Perjalanan hidup sebuah nyawa yang awalnya tidak diinginkan, tapi akhirnya ada yang merawatnya. Sayang, nyawa ini bahkan tidak berterimakasih, malah semakin menjadi-jadi. NPD biang kerok nya, tapi kelabilan jiwa juga mempengaruhinya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Osmanthus, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sudah ku Duga
"Tere, Nita!" suara pak Guntur menggelegar menyentakkan bu Tere dan Nita.
"Apa yang terjadi? Kenapa kalian membuat keributan?" bentak pak Guntur yang baru sampai ke rumah.
Istri pak Zul yang tinggal di depan rumah mereka sengaja mengayuh sepedanya ketika melihat keributan yang disebabkan Nita, dia segera menuju ke tempat kerja pak Guntur dan pak Zul. Kebetulan mereka juga teman satu kerja.
Makanya pak Guntur izin kembali ke rumah untuk meredam masalah yang terjadi.
"Kalian tidak bisa membicarakan itu di dalam rumah? Kamu juga Nita, harus dengan teriak-teriak kepada ibumu untuk berbicara?" bentak pak Guntur lagi. Suaranya memang tidak keras tapi nada suara pak Guntur sanggup membuat orang gemetar.
Pak Guntur adalah sosok pria yang bisa dibilang benar-benar laki-laki sejati. Dia cuma perlu bicara 1 atau 2 saja dan tidak suka berbelit-belit. Ditambah dia selalu disiplin serta keras dalam mendidik anak-anaknya.
"Mana ada anak yang bisa berhasil kalau tidak dididik dengan keras? Sehingga mereka menjadi anak yang patuh? Tidak ada itu!" Motto pak Guntur yang selalu diungkapkan di depan keluarganya.
"Anak yang patuh, itulah anak yang akan berhasil."
"Didikan orangtua tidak akan pernah mencelakakan kalian"
Prinsip ini dijalankan dengan baik oleh Joni dan Doni, tapi tidak oleh Nita. Dia selalu membangkang dan akhirnya selalu dihukum.
Mulai dari dipukul dengan rotan, dengan karet gelang, dengan ikat pinggang. Bahkan pernah di kurung di dalam gudang karena mencuri buah tetangga.
Nita memang sedikit takut dengan ayahnya pak Guntur tapi tidak pernah kapok.
Seperti saat ini, dia memang hanya menunduk saja tanpa berani berteriak maupun membantah seperti kepada ibunya.
Tapi dia masih menunjukkan muka kesal.
"KAU Nita, jangan banyak lagak di depan ibumu. Kenapa memang nya kalau KAU diambil? Harusnya KAU bersyukur karena disayangi dengan luar biasa oleh ibumu, bahkan saudara-saudaramu juga menyayangimu. Mereka selalu mengalah." tuding pak Guntur dengan nada yang sangat rendah serta menekankan kata KAU dengan sangat keras.
"Apa mau mu selalu diikuti. Bahkan semua dilengkapi, malah lebih lengkap daripada saudaramu."
"Bukannya berterimakasih, malah sibuk menuding ibumu yang memisahkanmu."
Cecar pak Guntur dengan emosi, mukanya merah padam, matanya seakan mau melahap Nita dengan sekali telan.
Selama ini pak Guntur sudah banyak bersabar, memang dia masih memikirkan perasaan istrinya. Tapi dengan kejadian begini, bagaimana dia bisa sabar?
Joni dan Doni yang melawan ibunya saja sudah membuat pak Guntur marah, apalagi si Nita ini? Yang malah membuat ibunya menangis terisak-isak seakan ibunya adalah penjahat yang memisahkan ibu serta anak kandung.
"Siapa juga yang mau memisahkan mu dengan ibumu si Ema itu? Dia karena hamil di luar nikah, makanya dia tidak mau menjaga anaknya." lanjut pak Guntur kesal dan tidak menyembunyikan lagi fakta sebenarnya.
"Dia mau fokus sekolah dan tidak mau mengurus anak, makanya diserahkan ke ibumu. Itupun opa Randy yang memberitahukan ibumu. Awalnya juga kami tidak tahu menahu. Bahkan si Ema ini malah sembunyi-sembunyi pergi ke bidan untuk melahirkan."
Nita hanya terdiam dan merenung mendengar perkataan pak Guntur.
"Jangan kau pikir bahwa kau pintar, bahwa kau cerdas? Banyak anak-anak diluar sana yang pintar dan cerdas. Lalu kau bisa berbuat seenaknya kepada ibumu? Atau karena kau merasa ibumu terlalu lembut kepadamu? Maka kau pun jadi semena-mena?" cecar pak Guntur keras.
Tangan bu Tere cepat bergerak memegang tangan kanan pak Guntur yang sudah mau melayang untuk menampar Nita.
"Sudah sayang, sabar dulu." jawab bu Tere.
Pak Guntur menepiskan tangan bu Tere san melihat bu Tere dengan kesal sembari menunjuk bu Tere, "kamu juga, aku sudah pernah ingatkan kan? Jangan manjakan dia. Jangan ikuti kemauan nya. Lihat hasil didikanmu!" bentak pak Guntur.
Nita tidak bergerak apalagi berani menjawab. Dia juga tidak menangis ketakutan. Sedangkan bu Tere sudah gemetar ketakutan, selama 20 tahun pernikahan mereka, baru sekali ini pak Guntur suaranya menggelegar seperti guntur pula.
"Aku tahu aku salah sayang, tapi redakan dulu emosimu" bu Tere menepuk-nepuk dada pak Guntur.
"Lihat kan? Dia bahkan tidak menghargai kebaikan hatimu, malah dia menyalahkan kita mengapa mengambilnya. Padahal kita menolong dia, si Ema itu bahkan tidak pernah menanyakan keberadaan anaknya sekalipun. Malah kabur dengan laki-laki lain." pak Guntur menghembuskan nafas kasar sembari duduk di kursi teras mereka dengan kasar.
"Kau mau apa? Mau dipulangkan ke ibumu? Batang hidungnya saja tidak kelihatan selama 12 tahun ini!!!" bentak pak Guntur lagi.
Nita tetap diam dan membisu, dia mengepalkan tangannya dan gemetar menahan amarah.
Ya, dia tidak takut dengan siapapun termasuk pak Guntur ayahnya ini. Dia hanya kesal tidak bisa melawan menjawab, aura pak Guntur yang begitu mendominasi membuat siapapun takut.
"Jawab!!!!!" perintah pak Guntur.
Nita tersentak dan hanya menggelengkan kepala.
"Tadi kau bisa berteriak dengan ibumu, kenapa dengan aku tidak bisa? Bukannya kami ini bukan orangtua kandungmu, anggap saja aku orang gila yang bicara dengan mu!" cecar pak Guntur lagi sembari menahan tangan nya agar tidak menampar Nita.
Dia tau bahwa Nita sebenarnya juga tidak senang, Nita juga ingin melawannya, tapi secara aura pak Guntur mendominasi di rumah ini, tidak ada yang berani membantah pak Guntur.
"Aku tidak mau kembali ke ibu kandungku." jawab Nita tanpa ada suara ketakutan sedikitpun. Malah seakan dia menyimpan rasa benci kepada pak Guntur.
"Kau mau dipulangkan ke kakek dan nenek mu? Sekarang juga akan aku antarkan!" ujar pak Guntur emosi dan mulai beranjak masuk ke rumah untuk membawa pakaian Nita.
Bu Tere bergerak cepat dan menghalangi suaminya.
"Sayang, jangan begitu. Dia kan sudah bilang tidak mau kembali ke kakek dan neneknya." jelas bu Tere.
"Lalu kenapa tadi dia masih menyalahkan mu karena mengambil dia? Tau begini mending dulu dia tidak diambil, terserah mereka mau dia dikasih ke panti asuhan atau ke orang lain." pak Guntur memukul pintu rumah dan retak seketika.
Pintu rumah mereka hanya terbuat dari kayu murah, ditambah dengan pak Guntur yang lagi emosi, maka pintu itu jadi retak begitu dipukul.
Saat itu juga Nita terperanjat karena tidak pernah pak Guntur sampai memukul merusakkan barang. Artinya batas toleransi pak Guntur sudah habis.
Dia tau, jika dia dikembalikan ke rumah kakek dan neneknya, maka segala yang dia dapatkan di rumah ini tidak akan dia dapatkan lagi. Apalagi kakek kandungnya itu juga bukan orang berada. Malah bisa dibilang untuk makan sehari-hari saja susah. Mana mau dia ikutan hidup susah disana.