Rumah sudah kokoh berdiri, kendaraan terparkir rapi, tabungan yang cukup. Setelah kehidupan mereka menjadi mapan, Arya justru meminta izin untuk menikah lagi. Istri mana yang akan terima?
Raya memilih bercerai dan berjuang untuk kehidupan barunya bersama sang putri.
Mampukah, Raya memberikan kehidupan yang lebih baik bagi putrinya? Apalagi, sang mantan suami hadir seperti teror untuknya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Egha sari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 16. Dia yang tak menyerah
Pukul sepuluh malam, jadwal shift Raya sudah selesai. Akhirnya, ia bisa pulang mengistirahatkan tubuhnya, setelah seharian bekerja. Ia bercengkrama bersama yang lain, sembari keluar dari gedung.
"Apa Retno akan menjemputmu?"
"Tidak. Aku akan naik ojek."
"Kak Dian bagaimana?"
"Adik aku, sudah ada diparkiran menunggu."
"Baiklah, kami duluan, Ra."
Raya melambaikan tangan pada teman-temannya yang pulang lebih dulu, menggunakan motor. Untung suasana rumah sakit, selalu ramai. Bahkan, larut malam sekalipun.
"Kamu mau pulang? Biar aku antar."
Raya terlonjak, tiba-tiba saja dokter Adrian muncul dari belakang. Pria itu, sudah melepas jas putihnya dan hanya memakai kaos hitam polos,
"Tidak perlu, dok. Saya sudah ada ojek," jawab Raya.
"Mana?" Adrian memperhatikan sekeliling.
"Saya baru mau pesan, dok."
"Simpan uang kamu, untuk keperluan lain. Kita kan searah." Tanpa permisi, si dokter menarik tangan Raya menuju mobilnya yang parkir tidak jauh dari tempat mereka.
Memang benar, sebab Raya sudah terlalu banyak berutang pada Retno, untuk biaya transportasi. Belum lagi, makanan yang belum bisa ia beli. Raya memiliki tabungan, tapi ia bertekad untuk tidak mengambilnya. Ada masa depan Lily, yang harus ia prioritaskan.
"Apa dokter tidak ke klinik hari ini?" tanya Raya, sembari memperhatikan Adrian yang menyetir.
"Tidak. Aku tidak menerima pasien malam ini, karena aku ada operasi jam delapan tadi. Besok siang kamu kerja direstoran kan?"
"Iya, dok."
"Apa kau tidak bisa memanggil namaku saja?" tatap Adrian, namun Raya segera mengalihkan pandangan ke depan.
"Maaf, dok. Saya kebiasaan." Raya mengatur posisi duduk, berniat untuk bertanya ke hal yang serius. "Dokter. Maaf, tapi sebaiknya Anda menjaga jarak dari saya."
"Kenapa? Kamu tidak nyaman?" Adrian menepikan mobilnya.
"Bukan itu. Saya hanya tidak mau, nanti ada gosip yang beredar di rumah sakit."
"Aku hanya memberikan tumpangan, memangnya mereka akan berpikir apa. Aku mengerti maksud kamu. Tapi sebaiknya, kamu jangan memikirkan bagaimana orang lain berpikir tentangmu. Pikirkan hidupmu sendiri dan apa tujuan hidupmu."
"Saya tahu, dokter. Tapi, jujur saja, saya tidak nyaman saat orang-orang disekitar saya, juga merasa tidak nyaman dengan keberadaan saya."
"Jangan berpikir, terlalu jauh, Raya." Dokter Adrian kembali melaju. "Apa kamu tidak suka berteman denganku?"
"Maaf, dok. Bukan tidak suka, hanya saja saya tidak mau orang lain berpikir yang tidak-tidak. Apalagi, saya hanya seorang cleaning services."
"Itu tidak ada hubungannya, Ray. Kenapa status jadi penghalang untuk menjalin sebuah hubungan."
Raya tidak berkomentar. Ia memilih tetap fokus kedepan, meski kedua matanya terasa sangat berat. Namun, tidak mungkin Ia tertidur saat sang dokter menyetir untuknya.
"Terima kasih, dok. Tumpangannya." Raya membuka seatbelt. Namun, saat hendak turun, Adrian memegang lengannya.
"Apa kamu tidak bisa memanggil namaku, saat kita diluar?"
"Saya akan mencobanya nanti."
"Aku ingin mendengarnya, sekarang." Adrian memberikan tatapan seorang pria yang pernah dilihat Raya dulu. Pria yang mengharapkan sesuatu.
"Baiklah, dokter Adrian," ujar Raya terbata-bata, "Adrian."
Adrian tersenyum puas, lalu melepaskan genggamannya. Ia turun dan membukakan pintu mobil untuk Raya.
"Saya bisa sendiri," ujar Raya.
"Aku tahu. Tapi, aku ingin melakukannya. Selamat malam, Raya."
"Selamat malam, Adrian. Terima kasih."
Didalam kontrakan, Retno mengintip dari balik tirai jendela. Begitu Raya masuk, ia langsung menyergap dengan pertanyaan, beruntun.
"Siapa dia? Pacar kamu?" Retno mengekor dibelakang, saat Raya masuk kamar. "Ra, kamu baru bercerai."
"Aku tahu, Ret. Bahkan, seharusnya, aku menghabiskan masa iddahku, dirumah. Tapi, situasi tidak mendukungku. Pria tadi, seorang dokter di rumah sakit. Dia juga yang mengantarku malam itu. Kami tidak ada hubungan apa-apa, karena aku cukup tahu diri."
"Ra, aku bukan ingin menceramahimu. Maaf, jangan tersinggung."
"Tidak, Retno. Aku tahu maksud kamu baik." Raya duduk diatas karpet diruang depan. "Sekarang, hidup aku hanya untuk Lily. Aku tidak berniat untuk memberikan ayah baru untuknya. Lagipula, dengan statusku sekarang, pria mana yang akan menerimaku."
Hening. Raya membaringkan tubuhnya, menatap langit-langit dengan pikiran entah kemana. Sementara, Retno menyajikan mereka makanan. Hanya ada telur ceplok, tumis kangkung dan sambal.
"Kamu belum makan?" Raya memperhatikan makanan disampingnya.
"Belum. Akhir-akhir ini, rasanya tidak enak makan sendiri."
"Ya, sudah."
Meski lauk sederhana, tapi keduanya menikmati hidangan itu. Raya dan Retno, sudah terbiasa hidup seadanya. Bahkan dulu, keduanya hanya makan mie instan seharian penuh, untuk bertahan hidup.
"Kamu sudah tidur?" Raya membaca pesan singkat dari dokter Adrian, saat ia baru mulai memejamkan mata. Raya berpikir sejenak, sembari mengetuk-ngetuk jari telunjuknya diatas layar. Hingga akhirnya, ia memilih mengabaikan pesan tersebut.
Hari demi hari berlalu, begitu saja. Raya bekerja seperti biasa. Adrian yang selalu memberikan tumpangan, meski sudah ditolak dengan berbagai alasan, namun tak kenal kata menyerah.
Bahkan terkadang, si dokter tiba-tiba muncul dikontrakan untuk mengantar Raya bekerja, dengan alasan kebetulan. Dan seperti sudah kebal dengan berbagai penolakan, Raya memilih pasrah.
"Disini saja," pinta Raya untuk diturunkan dipinggir jalan, sekitar lima meter dari rumah sakit.
"Kenapa? Kamu mau mampir ditempat lain."
"Iya, saya mau ke minimarket."
"Kalau begitu, aku antar." Adrian bersiap untuk turun lebih dulu.
"Tidak perlu, dok." Raya menghela napas. "Adrian. Sebaiknya tidak perlu mengantar saya sampai parkiran. Jujur saja, saya mulai tidak nyaman dengan pandangan orang-orang."
"Itu lagi." Adrian kembali mengemudi. Diparkiran, ia kembali turun lebih dulu. Beruntung, di jam enam pagi, hanya ada security didepan.
Buru-buru, Raya masuk dalam rumah sakit. Sudah ada beberapa rekannya, yang terlihat membersihkan lobi dan ruangan dokter. Ia segera mengganti seragam, begitu tiba.
"Kak, lagi apa?" tegur Raya, saat Dian sibuk dengan ponselnya.
"Aku sedang menghitung, berapa yang harus keluarkan untuk gaji bulan ini."
Yah, tanpa terasa, sudah satu bulan Raya bekerja. Hari yang ia tunggu, akhirnya tiba. Ia bisa mengirim uang kepada ibunya, membayar utang kepada Retno, sekaligus sewa kontrakan. Ia juga harus belanja kebutuhan, karena selama ini, Retno yang berbelanja untuk mereka. Beruntung, Raya memiliki dua pekerjaan sekaligus dan hari gajian hanya beda tiga hari saja.
"Kamu udah hitung pengeluaran kamu?"
"Belum, Kak. Nanti aja, kalau uangnya sudah ditangan."
Raya kembali beraktivitas, bersih-bersih dalam kamar pasien, hingga lorong rumah sakit. Raya membersihkan dua kamar sekaligus, namun masih dalam keadaan kosong.
"Ra," panggil Lita, dengan wajah cemas.
"Ada apa, Kak?"
Lita memperlihatkan ponselnya. Disana, ada banyak foto Raya bersama dokter Adrian, yang beredar dalam grup chat rumah sakit. Mulai dari dalam mobil, parkiran, hingga depan kontrakannya. Namun, tidak ada satu orang pun yang berkomentar.
🍁🍁🍁
tidak mau memperjuangkan raya
bntar lg km ketemu sm laki2 yg tulus yg mampu bahagiakan km.
plg suka crita klo perempuannya tangguh & kuat