Enzio Alexander Pratama, pria 28 tahun dengan kekayaan dan status yang membuat iri banyak orang, ternyata menyimpan rahasia kelam—ia impoten.
Sebuah kecelakaan tragis di masa lalu merampas kehidupan normalnya, dan kini, tuntutan kedua orangtuanya untuk segera menikah membuat lelaki itu semakin tertekan.
Di tengah kebencian Enzio terhadap gadis-gadis miskin yang dianggapnya kampungan, muncul lah sosok Anna seorang anak pelayan yang berpenampilan dekil, ceroboh, dan jauh dari kata elegan.
Namun, kehadirannya yang tak terduga berhasil menggoyahkan tembok dingin yang dibangun Enzio apalagi setelah tahu kalau Anna adalah bagian dari masa lalunya dulu.
Bahkan, Anna adalah satu-satunya yang mampu membangkitkan gairah yang lama hilang dalam dirinya.
Apakah ini hanya kebetulan, atau takdir tengah memainkan perannya? Ketika ego, harga diri, dan cinta bertabrakan, mampukah Enzio menerima kenyataan bahwa cinta sejati sering kali datang dari tempat yang tak terduga?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Senja, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. EnamBelas
Anna duduk di tepi ranjang, menekan pipinya yang masih terasa panas akibat tamparan Viona tadi. Dia menarik nafas pelan, mencoba mengabaikan rasa perih yang menjalar di kulitnya. Namun, sebelum dia sempat benar-benar menenangkan diri, ketukan di pintu terdengar.
“Anna, bolehkah aku masuk,” suara Theo terdengar dari balik pintu.
“Tidak usah. Aku baik-baik saja,” sahut Anna cepat.
Tapi Theo bukan tipe yang mudah ditolak. Dengan sedikit dorongan, pintu terbuka, dan laki-laki itu melangkah masuk dengan ekspresi khawatir.
“Wajahmu merah sekali. Jangan pura-pura baik-baik saja.”
Anna mendesah, menyadari bahwa percuma berdebat dengan Theo. Dia mengangguk pasrah, membiarkan Theo mengambil alat kompres dari meja dan duduk di hadapannya.
Dengan gerakan lembut, Theo menempelkan kain dingin ke pipinya. Sensasi dingin langsung meresap, mengurangi rasa panas yang terasa di kulitnya.
“Jangan pedulikan gadis itu?” tanya Theo, suaranya dipenuhi kekhawatiran.
“Tidak apa-apa. Dia hanya salah paham,” gumam Anna pelan.
Theo menatapnya tajam. “Kamu selalu berkata seperti itu. Tapi aku tidak suka melihatmu disakiti, Anna.”
Anna tersenyum tipis, meskipun dia tahu bahwa senyumnya tidak bisa menyembunyikan kegundahan hatinya.
“Terima kasih sudah peduli, Theo.”
Mereka mengobrol sebentar, dengan Theo berusaha menenangkan Anna dengan kata-kata lembutnya. Di sudut ruangan, seseorang diam-diam memperhatikan mereka dengan tatapan dingin. Enzio berdiri di balik celah pintu yang sedikit terbuka. Tangannya mengepal erat, matanya menyala dengan emosi yang sulit dijelaskan.
Dia tidak menyukai cara Theo memperlakukan Anna.
Tidak, dia membenci bagaimana adiknya memperlihatkan perhatian itu dengan begitu terang-terangan. Seolah-olah Anna adalah miliknya, padahal seharusnya tidak.
“Cih!”
Namun, Enzio tidak bisa melakukan apa-apa. Dia hanya berdiri diam, menyerap pemandangan yang menyakitinya lebih dari yang dia duga.
Beberapa menit kemudian, Theo akhirnya pergi. Dia menepuk kepala Anna lembut sebelum meninggalkan kamarnya. Anna menarik napas lega, bersiap untuk beristirahat, tapi sebelum dia sempat berbaring, pintunya kembali terbuka.
Kali ini, Enzio yang masuk.
Anna menatapnya dengan mata membesar, terkejut melihat pria itu berdiri di ambang pintu dengan ekspresi dingin yang membuat udara di sekitarnya terasa berat.
“Zio? Apa yang kamu lakukan di sini” tanyanya, mencoba menenangkan degup jantungnya yang tiba-tiba berdetak lebih cepat.
“Menemui seseorang yang terus membuatku marah. Seseorang yang berhasil membuat duniaku jungkir balik dan membuatku selalu tidak bisa menahan diri,” jawab Enzio datar, lalu mendorong pintu hingga tertutup rapat.
Sebelum Anna bisa bereaksi, suara kunci berputar terdengar, menandakan bahwa dia telah mengunci pintu dari dalam.
“Kamu menguncinya? Kenapa?” suara Anna bergetar.
Enzio tidak menjawab. Dengan satu langkah cepat, dia sudah berada di hadapan Anna, menekan tubuh gadis itu ke dinding dengan kedua tangannya mengurung di sisi kepalanya.
“Kamu terlihat begitu nyaman dengan Theo,” gumamnya, suaranya penuh dengan nada berbahaya.
Anna menelan ludah. “Theo hanya mengkhawatirkanku.”
“Apa dia harus menyentuhmu sebanyak itu untuk menunjukkan kekhawatirannya?” Enzio mendekatkan wajahnya, nafasnya hangat di atas kulit Anna.
“Aku tidak mengerti kenapa kamu marah,” kata Anna lirih, meskipun dia sudah bisa merasakan bahwa itu bukan sekadar amarah biasa.
Enzio menatapnya dengan tatapan tajam, lalu tanpa peringatan, dia menundukkan kepala dan menempelkan bibirnya ke leher Anna.
Anna terkejut, tubuhnya menegang saat dia merasakan gigi Enzio menggigit kulitnya dengan cukup kuat hingga meninggalkan jejak merah di sana.
“Enzio!” dia berseru, mencoba mendorong tubuh laki-laki itu, tapi Enzio tidak memberinya kesempatan.
“Lihat,” bisik Enzio tepat di telinganya. “Sekarang, ada tanda ku di sana. Agar siapapun yang berpikir bisa menyentuhmu tahu bahwa kau adalah milikku.”
Anna terengah, matanya membulat dalam ketidakpercayaan. “Milikmu? Apa kamu sudah gila?”
“Ya.” Enzio menarik wajahnya sedikit, menatap Anna dalam-dalam. “Aku gila. Karena aku tidak bisa menahan diri setiap kali melihatmu bersama orang lain, terutama dengan Theo.”
Anna tidak tahu harus berkata apa.
Lalu, tanpa peringatan, bibir Enzio menekan bibirnya.
Ciumannya kasar. Tidak ada kelembutan atau kehangatan di sana. Yang ada hanyalah amarah, gairah, dan keinginan untuk memiliki.
Anna mengangkat tangannya, ingin mendorongnya pergi, tapi tubuhnya seakan lumpuh di bawah tekanan yang diberikan Enzio.
Dia bisa merasakan kemarahan yang menguar dari tubuh pria itu, bisa merasakan perasaan yang terpendam di balik semua tindakan agresifnya.
Enzio tidak hanya marah. Dia cemburu.
Ketika akhirnya Enzio menarik diri, napas mereka berdua memburu. Mata laki-laki itu menatapnya dalam, seolah mencari sesuatu di dalam tatapan Anna.
“Kamu... cemburu,” bisik Anna akhirnya, suaranya bergetar.
Enzio mendengus kecil. “Tentu saja. Apa menurutmu aku akan diam saja melihatmu tersenyum untuk laki-laki lain?”
Anna terdiam. Ada sesuatu di dalam dada Enzio yang tersimpan begitu lama, dan baru sekarang dia menunjukkannya dengan jelas.
“Tidak ada yang boleh mendekatimu seperti tadi lagi,” Enzio berbisik, tangannya mengangkat dagu Anna agar dia bisa menatapnya langsung. “Tidak ada yang boleh menyentuhmu selain aku. Mengerti?”
Anna menelan ludah, perasaan campur aduk berkecamuk di dalam dirinya.
Tapi yang paling mengejutkan adalah, di balik ciuman penuh kemarahan itu, di balik genggaman yang kuat dan kata-kata yang penuh kepemilikan, Anna bisa merasakan sesuatu yang lain. Sesuatu yang lebih dalam.
Bukan hanya obsesi.
Tapi juga perasaan yang selama ini Enzio sembunyikan.
Dan itu jauh lebih berbahaya.
“Jangan pernah lupa posisi ku di sini, Zio! Sampai kapanpun, aku tidak akan pernah menjadi milikku dan begitu sebaliknya. Kita saudara!”
“Saudara?” Enzio terkekeh sinis. “Bahkan diantara kita tidak memiliki ikatan darah. Bagaimana bisa kamu mengatakan itu?”
“Viona. Kamu akan menikah dengannya.” sahut Anna, berhasil membuat Enzio terdiam dengan tangan terkepal.
Maaf, up nya gak tentu..
Kemungkinan seminggu sekali 🙏😂
yg atu lagi up ya Thor
kasih vote buat babang Zio biar dia semangat ngejar cinta Anna 😍🥰❤️