Widuri Azzahra, seorang gadis cantik yang lahir di Cianjur tepatnya di sebuah desa di kabupaten cianjur, namun saat ia sudah berusia 15 tahun Widuri di bawa pindah ke Bandung oleh kedua orang tuanya, Widuri tumbuh menjadi gadis cantik, saat ia menginjak sekolah menengah atas, Widuri bertemu dengan Galuh, selang beberapa bulan mereka berpacaran, namun salah satu pihak merugikan pihak yang lain, ya sayang sekali hubungan mereka harus kandas, karena Galuh yang kurang jujur.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yuli Yanti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 16: Keputusan Baru
Malam itu, Widuri memutuskan untuk mengambil langkah kecil. Dia membuka buku catatannya dan mulai menulis daftar impian yang ingin dia capai untuk dirinya sendiri.
“Ini bukan untuk guru, bukan untuk sekolah, tapi untuk aku,” bisiknya pelan.
---
Setelah malam merenung panjang, Widuri merasa lebih tenang. Dia memegang daftar impian yang telah ditulisnya semalam. Ada hal-hal sederhana di sana, seperti belajar melukis, membaca buku yang selalu tertunda, dan merencanakan masa depan tanpa terpengaruh tekanan dari orang lain.
Di sekolah, Widuri memulai harinya dengan langkah lebih ringan. Meski masih ada banyak tugas organisasi yang harus diselesaikan, dia berusaha menjalani semuanya dengan hati yang lebih ikhlas.
“Widuri! Ini ada jadwal rapat OSIS sore ini, jangan lupa ya,” seru ketua OSIS, Rania, yang mendekatinya saat istirahat.
Widuri mengangguk, “Oke, nanti aku datang.”
Namun, di dalam hatinya, Widuri tahu bahwa dia perlu mengatur ulang prioritas hidupnya. Dia tidak bisa terus-menerus menjalani hari-harinya hanya untuk memenuhi ekspektasi orang lain.
Sore itu, saat rapat berlangsung, Galuh tiba-tiba muncul di depan pintu ruang OSIS.
“Widuri, aku mau bicara sebentar,” katanya dengan suara penuh ketegangan.
Rania menoleh, memberi isyarat agar Widuri mengurus masalah pribadinya di luar.
Dengan enggan, Widuri keluar dari ruangan, menatap Galuh dengan pandangan datar.
“Ada apa lagi, Gal?” tanyanya tanpa basa-basi.
“Aku tahu ini mungkin aneh, tapi aku cuma mau bilang kalau aku bangga sama kamu. Aku dengar soal lomba debat itu... Kamu hebat,” kata Galuh, suaranya tulus.
Widuri terdiam sejenak, mencoba mencerna ucapan itu. “Makasih. Tapi aku nggak tahu apa gunanya kamu bilang ini sekarang.”
Galuh menghela napas panjang. “Aku tahu aku terlambat. Tapi aku mau kamu tahu, aku nggak pernah benar-benar pergi. Aku masih peduli sama kamu.”
Widuri menggeleng pelan. “Galuh, ini bukan soal kamu peduli atau nggak. Aku cuma... udah terlalu capek sama semua ini. Aku butuh waktu buat diriku sendiri.”
Galuh menunduk, terlihat menyesali semua yang terjadi. Tapi dia tahu bahwa ini bukan saatnya memaksakan apapun.
“Oke. Aku cuma mau kamu tahu itu. Kalau kamu butuh apa-apa, aku ada di sini,” katanya sebelum pergi.
Widuri hanya bisa menghela napas panjang.
Setelah rapat OSIS selesai, Widuri memutuskan untuk mampir ke taman kota. Tempat itu selalu menjadi pelariannya ketika pikirannya terasa penuh.
Di sana, dia duduk di bangku favoritnya, menatap anak-anak kecil yang berlarian riang di sekitar taman. Hatinya terasa lebih ringan, meski masih ada sedikit kegelisahan yang menghantui.
Tak lama, Damar datang menghampirinya.
“Wid, kamu sendirian lagi di sini?” tanyanya sambil duduk di sampingnya.
“Iya. Lagi butuh waktu buat mikir aja,” jawab Widuri dengan senyum tipis.
Damar mengangguk, lalu mengeluarkan buku catatan kecil dari tasnya.
“Aku bawa ini buat kamu,” katanya sambil menyerahkan buku itu.
Widuri membuka halaman pertama dan menemukan tulisan tangan Damar di sana: “Untuk Widuri yang luar biasa. Jangan lupa bahwa kebahagiaanmu adalah prioritas utama.”
“Dam, ini apa?” tanya Widuri, terkejut.
“Cuma catatan kecil aja. Aku tahu kamu sering merasa semua orang menuntut banyak dari kamu. Aku cuma mau kamu ingat, kamu nggak harus selalu memenuhi ekspektasi mereka. Lakukan apa yang bikin kamu bahagia,” jawab Damar dengan senyum hangat.
Widuri terdiam, matanya sedikit berkaca-kaca. Kata-kata itu begitu sederhana, tapi begitu berarti baginya.
“Thanks, Dam. Aku beneran butuh ini,” katanya pelan.
Damar hanya tersenyum, lalu mengalihkan pandangannya ke langit senja yang mulai memerah.
Malam itu, Widuri kembali ke rumah dengan perasaan yang lebih tenang. Dia membuka buku catatan Damar dan mulai menulis sesuatu di bawah kalimat yang ditulis Damar.
“Aku akan mencoba. Untuk pertama kalinya, aku ingin hidup untuk diriku sendiri, bukan untuk orang lain.”
Hari-hari berikutnya, Widuri mulai perlahan mengurangi aktivitas yang membuatnya terlalu terbebani. Dia berbicara dengan Rania tentang kemungkinan membagi tugasnya di OSIS dengan anggota lain.
“Rania, aku nggak bisa terus seperti ini. Aku butuh waktu lebih buat fokus ke hal-hal lain,” katanya jujur.
Rania terlihat sedikit terkejut, tapi akhirnya mengangguk. “Aku ngerti, Wid. Kita bisa bagi tugas, nggak masalah.”
Keputusan itu membuat Widuri merasa lebih lega. Dia akhirnya punya waktu lebih untuk mengejar impian-impian kecilnya, seperti belajar melukis dan membaca buku yang selalu dia tunda.
Sementara itu, Galuh terus mencoba memperbaiki dirinya. Dia mulai lebih fokus pada studinya dan berusaha menjadi pribadi yang lebih baik. Meski rasa penyesalan masih sering menghantuinya, dia tahu bahwa ini adalah konsekuensi dari kesalahan-kesalahan yang dia buat di masa lalu.
Di sisi lain, Damar terus mendukung Widuri dari kejauhan. Dia tidak pernah memaksakan apapun, hanya hadir sebagai teman yang selalu siap mendengarkan.
Widuri mulai merasa bahwa hidupnya perlahan kembali ke jalur yang benar. Dia menyadari bahwa perjalanan ini masih panjang, tapi dia siap menghadapi setiap langkahnya dengan hati yang lebih kuat.