"Mulai sekarang gue yang jadi tutor lo sampai ujian kenaikan kelas."
Awalnya Jiwangga hanya butuh Keisha sebagai tutornya, itupun dia tidak sudi berdekatan dengan anak ambis seperti Keisha.
Sayang seribu sayang, bukannya menjauh, Jiwangga malah dijodohkan dengan Keisha.
Lantas bagaimana kelanjutan kisah mereka?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mashimeow, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Hati Nurani
“Setelah lihat kayak gitu, kira-kira hati nurani lo tergerak nggak?” tanya Joshua.
“Maksudnya?” tanya Jiwangga tidak mengerti.
“Emang lo doang sih yang datangi Keisha, tapi kita nggak buta buat lihat gimana sakitnya dia tadi. Apa lo masih ogah buat datang ke tutornya dia nanti pulang sekolah?” tanya Joshua dengan posisi tangan masuk ke dalam kedua saku celananya.
“Gue kasihan jujur ke Keisha sekarang. Semua usaha dia buat bujukin lo tuh gede loh, Jiw. Dengan lo yang terus ulur-ulur waktu begini doang ya, walaupun gue nggak bisa denial juga kalau caranya Keisha selalu di luar nalar,” ucap River dengan sorot pandang miris.
“Gue nggak pernah semuak ini sama cara lo. Coba deh sekali aja lo datang tuh ke bimbingannya Keisha. Seenggaknya lo ngerasain lah gimana pengajaran dia bakal cocok masuk ke otak atau sekadar numpang lewat doang,” usul Harvey lalu merangkul pundak Jiwangga.
“Usaha dia buat cari masalah ke Jiwangga Abram yang notabene ketua Chaos Brotherhood itu perlu diacungi jempol. Disaat anak-anak lain buat tatap mata sama kita aja pada cemen. Keisha nggak bakal berhenti sebelum dia capai tujuannya. Kalau lo mau selalu diganggu sama dia sih terserah lo aja,” sahut Joshua terdengar mulai masuk akal untuk Jiwangga.
“Kok kalian jadi belain dia sih ketimbang gue?” tanya pemuda itu sewot.
River menghela napas panjang lalu menahan tubuh Jiwangga untuk berhenti sejenak. Pemuda itu menarik pundak sang ketua agar berhadapan sejajar dengannya. “Gue bela sesuatu yang menurut gue benar, Jiwangga. Makin ke sini cara lo buat menghindar dari masalah tuh nggak keren sama sekali. Kalau emang hati nurani lo udah mati ya gue nggak akan mempermasalahkan itu. Sekarang gue tanya, lo nggak kasihan ke Keisha yang harus ngejar lo selama satu bulan tanpa ada hasil begini setiap hari?” tanya River.
Jiwangga terdiam cukup lama untuk mencerna kembali semua yang sudah diucapkan oleh para sahabatnya. Jujur dalam hati mungilnya ia malas mengakui jika semua ucapan mereka memang benar seperti kenyataan. Jiwangga mengalihkan pandangan ke arah lain dan memutus pembicaraan begitu saja.
Suasana menjadi tidak nyaman karena Jiwangga langsung melanjutkan langkahnya untuk pergi ke Warung Pojok. Dia mencoba untuk abai dengan situasi ini. Berdebat dengan River atau siapa pun disaat keadaan hatinya sedang tidak baik itu bukan solusi yang baik. Jiwangga sedang sibuk berperang dengan pikirannya sendiri.
Ia diberatkan oleh dua pilihan. Mengutamakan ego yang semakin tinggi atau mencoba untuk datang sekali saja ke kelas bimbingan Keisha seperti yang diucapkan oleh Harvey. Sebenarnya hal apa yang menahan Jiwangga selama ini? Pemuda itu tetap menaruh rasa gengsi di atas segalanya. Dia tidak ingin menjilat ludahnya sendiri untuk datang ke bimbingan si puan.
Tetapi bagaimana jika Jiwangga mencoba untuk datang sekali? Toh hanya untuk menyenangkan hati Keisha saja lalu ia akan bersikap sama seperti sebelumnya. Lagi pula tidak ada salahnya mencoba. Jiwangga memijit kening dengan tangan kanan sambil bibirnya sibuk menghembuskan asap keabuan dari rokok yang dihisapnya.
***
Warung pojok semakin ramai dengan munculnya anak-anak Chaos Brotherhood. Dari awal masuk saja Lucas dan Tristan sudah berteriak pada ibu pemilik untuk dibuatkan minuman dingin yang super menyegarkan. Warung itu lebih dari sekadar tongkrongan bagi mereka. Tempat mana yang memiliki area bermain seperti meja karambol dan alat panahan berbahan magnet.
Apalagi ditambah koneksi internet super kencang membuat mereka semakin betah saja untuk berlama-lama di sana. Tetapi tidak dengan Jiwangga. Pemuda itu kerap kali melihat pada jam di pergelangan tangannya. Ia sesekali melirik ke arah teman-temannya yang masih sibuk dengan hal lain.
River dan Joshua sudah bermain karambol sejak awal keduanya sampai di Warung pojok. Julian menikmati semangkuk bakso aci kuah pedas hasil racikan si Ibu sambil melakukan siaran langsung di akun instagramnya. Lucas ikut bergabung di meja karambol sedangkan Harvey dan Tristan sibuk di depan meja camilan.
Jiwangga melihat pada jam yang menunjukkan pukul setengah tiga sore. Pasti sekolah sudah sepi sekarang dan tidak banyak manusia berkeliaran di sana. Pemuda itu lantas menepuk pundak Harvey membuat pemuda berambut hitam sedikit panjang itu menoleh.
“Gue pinjam helm lo,” kata Jiwangga.
“Buat apaan?” tanya Harvey.
“Ya ada, nanti pas nongkrong gue bawa,” balas Jiwangga.
“Oh oke. Jangan sampai lecet. Gue baru aja poles semalam tuh helm,” kata Harvey mengingatkan.
“Aman.” Jiwangga mengangguk lalu menyambar tas ransel juga kunci motornya di atas meja. Tidak lupa pemuda itu membayar semua makanan yang sudah dia ambil tadi. Tingkah grasak-grusuknya sontak membuat semua atensi tertuju padanya. “Gue cabut duluan,” pamit Jiwangga.
“Mau ke mana? Baru juga nongkrong anjir,” tanya Tristan.
“Keisha,” jawab Jiwangga singkat.
“Akhirnya sadar juga! Gue doain dari sini lancar tuh sampai kelar,” seru River antusias.
Jiwangga yang ingin bimbingan, tetapi kenapa malah River yang paling semangat? Pemuda berkulit sawo matang itu lalu keluar dari Warung Pojok sambil membawa helm milik Harvey di tangan. Bersama dengan kepergiannya membuat tanda tanya besar untuk Tristan, Julian, dan Lucas yang saling berpandangan satu sama lain.
***
Jiwangga memarkirkan motornya asal di parkiran sekolah yang terpantau sudah sangat sepi. Hanya ada dua atau tiga kendaraan yang masih eksis di sana. Setelah menaruh helmnya asal, pemuda itu lalu berlari masuk untuk mencari di mana keberadaan Keisha saat ini. Kalau tidak salah gadis itu pernah berkata jika kelas bimbingan ada di kelas XI IPA 1.
Memasuki kawasan sekolah lebih dalam, Jiwangga memusatkan atensinya pada setiap ruangan siapa tahu bisa berpapasan dengan Keisha. Langkahnya terhenti saat berada di lorong kelas XI IPA 1. Tebakannya terbukti benar saat melihat presensi si cantik sedang membereskan barang-barangnya dan bersiap untuk pulang. Ia menyandarkan pundaknya ke pintu kelas sambil menyedekapkan kedua tangan di depan dada.
“Sekolah mau tutup tuh, mending kita belajar di tempat lain aja,” ucap Jiwangga memecah keheningan. Suara berat lelaki itu akhirnya tersampaikan juga setelah ia memilih untuk diam.
Keisha menoleh pada sumber suara. Ketika kedua mata mereka saling bertemu, gadis itu hanya merespon dengan wajah melengos ke arah lain. Ia tidak menggubris keberadaan Jiwangga dan berjalan melewati pemuda itu begitu saja. “Nggak. Lo belajar aja sendiri. Gue mau pulang,” tolak Keisha mentah-mentah.
“Ayo lah Kei masa lo mau pulang gitu aja. Gue udah sengaja datang buat bimbingan lo ya kali ditolak. Gue turutin deh kemauan lo buat belajar di mana,” bujuk Jiwangga. Tubuh bongsor pemuda itu berdiri tepat di hadapan Keisha sengaja untuk menghalangi gadis itu. Perbedaan tinggi yang mencolok membuat Keisha terlihat lebih mungil.
“Gue mau pulang. Lo dengar kan? Perut gue udah sakit seharian, kepala juga pusing bukan main, satu badan gue nggak karuan remuk begini, emosi juga lagi nggak stabil. Sekarang lo masih nahan gue buat ngajarin lo? Minggir!” bentak Keisha sambil mendorong pundak Jiwangga dengan sisa-sisa tenaga yang dia punya.
“Tapi gue mau,” paksa Jiwangga.
Jiwangga merangkul pundak Keisha seolah keduanya sudah berteman sangat lama. Padahal tujuannya hanya ingin memastikan perempuan dalam rangkulannya ini tidak kabur dari genggamannya. Untung saja saat ini sekolah sudah sepi dan tidak ada yang melihat interaksi mereka yang mungkin saja bisa menjadi bahan salah paham orang lain.