Shana dan Kaivan, pasutri yang baru saja menikah lima bulan lalu. Sikap Kaivan yang terlalu perfeksionis kadang menyulitkan Shana yang serba nanti-nanti. Perbedaan sikap keduanya kadang menimbulkan konflik. Shana kadang berpikir untuk mengakhiri semuanya. Permasalahan di pekerjaan Kaivan, membuatnya selalu pulang di rumah dengan amarah, meluapkan segalanya pada Shana. Meski begitu, Kaivan sangat mencintai Shana, dia tidak akan membiarkan Shana pergi dari hidupnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bastiankers, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 20
Hari-hari berlalu begitu saja. Meski masalah belum sepenuhnya usai. Keduanya tetap berlaku selayaknya hubungan normal biasanya. Mereka kembali seperti Kaivan dan Shana yang belum mengenal permasalahan apapun.
Hanya satu perbedaan dari hari-hari sebelumnya. Mereka sudah tidak pernah membahas lagi soal Raisa atau hal-hal yang akan mengarahkan ke sana.
Waktu Kaivan pun terkadang lebih banyak dia habiskan di kantor. Sering pulang ketika waktu memasuki dini hari.
Tidak ada pertanyaan dari Shana tentang apa yang menyebabkan Kaivan pulang di jam-jam segitu. Shana juga berubah menjadi istri yang lebih ramah. Dia tidak lagi mengungkit apapun permasalahan mereka. Nyaris sempurna sekali kehidupan mereka.
Jauh setelah Kaivan sudah berangkat pagi-pagi sekali. Tante Mona baru saja sampai. Dengan dress berwarna hijau toska dan Stiletto berwarna senada, dia sampai di kediaman Shana.
“Ibu?”
Selalunya seperti itu. Selalu yang terdengar bukan sapaan yang baik. Terkesan seperti terkejut dan mungkin mengharapkan wanita paruh baya itu tidak datang mengusik kedupannya lagi.
“Kenapa, sih? Setiap ibu datang kamu begitu terus? ‘Ibu?’”cibir Tante Mona, lalu masuk ke dalam rumah tanpa meminta izin. Beliau segera duduk di sofa dan meneguk jus jeruk yang baru saja Shana buat untuk dia sendiri. “Ibu haus.”
Shana mengangguk, “Mau Shana ambil kan lagi?”
Tante Mona menggeleng, “Nggak. Nggak usah. Ibu nggak lama.” Beliau mengarahkan Shana agar segera duduk di sofa seberang. “Ibu mau ngomong sama kamu. Ini perihal Kaivan.”
Memangnya tentang apa lagi? Memang selalu begitu, kan? Selalu itu topiknya.
Shana mengangguk lemah. Dia sebenarnya malas sekali menanggapi ocehan ibunya. Tapi, mau bagaimana lagi? Daripada beliau mengamuk seperti singa kelaparan. Jadi, “Apa yang mau ibu bicarakan?”
“Apa tidak ada cara lain lagi, Shan? Mengapa kamu tidak menggugurkan saja kandunganmu itu?” Tante Mona tampak melotot-lotot. Rasanya matanya sudah hampir meloncat dari kelopaknya.
Shana menghela nafas panjang, “Bu, maaf … Maaf sekali kalau ucapanku akan membuat ibu tersinggung. Tapi, kami sepakat ingin mempunyai anak.”
“Halah. Memangnya ada yang menjamin kalau pernikahanmu akan baik-baik saja ketika anak itu ada?” Telunjuk Tante Mona mengarah ke perut Shana.
Shana tertegun. Dia sempat merenungi masalahnya ke belakang. Di lubuk hatinya yang paling dalam mungkin menyetujui ucapan ibunya. Namun, “Bu, dia ada di dunia karena aku dan Mas Kai menginginkannya. Terlepas dari apa yang ibu pikirkan, aku tidak akan membiarkan ‘dia’ pergi. Dia harus tetap hidup. Karena ini pilihan Shana.”
“Shana dengar, ibu peringatkan sama kamu. Kaivan itu bukan laki-laki baik-baik. Dia itu brengsek. Ibu pernah memergoki dia keluar dari club. Dan itu terjadi sebelum kalian menikah. Ibu mengatakan ini meski kamu tetap keras kepala.”
Shana mengangguk lemah, “Shana memang keras kepala. Tapi, ini pilihan Shana. Dan sudah kewajibanku agar tetap berada di sampingnya.”
“Halah. Pilihan? Memangnya tidak ada laki-laki lain yang harus kamu jadikan pilihan?” Shana hendak membuka mulut, namun, “Apa mungkin kamu diguna-guna sama Kaivan?”
Tok! Tok!
Ketukan di pintu terdengar, meski pintu itu terbuka lebar, tapi seseorang di sana memutuskan untuk mengetuk pintu. Agar keberadaannya yang sedari tadi berdiri di sana, diketahui oleh kedua orang itu.
Tante Mona berdiri, keningnya mengernyit memerhatikan seorang ibu-ibu yang rambutnya hampir semuanya memutih. Di salah satu tangannya menjinjing tas besar. “Maaf, kita tidak menerima sumbangan.”
Shana terbelalak. Dia segera menghampiri wanita itu. Memeluknya erat dan membuat Tante Mona melongo. “Maaf ya, Indung. Ibuku nggak tau,”ujar Shana. “Yuk, masuk.” Shana membawa Indung ke dalam. Setelah memastikan indung duduk di sofa dengan baik, Shana menarik Tante Mona ke dalam. Tepat di dapur.
“Itu siapa?”pekik Tante Mona yang tertahan. Nyaris hampir berteriak di hadapan Shana.
“Ibu, tenang dulu,”ujar Shana mengangsurkan segelas air putih. Dan Tante Mona segera meminumnya, “Dia ibu mertuaku, ibunya Kaivan.”
Byur!
Uhuk. Uhuk.
Tante Mona memukul-mukul dadanya yang rasanya sesak. Mukanya memerah saat terbatuk. Saat sudah membaik, dia meneguk kembali air di gelas tadi. Lalu, “Serius? Pantes. Ibu kira dia gelandangan yang mau minta-minta. Eh, taunya ibunya Kaivan.”
Shana terperangah, tangannya yang baru saja membersihkan area bajunya yang terkena cipratan air dari ibunya. “Bu, tolong jangan katakan apapun yang menyakiti beliau. Shana mohon,”pinta Shana sembari memegang pergelangan tangan ibunya.
Tante Mona berdecak, dia melipat tangan di dada. “Kamu ini kesambet apaan, sih? Kok sama mereka kamu luluh begitu, sedangkan sama ibu tidak? Hah?”
“Bukan begitu, Bu. Ibunya Kaivan memperlakukan Shana dengan baik, Bu. Jadi, tolong jangan menyakiti beliau seperti ibu menyakiti Kaivan,”pintanya lagi.
“Oh … kamu berbicara seakan-akan selama ini ibu jahat sama kamu. Iya? Apa benar begitu?” Tante Mona melotot ke arahnya. Mencengkram pundak Shana kuat. Membuat Shana terdiam. Matanya berkaca-kaca.
“Aku nggak bermaksud apa-apa. Hanya meminta tolong, Bu. Tolong jangan berkata yang akan menyakiti beliau,”pinta Shana sekali lagi. Matanya sudah berembun, “Setidaknya demi Shana. Demi perasaan Shana. Kalau enggak, anggap saja beliau tidak pernah ibu lihat.”
Shana hanya terdiam, tanpa sepatah katapun selepas kepergian ibunya. Dia masih belum menghampiri indung yang tengah duduk dengan wajah menunduk. Memandangi tangan keriputnya. Entah apa yang dilakukan beliau, Shana masih belum siap bertemu. Dia takut indung akan kecewa karena mendengar semuanya.
Namun, “Teh? Teteh, lagi apa?” Suara lembut itu hadir di sana. Membingkai wajahnya dengan seulas senyum. Senyum itu adalah senyuman ikhlas yang tidak pernah luntur sejak mengetahui Shana adalah menantunya.
“Indung …” Shana mendekat, sempat memeluk, lalu mengusap lengan indung. “Maafkan semua perkataan dari ibuku, ya?”
Indung mengangguk, “Tidak apa-apa. Eh, kamu mau cobain salak? Kemarin Om nya Kaivan panen, dan Indung pengen bawain buat kamu. Ayo!” Dengan bahagia indung menarik jemari Shana, membawanya ke arah sofa yang tadi diduduki indung. Beliau mengambil satu kresek hitam dari tas dan mengeluarkannya. Tangannya mengangsurkan satu buah salak pada Shana.
Shana mengupasnya, lalu memakannya. Wajahnya berbinar dengan senyum manisnya. “Manis sekali, Indung.”
Indung mengangguk bahagia, namun sesaat kemudian senyumnya pudar. “Kenapa kamu mengganti panggilanmu?”
“Nggak apa-apa kok, Indung. Meski panggilanku berubah, tapi kasih sayangku nggak berubah,”hibur Shana membuat Indung tertawa.
Banyak obrolan yang terjadi dalam pertemuan mereka ini. Pertemuan pertama saat di Jakarta. Indung sering menceritakan aktivitasnya yang itu-itu saja, padahal Shana juga sudah tahu. Namun, entah mengapa obrolan mereka terasa begitu hangat. Ada rasa nyaman yang Shana temui lagi.
Bahkan sampai malam menjemput, keduanya sama-sama menyiapkan makan malam dengan obrolan yang ada saja. Tidak ada jeda. Selalu ada topik yang bisa dibahas dan sesekali di sana terdengar candaan, tak jarang pula terdengar tawa.
Sampai kedatangan Kaivan pun mereka tidak sadari. Mereka tersadar saat Kaivan sudah berjalan mendekati meja makan. Yang di mana keduanya sedang asik mengobrol. “Wah, serius amat, sampai kedatangan aku aja nggak ada yang tau.”
Keduanya menoleh, baru saja Shana akan berdiri dari kursinya. Namun, Indung cepat berdiri dan membawa Kaivan menjauh. “Ada yang mau Indung bicarakan.”