Seorang kakak yang terpaksa menerima warisan istri dan juga anak yang ada dalam kandungan demi memenuhi permintaan terakhir sang Adik.
Akankah Amar Javin Asadel mampu menjalankan wasiat terakhir sang Adik dengan baik, atau justru Amar akan memperlakukan istri mendiang Adiknya dengan buruk?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Noor Hidayati, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Gagal
Amar dan Mahira saling menikmati pelukan itu hingga beberapa menit lamanya. Mereka memejamkan mata merasakan debaran jantung satu sama lain yang seolah tengah berlomba debaran jantung siapa yang paling kencang. Mereka baru melepaskan pelukannya ketika dering telepon mengagetkan kedua.
Perlahan Amar melepaskan pelukannya dan mengangkat panggilan teleponnya. Tapi tangannya tak sedetik pun melepaskan tangan Mahira seolah tidak ingin lagi berada jauh darinya.
Hal sederhana tapi membuat Mahira sangat bahagia mengingat selama ini Amar tidak pernah mempedulikan kehadirannya.
"Batalkan saja semua janji untuk besok pagi." tegas Amar begitu sekertarisnya mengingatkan jika besok pagi ada janji bertemu dengan klien pukul tujuh pagi.
"Tapi Tuan..."
"Sudah ku katakan, batalkan semuanya karena besok aku akan bangun kesiangan!"
Mendengar jawaban Amar, Mahira tercengang sekaligus ingin tertawa. "Mau bangun kesiangan kok di rencanakan, ada-ada saja." batin Mahira menggelengkan kepala sambil menahan tawanya.
Baru saja Mahira bergumam dalam hatinya, Mahira tersentak kaget ketika Amar kembali menarik tubuhnya hingga merapat sempurna padanya. Setelah itu tanpa melepaskan pandangannya, Amar melemparkan ponselnya ke arah tempat tidur, namun lemparannya meleset sehingga ponselnya terjatuh melewati ranjang.
"Kak Amar..." Mahira yang melihat itu mencoba memberi tahu Amar tapi Amar tidak mempedulikan itu dan justru meletakkan tangannya di kedua sisi pipi Mahira. Seketika Mahira terdiam tak bisa berkata-kata, terlebih semakin lama Amar semakin mendekatkan wajahnya. Membuat Mahira susah payah menelan salivanya.
"Cup..." akhirnya kecupan itu mendarat di bibir Mahira yang langsung memejamkan matanya. Membiarkan Amar terus melakukan apa yang di inginkan atas dirinya.
Amar kembali mengulangi kecupan itu secara lembut, menikmati manisnya bibir Mahira yang sejak menikah tidak pernah ia cicipi.
Semakin lama kecupan itu semakin membangkitkan gair4h dalam diri Amar sehingga dengan sedikit gerakan mendorong, Amar membuat Mahira jatuh ke ranjang dan membuat tautan bibir mereka terlepas sesaat. Namun dengan cepat Amar kembali menautkan bibir mereka sambil mengarahkan tangan Mahira untuk membuka satu persatu kancing kemejanya. Sementara tangan Amar bergerak menuju ke bawah sana, menyingkirkan kain kecil yang menjadi penghalang tujuannya. Seolah sudah tak sabar lagi untuk merasakan nikmatnya malam pertama yang belum pernah mereka lakukan selama pernikahan, Amar terus mendominasi tanpa memberi Mahira kesempatan untuk melawan.
"Kak Amar... eumhhh..." Mahira yang merasa kehabisan nafas menggenggam kuat kemeja putih yang masih Amar kenakan hingga genggamannya terasa di dada Amar. Sontak Amar melepaskan tautannya, memberi kesempatan untuk Mahira mengambil nafas, setelah itu Amar kembali mengecupnya sejenak dan beralih menuruni dagu, leher dan berhenti di bukit indah yang menjadi favorit para lelaki. Terlebih Mahira masih memberi ASI eksklusif pada baby Emir sehingga pemandangan itu kian terlihat penuh dan sempurna.
"Akhhh..." lirih Mahira ketika tangan kekar Amar meremad salah satu bukit miliknya. Tidak berhenti sampai disitu, Amar yang sudah terbawa oleh hasratnya, menggantikan posisi baby Emir dan mulai menikmati kedua bukit indah itu sambil memejamkan matanya.
"Kak Amar... Akhhh..." tak berbeda jauh dari Amar, Mahira juga merasa tubuhnya berdesir hebat merasakan sensasi yang Amar mainkan di puncak bukitnya yang sedang bukitnya mengeras.
Cukup lama Amar bermain-main di situ sampai tiba-tiba bayangan permainan panas mantan kekasih dan sahabatnya muncul di depannya. Sontak Amar langsung menghentikan permainannya dan bangkit dari atas tubuh Mahira dengan rasa ketakutannya.
"Kak Amar..." lirih Mahira menatap Amar dengan kebingungannya.
"Tidak... tidak!" ucap Amar menjambak rambutnya dengan kasar, mencoba mengusir ingatan tentang peristiwa yang sangat menyakiti hatinya itu.
"Kak Amar..." Mahira merapikan pakaiannya yang berantakan dan turun mendekati Amar yang terlihat frustasi.
Bersambung...