargamu lagi. Daddy lebih memiliki segalanya dari Papi kamu, bahkan jika kamu meminta 10 kali lipat dari kekayaan Papi kamu, tentu saja Daddy masih sangat sanggup. Paham?” lanjutnya, kali ini dia yang terus bergerak, hingga akhirnya keduanya sama-sama mendesah Panjang.
Renaya tidak menjawab apa-apa, dia hanya mengambrukkan tubuhnya di atas tubuh Mario, napasnya memburu, sedangkan dengan tenang Mario memeluknya dan menciumi pundak perempuan cantik itu.
“Tapi kalau Papi sewaktu-waktu meminta aku pulang dan bertemu bagaimana?” tanya Renaya, perempuan itu berusaha mengatur napasnya kembali.
“Kita lihat saja nanti, seberani apa seorang Tuan Arnold berani melawan seorang Mario Surya Atmaja ini, baby,” jawab Mario.
Keduanya menyudahi aktivitas ‘mandi enak’ mereka dan memilih sama-sama berbaring di ranjang, dimana Mario memeluk Renaya dari belakang sehingga Renaya kembali merasakan kehangatan pelukan sang Daddy.
Dalam pikirannya, tentu masih berkecambuk, kenapa Mario melarangnya untuk menemui keluarganya, bahkan ini menemui Papi kandungnya sendiri. Renaya tahu memang sifat Mario dari dulu posesif, bahkan Renaya hampir tidak punya teman pria setelah hidup bersama dengan Mario, karena Mario jika sudah cemburu, pelampiasannya di ranjang sangat mengerikan, herannya, Renaya selalu menikmatinya.
**
**
**
Keesokan paginya, keduanya terbangun bersama dengan suasana yang tenang. Mario sudah berada di dapur, menyiapkan sarapan sederhana untuk mereka berdua, sembari menikmati momen pagi yang santai. Dia tampak rapi dengan kemeja kerjanya, bersiap menghadapi rutinitas di kantor. Di meja makan, Renaya sudah bersiap dengan buku-bukunya untuk kuliah.
Pagi itu, saat Mario dan Renaya menikmati sarapan bersama, Mario menatap Renaya dengan penuh perhatian dan tersenyum. "Hari ini kuliah sampai jam berapa, sayang?" tanyanya, sambil menyodorkan secangkir kopi ke arah Renaya.
Renaya menyambut kopi itu sambil tersenyum tipis. “Sampai jam sebelas saja, Dad. Hari ini tidak banyak kelas,” jawabnya dengan nada ringan.
Mario mengangguk, tampak senang mendengar kabar itu. "Kalau begitu, kuliahnya Daddy antar saja, ya. Nanti jam sebelas Daddy jemput lagi. Kita bisa makan siang bersama—sudah lama rasanya kita tidak makan siang bareng."
Renaya tersenyum mendengar rencana itu, sedikit terkejut karena Mario jarang mengajaknya untuk makan di luar. "Wah, ide yang bagus, Dad. Kamu mau makan di mana nanti?"
Mario memandangi Renaya dengan penuh perhatian, lalu menjawab, "Kamu saja yang pilih. Apa yang kamu suka? Rasanya apa pun pasti akan terasa lebih enak kalau kamu yang menemani."
Renaya tertawa kecil, merasa tersanjung dengan perhatian Mario. “Hmm... mungkin kita bisa coba restoran Italia yang baru dibuka di pusat kota? Katanya makanan di sana enak banget, dan tempatnya juga nyaman.”
Mario tersenyum sambil mengangguk. "Pilihan yang bagus. Kalau itu yang kamu inginkan, kita akan ke sana. Daddy juga sudah lama tidak menikmati pasta yang benar-benar autentik. Bagaimana kalau kita memesan tempat dulu? Jadi begitu selesai kuliah, kita tidak perlu menunggu.”
Renaya menatap Mario, merasa beruntung memiliki seseorang yang begitu memperhatikan hal-hal kecil dalam hidupnya. "Terima kasih, Dad, kamu selalu memastikan semuanya sempurna," katanya tulus.
Mario mengulurkan tangan, meraih tangan Renaya di atas meja dan menggenggamnya lembut. “Apa pun untukmu, sayang. Daddy hanya ingin kamu merasa senang dan nyaman.”
Sarapan berlanjut dalam suasana penuh kehangatan, dengan obrolan ringan mengenai kelas-kelas Renaya dan rencana akhir pekan mereka. Sesekali, Mario menanyakan detail tentang kuliah Renaya, dan Renaya berbagi cerita tentang tugas-tugasnya dan rencana yang ingin dia jalani ke depannya.
Selesai sarapan, Renaya merapikan buku-bukunya dan mempersiapkan diri untuk kuliah. Mario mengantar Renaya ke kampus dengan mobilnya, mengobrol ringan sepanjang perjalanan. Mereka berbicara tentang hal-hal sederhana, tetapi bagi Renaya, setiap momen itu terasa spesial.
Saat mereka tiba di depan gedung kampus, Mario berhenti dan menatap Renaya dengan lembut. "Daddy akan kembali ke sini jam sebelas. Jangan lupa langsung keluar setelah kelas selesai, ya."
Renaya mengangguk, tersenyum, dan berkata, “Iya, Dad. Aku akan segera keluar. Sampai nanti!”
Mario menyaksikan Renaya masuk ke kampus sebelum akhirnya kembali ke mobil dan melanjutkan perjalanan ke kantornya.
Saat tiba di kampus, Ivanka, sahabat Renaya, langsung menyambutnya dengan senyuman lebar di pintu kelas. "Wihhh! Tumben diantar Daddy kesayangan? Mobil kamu kemana?" godanya, sambil melirik ke arah luar gedung.
Renaya tersenyum kecil, membalas sambil menata beberapa buku di lengannya. "Iya, hari ini Daddy mau jemput untuk makan siang, jadi aku nggak bawa mobil. Rencananya nanti kita mau coba restoran Italia yang baru buka."
Ivanka mengangguk sambil mengangkat alis, terkesan. "Wah, romantis sekali. Kamu selalu bikin iri aja, Nay."
Renaya tertawa ringan, tapi sebelum dia sempat menjawab, seorang cowok memasuki kelas dengan langkah santai. Sosoknya tinggi dan tampan, dengan raut wajah yang tajam namun ramah. Saat melewati Renaya, cowok itu tak sengaja menyenggol bahunya.
"Oh, maaf! Nggak sengaja," katanya dengan senyum kecil, terlihat sedikit gugup. Matanya menatap Renaya sekilas, seolah ingin memastikan dia baik-baik saja.
Renaya hanya tersenyum tipis, meski sedikit terkejut. "Nggak apa-apa," jawabnya singkat, menenangkan.
Cowok itu mengangguk singkat sebelum melanjutkan langkah dan duduk di salah satu bangku kosong di dekat jendela, tak jauh dari Renaya dan Ivanka. Ketika dia duduk, beberapa mahasiswa lain juga tampak melirik ke arahnya, sepertinya terkesan dengan kehadiran anak baru yang tampan itu.
Dengan penuh rasa penasaran, Renaya menoleh ke Ivanka dan berbisik, "Itu siapa, Van? Aku belum pernah lihat dia sebelumnya."
Ivanka melirik ke arah cowok itu dan tersenyum usil. "Itu Edwin, anak baru. Katanya dia pindahan dari Jepang. Keluarganya baru balik ke sini."
Renaya mengangguk pelan, melihat Edwin yang sedang sibuk merapikan buku-bukunya di meja. "Hmm, ganteng juga ya," gumamnya, memandang cowok itu dari kejauhan.
Ivanka tertawa kecil. "Iya kan? Kamu pasti setuju. Si Edwin ini pasti akan jadi idola baru di kampus."
Renaya terkekeh, menggelengkan kepala sambil berbisik, "Ganteng sih, tapi menurutku masih gantengan Daddy Mario."
Ivanka menatapnya dengan mata terbelalak, seolah tidak percaya apa yang baru saja didengarnya. "Duh, Nay! Daddy Mario lagi. Kamu memang nggak ada duanya kalau soal Daddy Mario," katanya sambil tertawa kecil.
Sementara itu, cowok yang disebut Namanya sebagai Edwin, tampak sekilas mencuri pandang menatap Renaya yang masih asyik ngobrol dengan Ivanka.
“Jadi, gadis itu yang jadi target selanjutnya?”